Ketgam : Blok-blok Kuasa Pertambangan Emas_Ancan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) Sulawesi Tenggara yang menjadi incaran pengusaha pertambangan.
Kendari, BERLING- Rencana revisi tata ruang wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menuai protes bahkan penolakan dari kalangan penggiat lingkungan yang menilai rencana rivisi tata ruang itu akan menjadi pintu bagi perusakan hutan dengan dalih investasi.
Inisiatif Gubernur Sulawesi Tenggara (H. Nur Alam, SE) untuk melakukan rencana revisi tata ruang wilayah tak lepas dari arahan dan saran Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono dalam kunjungan kerjanya di Kendari, Sulawesi Tenggara, 25 September 2008 lalu. Pada kesempatan itu, Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam meminta kebijakan khusus mengenai percepatan pembangunan daerahnya dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam. Secara spontan SBY, dalam sambutannya di lapangan eks MTQ Kendari menginstruksikan agar Nur Alam segera menyusun konsep percepatan pembangunan dimaksud untuk dibahas di Jakarta.
Departemen Kehutanan juga telah menurunkan tim terpadu (27/12/09) lalu untuk mengevaluasi rencana revisi tata ruang wilayah kawasan hutan di Sulawesi Tenggara (Sultra). Sejak itu protes dari berbagai kalangan NGO Lingkungan di Sultra mulai bermunculan.
Hasil investigasi dan kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra menyimpulkan bahwa, usulan revisi yang rencananya akan berlanjut pada penetapan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan kawasan ekologi genting. Sebab, sejumlah kawasan yang diusulan untuk kedalam revisi tata ruang merupakan Kawasan Ekologi Genting (KEG), yakni areal hutan yang kaya keaneka ragaman hayati yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan secara ekologi, ekonomis, sosiokultural di darat maupun di wilayah pesisir laut.
Hartono, Eksekutif Daerah Walhi Sultra menjelaskan, ciri-ciri kawasan Ekologi Genting (KEG) yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan antara lain; merupakan wilayah resapan air yang berfungsi hidrologis, penahan air, penyedia unsur hara, rumah bagi keragaman hayatai, dan keseimbangan suhu, merupakan penjamin sumber pangan, air bersih, maupun energi bagi masyarakat secara berkelanjutan, merupakan ruang hidup bagi komunitas-komunitas yang berinteraksi dengan basis nilai-nilai kearifan lokal yang terikat dalam kawasan tersebut.
Dia menilai, semangat pemerintah daerah untuk merevisi tata ruang lebih berorientasi terhadap kepentingan investasi tambang dan perkebunan. “Terbukti dari hasil data dan analisis bahwa sejumlah kawasan yang akan direvisi merupakan bagian dari rencana peta investasi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tenggara.” Katanya.
Dia mencontohkan praktek investasi PT. Damai Jaya Lestari, (Perkebunan Kelapa Sawit) di hutan produksi wilahyah Kabupaten Konawe Utara mengajukan pelepasan kawasan kepada mentri kehutanan namun ditolak.
Selain itu, masih ada praktek investasi PT. Sultra Prima Lestari, yang bergerak pada usaha perkebunan kelapa sawit dalam hutan produksi, di wilayah Kabupaten Konawe Utara. Perusahaan ini juga mengajukan permohonan pelepasan kawasan kepada Menteri Kehutanan, namun ditolak.
Selanjutnya, Kuasa Pertambangan milik Perusahaan Daerah Sultra Utama yang mendapatkan izin Ekplorasi dari Gubernur Sultra. Perusahan ini memiliki izin konsensi dalam wilayah Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai seluas 107 Ha. Ada juga PT. Ganesa Delta Pratama dengan izin eksplorasi didalam Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai seluas 856 Ha
Contoh lainnya adalah pembukaan jalan yang membelah kawasan Suaka Marga Satwa Tanjung Peropa sepanjang 21 Km di Kabupaten Konawe Selatan, adalah salah contoh nyata dari bentuk penghancuran lingkungan yang dilakukan pemerintah.
Menurut Tono, sapaan akrab Hartono, praktek kejahatan lingkungan dengan menggunakan revisi tata ruang wilayah untuk memutihkan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam kawasan hutan konservasi.
Walhi Sultra mendesak Menteri Kehutanan agar menolak usulan revisi rencana Tata ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Subtansi Kehutanan.. Selain itu, WALHI juga meminta Polda Sultra untuk melakukan penyelidikan terhadap Gubernur dan bupati yang memberikan Izin terhadap perusahaan pertambangan dan perkebunan baik eksplrorasi maupun eksploitasi di dalam kawasan hutan negara tanpa melalui mekanisme perundang – undangan yang ada. (Abdul Saban/Marwan Azis)
pertambangan selalu menimbulkan kerusakan lingkungan dan menyengsarakan rakyat..hanya segelintir orang yang akan diuntungkan
aneh ya negeri ini….kawasan yang harus dipelihara dan dipertahankan justru ingin dirusak oleh aktifitas pertambangan yang belum tentu memberikan manfaat bagi rakyat…..
Betul kawan, pertambangan itu pasti akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Pemerintah nggak konsisten, areal konservasi seperti Taman Nasional kini telah dirambah sebagai lahan tambang.
Go Green Save The Earth…!!!
weleh2 semua jadi kacau kalo berhubungan dengan uang(investasi)
seharusnya dalam penentuan fungsi lahan harus sesuai dengan kriteria lahannya, bila lahannya memang berfungsi lindung ya harus dilindungi, g usah diganggu gugat…
weleh2 semuanya memang sering kacau kalau udah urusan ama uang(investasi)…
seharusnya dalam penetapan fungsi lahan itu harus sesuai kriteria, kalo memang sesuai lindung ya harus dilindungi g usah diganggu gugat..