Akibat muntahan minyak yang mencemari laut timur mengakibatkan banyak ikan yang mati sehingga pendapatan nelayan menurun dratis. Foto : Istimewa.
Ledakan ladang minyak Montara pada 21 Agustus 2009 lalu mengakibatkan kerugian ekonomis yang sangat besar bagi masyakat pesisir Laut Timor khususnya dan masyarakat umumnya serta kerusakan ekologis di Laut Timor.
Sebuah hasil survey terbaru yang dilakukan secara independen oleh Richard Mounsey seorang ahli manajemen perikanan berkebangsaan Australia dirilis Yayasan Peduli Timur Barat (YTB) mengungkapkan, pencemaran laut timur yang disebabkan muntahan 500.000 liter minyak mentah Montara mengakibatkan hasil tangkapan nelayan pada September 2009 menurun tajam sekurang-kurangnya 50%, dan di beberapa lokasi mencapai 70% dan umumnya memburuk menjadi 80% sampai akhir Desember 2009.
Ladang minyak ini terletak sekitar 690 km barat Darwin, Australia Utara dan 250 km barat laut Truscott di Australia barat. Lebih dekat dengan gugusan Pulau Pasir (ashmore reef) yang menjadi pusat pencarian ikan dan biota laut lainnya oleh nelayan tradisional Indonesia.
Dalam laporan surveynya Richard mengungkapkan, pendapatan dan protein bagi masyarakat di Oecusse selama bulan berjalan berkurang, menyebabkan kekurangan gizi pada anak-anak. Bangkai ikan yang diamati di bulan September/Oktober di daerah barat dan tengah, termasuk, cumi-cumi,hiu dan lumba-lumba ditemukan pertama kali oleh seorang nelayan tua dan pernah menyaksikan ikan lumba-lumba mati di pantai.
Ikan lumba-lumba di sepanjang pantai seluruh Oecusse juga dilaporkan telah lenyap. Penampakan migrasi ikan paus untuk Oktober sampai Desember 2009 kurang dari 10% dibandingkan pada 3 tahun sebelumnya. Sebagian besar jenis ikan sarden, telah lenyap.
Peneliti independen juga mantan Kepala UNTAET (United Nations Transitional Adminstration On East Timor) Urusan Perikanan, Kelautan dan Lingkungan Hidup antara 2000 – 2002 itu, memperkirakan tumpahan minyak itu tidak hanya sampai ke wilayah utara Pulau Timor, tetapi juga di selatan Pulau Timor, Alor, Sabu, Rote dan Sumba di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada pertengahan bulan September hingga Nopember 2009, arus di laut Timor bergerak sangat kuat sekali dan berputar dari arah Selatan menuju Utara mulai dari Pulau Rote ke Oecusse, melewati Atapupu kemudian ke Alor dan Pulau Sumba dan Pulau Sabu jelas tercemar karena berada persis ditengah serta ada kemungkinan besar pencemaran tersebut menjangkau perairan Laut Flores di Kabupaten Ende.
Kejernihan air pada pertengahan September hingga Oktober 2009 sangat buruk. Masyarakat menggambarkannya air laut telah berubah menjadi warna putih menyerupai susu. Sebagian besar pemimpin masyarakat di Oecusse berpikir bahwa mungkin salah satu dewa mereka telah menghukum mereka dengan mengambil ikan itu sehingga mereka malu untuk melaporkan situasi atau untuk berbagi informasi dengan masyarakat lain dan Pemerintah.
Ferdi Tanoni, aktivis lingkungan yang bekerja di Yayasan Peduli Timor Barat yang dihubungi Beritalingkungan.com via telpon (12/1) mengatakan, muntahan minyak di Laut Timur mengakibatkan penurunan pendapatan para nelayan di Timor bagian barat NTT dan pulau-pulau sekitarnya secara signifikan dan mengancam kelestarian Laut Timor yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pemulihannya. “Saat ini pencemaran Laut Timur telah sampai ke daerah pesisir dan mencemari rumput laut yang dibudidayakan nelayan setempat,”ungkapnya.
Ia menyesalkan sikap pemerintah Indonesia dalam penanganan kasus pencemaran Laut Timur. “Pemerintah Republik Indonesia hanya menanggapinya dengan sangat santai bahkan terkesan mengabaikan saja pencemeran ini seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Menteri Lingkungan Hidup beberapa waktu lalu sempat mengeluarkan pernyataan akan menuntut pemerintah Austarlia, tapi tidak dijelaskan berapa kerugian yang harus dibayar Australia karena pernyataan itu tidak didasari oleh sebuah proses penelitian terlebih dahulu,”terangnya.
Mantan agen Imigrasi Kedutaan Besar Australia ini menuturkan, Tim Nasional Penanggulangan Pencemaran Laut Timor yang sejak diumumkan pembentukannya oleh Departemen Luar Negeri Indonesia yang sudah hampir tiga bulan lalu itu hanyalah sebagai sebuah slogan belaka karena tidak berani secara terbuka mengumumkan secara tegas dan resmi bahwa laut Timor telah tercemar dan mengambil langkah-langkah untuk menuntut ganti rugi dari Australia.
Departemen Luar Negeri Indonesia dinilainya hanya mencuci tangannya saja dengan alasan, belum bisa mengambil tindakan diplomasi lanjutan terhadap Australia dikarenakan belum menerima hasil penelitian dari Tim Nasional Pencemaran Laut Timor. “Bagaimana bisa ada hasil penelitian sementara tim nasional yang dibentuk tersebut hanya ongkang-ongkan saja di Jakarta. Tindakan aparat Pemerintah Pusat Ini sebagai sebuah pelecehan dan pengabaian terhadap eksistensi masyarakat dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”ujarnya.
Ironisnya, kata penulis Buku Skandal Laut Timor, sebuah barter politik ekonomi Canberra-Jakarta ini bahwa apakah oknum aparat Pemerintah Pusat dan daerah mengetahui dan paham tentang masalah lingkungan adalah merupakan masalah universal sehingga tidak memiliki batas dan ruang wilayah khusus bagi kelompok masyarakat, suku bangsa dan Pemerintahan tertentu di dunia ini akan tetapi merupakan kewajiban bersama seluruh umat manusia di dunia ini untuk menjaga dan melestarikannya.
Menurutnya, tindakan oknum aparat Pemerintah ini sangat kontradiktif dengan komitmen Pemerintah Republik Indonesia tentang pelestarian lingkungan yang diperjuangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum lama ini di Copenhagen dalam Konferensi Perubahan Iklim. (Marwan Azis).