“It’s amazing to know, from all kind of efforts that we (human kind) can do to save ourselves, we choose one thing: suicide”, film pembuka StoS Film Festival 2010, The Age of Stupid.Tak terbantahkan, ketimpangan eksploitasi sumber daya alam merupakan kegagalan arah pembangunan global, yang terus melahirkan krisis berskala lokal hingga mengglobal – perubahan iklim.
Celakanya, Konvensi Perubahan Iklim ke- 15 di Copenhagen, malah menyisakan masa depan penghuni bumi yang makin tak tentu. Lewat 23 filmnya, South to South (StoS) Festival 2010 akan memberi alasan tak terbantahkan, kenapa publik harus peduli dan segera bertindak menyelamatkan lingkungan.
Di Kanada, masyarakat Alberta kehilangan 4 liter air bersih untuk setiap 1 liter minyak yang diangkut ke Amerika Serikat – negara paling rakus di dunia. Di Tanzania Afrika, ikan pemangsa hasil uji coba laboratorium dilepas, merusak ekosistem danau Victoria guna memenuhi kebutuhan ikan penduduk Eropa. Di Sidoarjo, nasib anak-anak tenggelam bersama semburan lumpur dari sumur pengeboran minyak Lapindo, milik pengusaha paling berkuasa di Indonesia. Ini sebagian cerita film dalam festival bertema “Kita Peduli”, yang digelar pada ini 22 – 24 Januari 2010, di Goethe-Institut Jakarta, Jl. Sam Ratulangi No. 9 – 15 Menteng Jakarta Pusat dan di CCF Jakarta, Jl. Salemba Raya 25 Jakarta.
Tapi juga ada film-film yang akan menginspirasi lewat sesi khusus film anak-anak. Anak-anak diajak peduli lingkungan lewat mengikuti cerita seekor kepiting yang hidup dalam laut penuh sampah plastik. Juga mengikuti usaha keras Mbah Munarjo yang menghijaukan 1300 hektar hutan bakau Pesisir Cilacap. Hingga cerita warga Penago, pesisir barat Bengkulu bersatu menyelamatkan kampungnya dari tambang bijih besi.
StoS Festival 2010 konsisten mengangkat masalah ketidakadilan akibat eksploitasi sember daya alam, tak hanya di negara-negara Selatan, tapi juga warga miskin, masyarakat adat di negara industri. Kali ini film-film mengangkat cerita dari Indonesia, Brazil, Inggris, Peru, Perancis, Kanada dan Amerika Serikat. Festival dua tahunan ini dimulai sejak 2006, dengan tema “Di Balik Kemilau Emas”, selanjutnya 2008, bertema” Vote For Life”.
Festival kali ini tak hanya pemutaran film, tapi juga keliling ke 19 SMA di kawasan Jabotabek, berdiskusi masalah lingkungan keseharian dan perubahan iklim dengan 1.700 lebih siswa. StoS Festival juga menggelar beragam kompetisi. Hasilnya, Ada 32 peserta kompetisi blog, 30 peserta fotonovela dan 67 film dokumenter. Tahun ini, pertama kalinya StoS Festival menganugerahkan StoS Award untuk film dokumenter terbaik.
“Diantara riuhnya film Holywood, sinetron-sinetron di televisi hingga iklan-iklan di media elektronik, StoS Festival 2010 terus bergerak mendefinisikan ruang serta posisinya diantara festival film di Indonesia – yang tak banyak jumlahnya. Kami yakin publik membutuhkan informasi yang mencerdaskan. Harapannya, festival ini akan membuat kepedulian dan aksi nyata melindungi lingkungan makin meluas. Setidaknya pengunjung Festival mulai memikirkan gaya hidupnya, menjadi lebih bertanggung jawab”, sambut Ferdinand Rachim, pantia StoS Festival 2010.
StoS 2010 ini diselenggarakan oleh JATAM, WALHI, Gekko Studio, Ecosisters, KIARA, Sawit Watch, CSF, Solidaritas Perempuan, SBIB, CCF Jakarta dan Goethe Institut. (Marwan Azis).
nice posting…
makasih Nova Imoet udah mampir dan memberikan komentar…..