Oleh Laure Pichegru dan Terna Gyuse*
Babak perundingan lain menuju perjanjian global tentang perubahan iklim ditutup di Bonn pada 6 Agustus, dengan para aktivis meminta para pihak untuk menemukan kembali semangat kompromi dan mengajukan penawaran ketimbang tuntutan.
Christiana Figueres, sekretaris eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), mengatakan kemajuan telah dicapai. “Semua orang memahami bahwa sulit memasak makanan tanpa panci. Negara-negara kini kian lebih dekat untuk benar-benar membuat wadah itu.”Perselisihan mengenai makanan ini dimulai, tentu saja, dengan pertanyaan apakah satu atau dua menu.
Saya mengusulkan …
Panci berisi adonan Protokol Kyoto telah menyatu bersama dalam sebuah teks draft baru –antara Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim saat ini dan berikutnya (di Meksiko akhir 2010), para perunding akan melihat apakah ia merekatkan air. “Minggu ini beberapa negara sudah menggunakan kesempatan terakhir untuk menjelaskan pendirian masing-masing,” kata Figueres. “Tianjin harus menjadi tempat apakah jelas sikap kolektif mereka,” ujarnya.
Para perunding bertemu lagi Oktober mendatang di Tianjin, China.”Masing-masing pihak yang menambahkan teks mereka tahu tak akan diterima dengan baik atau ditetapkan dengan mudah,” ujar Mohammed Adow dari Christian Aid, anggota Climate Action Network (CAN), sebuah jaringan lebih dari 360 kelompok LSM pembangunan dan lingkungan dari 85 negara. “Kita harus merebut kembali semangat kompromi dalam negosiasi ini.”
Draft itu, yang diterbitkan pada Juni oleh Margaret Mukahanana-Sangarwe, ketua kelompok kerjasama jangka panjang (AWG-LCA), memicu kritik keras dari organisasi-organisasi masyarakat sipil, karena secara tersirat menggantikan Protokol Kyoto dengan sebuah perjanjian baru di mana kewajiban mitigasi negara-negara maju dan berkembang diperlakukan hampir sama.
“Afrika sangat vokal dalam menyerukan agar mempertahankan Protokol Kyoto, karena ia tetap satu-satunya perjanjian internasional yang mengikat negara-negara industri untuk mengambil beberapa tindakan terhadap perubahan iklim,” kata Mithika Mwenda kepada IPS.
Mwenda adalah koordinator Pan-African Climate Justice Alliance, salah satu penyelenggara forum publik sehari menjelang KTT Uni Afrika di Kampala pada pertengahan Juli, yang menyerukan pemerintah bekerja “untuk keadilan iklim dan sebuah solusi terhadap perubahan iklim yang menjaga keselamatan Afrika, mengamankan pembangunan, dan melindungi HAM,”
Risiko kebuntuan lanjutan atas strategi mitigasi, yang akan memperlambat tanggungjawab emisi gas karena pemanasan global, mengancam semua negara. Mungkin yang lebih mendesak bagi Afrika adalah mengamankan hasil kongkret pada Bali Action Plan, yang memungkinkan tindakan segera untuk mengadaptasi perubahan iklim.
Hidangan utama lainnya.
Yang menjanjikan, para perunding di Bonn merasa bahwa Meksiko bisa mengamankan komitmen kongkret terhadap implementasi Bali Action Plan.“Ini berarti banyak negara setuju mengambil tindakan bertanggungjawab untuk, misalnya, mengelola dan menggunakan keuangan iklim, meningkatkan alih teknologi, membangun ketrampilan dan kemampuan untuk melakukan ini dan menangani adaptasi, terutama di negara-negara paling miskin dan rentan,” kata Figueres.
Tapi untuk menjamin porsi panci ini tetap besar, Afrika butuh sebuah strategi yang memadukan, membicarakan, dan menegosiasikannya secara efektif. Para perunding Afrika gagal mempertahankan kesatuan dalam perundingan perubahan iklim di masa lalu. Mwenda dipilih pemerintah Afrika Selatan untuk bekerja melawan kepentingan negara-negara Afrika lainnya.”Meski prioritas Afrika telah beradaptasi, karena kelemahan dan kekurangan kapasitas di sebagian besar negara, Afrika Selatan selalu mematahkan barisan dengan negara-negara lain dengan melonggarkan prioritasnya,” katanya.
