Oleh: Fictor Ferdinand *
Teknologi harusnya menjadi pilihan. Begitu kesimpulan yang mengiang di telinga saya siang itu, sepulang kuliah umum dengan seorang praktisi dari ikatan ahli teknik penyehatan indonesia. Sang praktisi bercerita tentang teknologi pengelolaan sampah dengan teknologi insinerator.
Ia ingin memotret dan membahas penggunaan teknologi ini se-objektif mungkin, dari sudut pandang seorang ilmuwan. Berkali-kali ia menekankan, bahwa ia bukan orang pemerintahan, dan tidak berpihak pada siapapun. Pertentangan isu pengolahan sampah dengan cara insinerasi ini memang sedang menghangat di kota Bandung.
Sang praktisi melihat permasalahan menumpuknya sampah di perkotaan terkait dengan masalah ruang. “di mana lagi ruang yang dapat digunakan untuk menumpuk sampah yang kita hasilkan?” begitu tanyanya. Untuk mengolah sampah dengan tuntas, sampah harus dipisahkan terlebih dahulu. Masalahnya orang malas memilah. “Untuk itu kita membutuhkan teknologi pengolahan sampah yang hemat ruang, tidak perlu dipisah, dan dapat dengan cepat menghilangkan masalah sampah”, begitu ia melatarbelakangi presentasinya tentang teknologi insinerasi sampah.
Saya sepakat bahwa sampah adalah masalah buat kita. Dan kita ingin menghilangkan masalah tersebut. Tinggal kita mencari cara yang terbaik untuk menghilangkan masalah itu. Jika kita memandang masalahnya secara parsial, teknologi ini tentu akan menjadi jalan keluar terbaik. Bagaimana tidak? Bayangkan, dalam waktu singkat, ratusan bahkan mungkin ribuan ton sampah padat, bisa diubah menjadi gas! Ruang mana lagi yang kita butuhkan untuk mengolah sampah-sampah itu? Semuanya menguap!
Tapi tidak mungkin lagi kita memandangnya dengan cara begitu. Cara pengelolaan sampah selama ini, dijalankan dengan cara pandang yang sama. Dan kita semua sudah merasakan akibatnya. Mulai dari tumpukan sampah ketika lokasi TPA ditutup, air lindi yang mencemari perairan, longsoran sampah, dan lain-lain. Kita hanya ingin masalahnya hilang, tapi tidak memahami masalahnya dengan baik. Kita hanya ingin menggeser masalahnya. Kemana kita tidak mau tahu. Atau tidak mau tahu? Kita hanya memindahkan masalah, tapi tidak menyelesaikannya.
Teknologi insinerasi sampah ini pun demikian halnya. Gas apa yang keluar dari tumpukan sampah padat dan menjadi gas itu? Apa akibatnya dari gas-gas itu, buat kita sendiri, atau buat bumi secara keseluruhan? Bagaimana dengan energi yang dibutuhkan untuk membakar sampah-sampah itu?
Ternyata, jawabannya tidak se-menyenangkan yang kita inginkan. Gas-gas itu, mungkin sebagian beracun dan mungkin akan kembali kita hirup, sebagai racun. Gas-gas itu juga menambah buruknya perubahan iklim. Lalu, seberapa besar energi yang dibutuhkan? Sang praktisi mengatakan bahwa untuk pembakaran itu, dibutuhkan bahan bakar seberat 2 kali lipat dari jumlah sampahnya sendiri. Itu untuk penggunaan energi yang paling boros. Dengan teknik tertentu mungkin bisa menghemat sampai 50%, artinya 1.5 kali lipat dari berat sampahnya sendiri. Yang lebih mengejutkan lagi, jawaban yang saya terima waktu saya bertanya: “bahan bakarnya apakah harus menggunakan bahan bakar fosil?” jawabnya singkat dan pasti: ya.
Belum lagi biaya yang dibutuhkan untuk mengelola sampah dengan teknologi ini. Sang praktisi memperkirakan: Rp 1.44 trilyun /ton sampah/tahun!
Kita bisa memakai teknologi itu. Tapi, pertanyaannya, siapkah kita menerima dampak dari teknologi itu? Siapkah kita menghirup gas-gas yang dihasilkan dari pembakaran sampah itu? Mungkin juga bukan kita saja. Tapi orang lain di daerah lain juga ikut merasakannya. Kita perlu ingat, udara di dunia ini saling terhubung satu sama lain. Siapkah kita menanggung perubahan iklim yang lebih parah lagi, akibat gas-gas hasil pembakaran sampah kita itu? Siapkah kita membuang 2700 ton minyak tanah per hari untuk membakar 1800 ton sampah yang dihasilkan kota bandung ini setiap harinya? Maukah kita patungan untuk membiayai 1.44 trilyun per tahun? Bagaimana dengan biaya pendidikan anak-anak kita yang mungkin bisa gratis dengan uang itu? Bagaimana dengan biaya kesehatan? Jaminan keamanan pangan buat orang-orang miskin? Uang sebesar itu akan kita habiskan untuk sampah yang kita hasilkan.
Untuk semua pertanyaan itu saya yakin, saya menjawab “tidak”. Semua itu terlalu mahal untuk saya.
Ada banyak cara untuk mengolah sampah yang kita hasilkan. Ada upaya untuk mengkompos sampah organik, ada upaya untuk mendaurulang bahan-bahan yang tidak bisa kita kompos – jika kita masih bergantung pada bahan-bahan itu. Plastik dan turunannya dibuat dari minyak bumi. Membakar plastik berarti membuang minyak bumi, bahan yang tidak mungkin kita pulihkan lagi keberadaannya. Belum lagi bahan-bahan kimia berbahaya yang dikandung plastik itu yang akan lepas ketika dibakar.
Tidak ada yang istimewa dari insinerator. Meskipun namanya menggunakan istilah asing, tapi yang dilakukan sebenarnya hanya membakar sampah. Hanya itu. Rekayasa dilakukan agar suhunya cukup tinggi dan bisa mengubah sampah padat menjadi gas. Itu saja. Mengkompos, meskipun seolah seperti membiarkan sampah tercampur dengan tanah, tapi kompleksitas kinerja berbagai makhluk tak kasat mata yang bekerja menghancurkan sampah dalam proses pengomposan melebihi kerumitan teknologi pengolahan sampah manapun. Meskipun tidak menghasilkan limbah apapun, namun memang prosesnya membutuhkan waktu lebih lama dan kita mesti memisahkan sampah yang akan kita komposkan.
Mengkompos atau membakar, keduanya adalah pilihan cara untuk mengolah sampah. Mempertimbangkan limbah yang dihasilkan untuk mengelola sampah, seharusnya kita sudah bisa menentukan pilihan. Mendapatkan kompos atau gas-gas beracun dan gas rumah kaca sebagai limbah, pilihan teknologi kitalah yang menentukan. Kita bisa memilih teknologinya, tapi tidak bisa menghindari konsekuensi dari pilihan kita.
Kemudian saya teringat kata-kata Pak Walikota di sebuah surat kabar: “Kita tidak punya pilihan lain untuk mengelola sampah. Insinerator adalah satu-satunya cara”. Benarkah?
* Penulis adalah aktivis lingkungan hidup yang berdomisili di Bandung.