Aksi aktivis lingkungan di Kopenhagen Menuntut Keadilan Iklim. Foto : DELRI
Kopenhagen,Perundingan pendanaan perubahan iklim di COP 15 Kopenhagen hingga kini masih berjalan alot. Delegasi Republik Indonesia (DELRI) melaporkan pandangan negara maju masih berbeda secara prinsipil dengan negara berkembang yang diwakili oleh kelompok G77 dan China.
Amanda Katili Niode, PhD. Koordinator Divisi Komunikasi, Informasi dan Edukasi, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam siaran persnya yang diterima BeritaLingkungan.Com mengatakan, pendanaan merupakan topik yang sangat penting karena berbagai pelaksanaan kegiatan untuk penanggulangan perubahan iklim akan sangat tergantung pada pendanaan yang tersedia.
Menurutnya, pendanaan bersifat lintas isu dan akan menentukan seberapa jauh negara-negara Pihak Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC), terutama negara berkembang, akan mampu melakukan berbagai upaya untuk beradaptasi dengan dampak-dampak negatif perubahan iklim dan seberapa cepat emisi gas rumah kaca yang telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim dapat dikurangi.
Tersedianya pendanaan dari negara-negara maju akan menjadi bukti komitmen mereka memenuhi tanggung jawab sejarah sebagai pengguna dan pencemar atmosfer dan kesepakatan pemimpin-pemimpin dunia yang telah dituangkan dalam Konvensi UNFCCC.
Perundingan mengenai pendanaan telah mencapai tahap drafting teks yang akan menjadi keputusan COP 15. Sampai dengan hari ke tiga COP 15 Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim, topik yang dibahas masih tentang pengaturan kelembagaan (institutional arrangements) untuk mekanisme pendanaan.
Perundingan tersebut masih berjalan alot, karena pandangan negara maju masih berbeda secara prinsipil dengan negara berkembang yang diwakili oleh kelompok G77&China.Negara-negara maju menganggap mekanisme Global Environment Facility (GEF) harus tetap dipertahankan sebagai mekanisme multilateral untuk pendanaan perubahan iklim.
Padahal pada pertemuan UNFCCC sebelum Kopenhagen, GEF disepakati sebagai interim arrangements sampai adanya suatu mekanisme yang dibentuk dan disepakati oleh Conference of the Parties (COP), struktur pengambilan keputusan tertinggi di dalam UNFCCC. Menurut negara berkembang dan juga menurut hasil review oleh COP UNFCCC, akses terhadap dana GEF masih dirasakan sulit dan berbelit-belit, sehingga negara-negara miskin dan berkembang yang memiliki sumber daya yang terbatas sulit memperolehnya.
Indonesia selama ini telah memasukkan proposal mengenai pengaturan kelembagaan melalui Kelompok G77&China sehingga sejalan dengan pemikiran kelompok ini. Meskipun demikian, mempertimbangkan berbagai perkembangan dalam negosiasi, pentingnya diraih kesepakatan mengenai pendanaan di Kopenhagen dan juga kepentingan nasional Indonesia sendiri, maka Indonesia mengusulkan agar baik negara maju maupun berkembang melonggarkan argumennya dan lebih melihat ke depan. Selanjutnya Perundingan COP 15 di Kopenhagen harus mencapai kesepakatan mendasar yang umum, sementara hal-hal rinci dapat dibahas di sesi-sesi perundingan berikutnya.
Ketua Kelompok Kerja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim, Ismid Hadad mengatakan, dana multilateral/global harus segera dibentuk, dan pengelolaan dana tersebut bertanggung jawab kepada COP yang telah membentuk dan mengesahkannya.
Juga harus segera ada kontribusi dari dana publik negara maju sebagai “sumber dana utama”, sedangkan sumber dana lain termasuk dari sumber inovatif dan mekanisme pasar dapat menjadi tambahan dan pelengkap.”Mengacu pada studi UNFCCC, Indonesia sepakat bahwa kebutuhan pendanaan untuk adaptasi global paling kurang USD 67 milyar dan sumber pendanaan untuk hal tersebut seharusnya dari dana publik negara maju dengan nilai sebesar 0.7 – 1.5 persen dari Gross National Income, di luar dana yang dialokasikan untuk Overseas Development Assistance.
Hal senada juga disampaikan Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim. Menurutnya, pendanaan harus juga ditinjau dari sisi pemberdayaan, terutama bagaimana memberdayakan mereka yang tidak mampu mengurangi kerentanan dan melindungi diri dari dampak perubahan iklim (adaptasi) maupun mengurangi emisi gas rumah kaca (mitigasi).”Indonesia sebagai negara kepulauan yang masih berkembang dan rentan terhadap perubahan iklim sangat berkepentingan terhadap tersedianya dana perubahan iklim dan mekanisme pendanaan global yang efektif.
“Dengan masih tingginya angka kemiskinan dan kebutuhan pengembangan pendidikan dan kesehatan mendasar, dana publik Indonesia saat ini sangat tidak memadai untuk mendukung berbagai upaya adaptasi dan mitigasi di samping pengembangan teknologi untuk kedua hal tersebut,”tandasnya. (Marwan Azis).