Ini logis, mengingat posisi Afrika Selatan sebagai penghasil emisi karbon dioksida terbesar keduapuluh di dunia, sementara negara-negara Afrika sub-Sahara lainnya hanya berkontribusi empat persen untuk seluruh emisi gas rumah kaca.”Afrika Selatan sangat bergantung pada batubara dan butuh cadangan energi untuk menjamin pertumbuhan ekonomi,” kata Jean-Christophe Hoste, anggota peneliti Institut Egmont di Belgia.
Kerentanan terhadap dampak perubahan iklim bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lain atau dari satu negara ke negara lain, kata Belynda Petrie, CEO OneWorld Group. Oneworld adalah sebuah perusahaan riset dan konsultasi yang antara lain melaksanakan sebuah program lima tahun untuk mempelajari cara terbaik melindungi mata pencaharian yang rentan terhadap perubahan iklim di Afrika Selatan.
“Beberapa daerah atau negara lebih menekankan pada air ketimbang lainnya, butuh fokus terhadap proyek-proyek adaptasi yang memperkuat infrastuktur penyimpanan air dan manajemen banjir, misalnya,” kata Petrie.
Lapar terhadap sesuatu yang berbeda
Proyeksi atas dampak perubahan iklim memprediksikan kerusakan hebat pada produktivitas pertanian di sebuah benua yang penduduknya bergantung pada makanan yang tumbuh untuk kelangsungan hidup mereka. Afrika Selatan tak kebal terhadap hal itu, tapi keberagaman ekonominya tak begitu rentan terhadap krisis pertanian ketimbang Burkina Faso atau Ethiopia.
Keprihatinan terhadap ekonomi yang sangat kuat di Afrika sama seperti negara-negara yang lagi muncul lainnya seperti India dan China, yang ragu-ragu untuk menerima batas eksternal mengenai emisi karena mereka mengejar pertumbuhan industri.
Petrie mengatakan, banyak negara Afrika kurang memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk membuat pengajuan resmi mereka sendiri dalam kerangka kerja UNFCCC, meninggalkan sedikit kecenderungan untuk memimpin. Tapi sebagai hasilnya, kebutuhan Afrika yang berbeda tak cukup dinyatakan dan memunculkan perpecahan dalam negosiasi yang sebenarnya.
Dengan cara, misalnya, dia menawarkan batas waktu Agustus untuk pengajuan dana dari Pendanaan Negara-negara Terbelakang di UNFCCC, (yang, ironisnya, dananya dipakai untuk memperkuat sekretariat perubahan iklim nasional untuk ikut-serta dalam proses PBB, membangun kapasitas untuk mengumpulkan dan menafsirkan data tentang cuaca dan air, menyediakan pelatihan teknik negosiasi, mendukungan kesadaran publik, serta menyiapkan dan melaksanakan program adaptasi nasional).
Banyak negara paling rentan di Afrika punya potensi untuk memenuhi syarat, tapi Petrie menyangka hanya sedikit yang akan berpartisipasi.”Yang terjadi, dalam keuangan iklim misalnya, banyak negara mengeluhkan mekanisme pendanaan dan pengaturan kelembagaan yang sulit, yang membatasi akses ke dana. Namun keluhan yang sama ini biasanya tak menggunakan jalan yang terbuka bagi mereka untuk membuat proposal yang akan berkontribusi pada perbaikan masalah yang dikenal luas ini.”
Hoste mengatakan, negara-negara Afrika tak akan bisa mencapai –dan mempertahankan posisi yang sama di perundingan perubahan iklim internasional selama ada perbedaan ekonomi pembangunan yang besar di antara mereka.”Negara-negara Afrika mendapatkan posisi umum sebelum Kopenhagen. Tapi posisi umum ini runtuh begitu konsesi ekonomi harus dibuat.”
Mithika Mwenda dari PACJA lebih optimis. “Para pemangku kepentingan di Afrika sangat menghargai seruan untuk penyatuan posisi, dan saya tak meragukan benua itu akan mendekati Meksiko, sebuah daerah lebih teratur daripada sebelumnya.”
Dia merasa bahwa kewaspadaan itu perlu. “Media dan masyarakat sipil harus bekerja keras untuk melacak dan memantau pemerintah dan menekan mereka untuk memastikan bahwa keuntungan jangka pendek tak akan membuat mereka meninggalkan jalan kebersamaan.”*(IPS/Pantau).