“Pernahkah anda berpikir, siapa yang harus bertanggung jawab pada kondisi hutan kita? Anda boleh menjawab siapa saja, tapi kami menemukan beberapa sosok yang sangat gigih dalam menjaga keamanan & kelestarian, dari mereka yang memang bertugas sebagai polisi hutan, sampai seorang penjarah hutan yang kemudian tobat”.
Adalah Sadrah, seorang polisi yang bertugas di Taman Nasional Gunung Halimun, Sukabumi, Jawa Barat. Sejak tahun 1983 ia menjaga kawasan hutan seluas 113 ribu hektar hanya dengan bantuan satu orang stafnya. Ia menjaga hutan dan kawasan itu dari tangan-tangan jahil penebang hutan liar, perburuan satwa yang dilindungi, hingga penambangan emas illegal.
Banyak tantangan yang ia hadapi dalam bertugas, bahkan tak jarang ia harus berhadapan dengan bahaya. “Tangan saya pernah dibacok oleh penjarah hutan saat kami berhadap-hadapan,” kata Sadrah saat tampil di Kick Andy.
Tantangan terberat lainnya adalah menghadapi ulah para cukong penjarah hutan. Tak jarang ia mendapat tawaran uang suap , untuk pembebaskan para penebangnya yang tertangkap. “Saya tidak pernah menerima uang suap, kalau menerima pasti saya dah pakai mobil dan gak pakai motor dinas lagi,” kata Sadrah yang sehari-hari banyak berurusan dengan para penjarah yang tertangkap.
Andaikan para penjarah seperti penjarah asal Bogor bernama Badri, pasti tugas Sadrah bisa menjadi ringan.
Badri adalah seorang penjarah hutan, yang bertahun-tahun menghidupi keluarganya dengan menebang pohon di hutan dan menjual kayu-kayunya ke pasaran. Itu masa dulu, karena kini perkerjaannya sudah 180 derajat berubah. Sadrah kini sudah menjelma menjadi seorang penyelamat lingkungan dan mengabdikan diri untuk penghijauan dan pelestarian alam. Hingga kini ia telah berhasil menghijaukan tanah di sekitar sungai Ciliwung. Apa yang menyebabkan seorang penjarah bisa jadi penyelamat lingkungan?
“Saat saya mencuri kayu di siang bolong, tiba-tiba setetes air jatuh menimpa kepala. Dari situ saya sadar bahwa pohon itu sumber air,” ujar Penjarah yang pernah kabur dari kejaran polisi ini.
Dari pengalamanlah kemudian Badri menjadi sangat memahami tentang konservasi alam. Dab ia menularkan ilmunya dengan berbagai kalangan yang sering datang mengunjungi rumahnya.
Satu hal yang patut dicatat, beberapa kali Badri mendapat tawaran untuk tinggal di luar negeri memajukan pertanian di Negara Malaysia, Perancis dan Korea. Namun ia menolaknya. “Saya masih harus menjaga lingkungan di Indonesia ini,” tegasnya.
Semangat dan kecintaan pada lingkungan yang tinggi juga dimiliki oleh Baba Akong dan istrinya dari Nusa Tenggara Timur. Kisah mereka sudah didokumentasikan dalam sebuah film dokumenter dan mendapat penghargaan di ajang Eagle Award 2008.
Kehidupan korban bencana tsunami di Nusa Tenggara Timur tahun 1992 ini sungguh sangat inspiratif. Bagi mereka bencana telah membangkitkan kecintaan pada lingkungan. Kemiskinan dan kesederhanaan tidak membatasi niatnya untuk menghijaukan lingkungan. Baba Akong bersama istri selama 16 tahun terus menerus menghijaukan pesisir pantai Ndete . “Saya sempet dianggap gila,” kata Baba Akong.
Demi hijaunya kembali tanah di sekitar Baba Akong tak hanya mengorbankan tenaganya. “Saya sempat minta kalung istri untuk dibelikan poly bag, untuk keperluan benih,” ujarnya.
Hingga kini Baba Akong dan istrinya sudah menghijaukan hutan bakau di wilayahnya hingga 23 hektar. “Sekarang saya dan teman-teman yang sudah bergabung sedang menyiapkan penanaman 10 hektar lagi,” tegas pria yang pernah mengalami stroke ini.(kickandy)