Suasana Desa Bajo Indah.
Foto: Kamaruddin Azis .
Banyak orang menganggap bahwa Sulawesi Tenggara, adalah kampung kedua bagi warga Sulawesi Selatan. Berangkat dari anggapan ini, dilengkapi dengan bacaan sejarah dan fakta mengenai pengaruh kaum pendatang dari Selatan di ujung kaki pulau Sulawesi ini, citizen jurnalist reporter yang selama ini aktif di panyikul.com, Kamaruddin Azis mencoba membaca ulang hubungan-hubungan sosial budaya tersebut dengan mengamati geliat masyarakat Bajo di satu desa pesisir di bagian timur kota ibu kota provinsi Sulawesi Tenggara. Berikut ulasanya
Setelah diguyur hujan semalam, pagi itu Kota Kendari sedang cerah. Kami meninggalkan kota menuju arah pesisir timur. Setelah melewati Kampung Salo dan Kessi Lampe, pandangan kami tertuju pada pohon-pohon bakau yang rindang dan padat. Pohon-pohon yang menghijau di sepanjang teluk Kendari. Pemandangan itu menjadi tak biasa karena vegetasi ini memang teramat langka dijumpai di kota lainnya.
Pohon bakau terlihat tinggi dan menghijau sementara lidah air laut menjilati anak-anak bakau yang muncul dari dalam tanah. Pemandangan yang tak lazim, begitu alami. Kesan subur dan kaya vegetasi, itu yang dirasakan. Namun, setelah melewati beberapa kampung kami mulai ragu karena beberapa kawasan telah disulap menjadi pemukiman dan pertambakan. Salah satunya adalah desa Bajo Indah, yang menjadi tujuan kami. Desa itu berada dalam wilayah administrasi kecamatan Soropia, kabupaten Konawe Selatan atau sekitar 20 kilometer ke timur dari kota Kendari Sulawesi Tenggara.
Sebelum menuruni jalan kampung, dari atas bukit terhampar pemandangan yang indah. Rumah-rumah penduduk ibarat menyembul dari air laut. Tiang-tiang rumah berwarna coklat kehitam-hitaman dari kayu besi khas Sulawesi mengokohkan rumah-rumah warga Bajo. Di sini terdapat 120 unit rumah, rumah diatas air.
Pada saat air pasang naik, tiang-tiang rumah tersebut terendam air. Hanya jalan utama atau tepatnya disebut lorong dengan paving block yang memisahkan. Itupun panjangnya tidak lebih dua ratus meter. Selebihnya adalah jembatan kayu selebar satu meter lebih yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya. Saat air laut naik, percikannya pada tiang-tiang rumah dan tepi jalan begitu terasa begitu dekat. Laksana sedang berlayar di laut tenggara.
Dari kamar yang sempit seperti kebanyak rumah panggung di desa itu, hanya gerai tanpa daun pintu dan jendela saya merasakan getaran, ayunan dan percik air musim timur. Merasakan betapa hidup di pesisir begitu ritmis. Dunia yang berbeda dengan dunia asal saya, di Selatan, begitu mereka menyebutnya.
Kerang dan Karang
Di desa Bajo Indah warga dari siang hingga malam merasakan dan menikmati alunan indah dari angin dan sapuan laut tenggara. Menikmati dan mengarungi laut beserta seluruh isinya, memanfaatkan segala yang tersedia untuk tetap bertahan di dunia air, dunia nenek moyang mereka. Mereka dikenal sebagai nelayan tradisional, kalaupun ada perahu besar itupun biasanya kepunyaan pendatang dari daerah lain.
Setelah berkeliling dan bertegur sapa dengan warga setempat, saya alihkan pandangan pada salah satu teras belakang rumah. Di situ denyut lain nampak depan mata. Nenek Mbuti dan cucunya sedang memotong-motong ranting karang. Mereka menyebutnya sariawan (salah satu jenis karang lunak).
Satu per satu sariawan dipotong pada ruasnya yang keras. Ditemani cucunya sore itu, mereka bekerja di belakang rumah panggungnya, tepatnya teras panggung belakang. Kayu-kayu besi seukuran betis anak-anak menjadi lantai teras itu. Banyak yang tak dipaku, hanya diikat dengan tali secukupnya.
Seperti sedang memotong-motong kacang panjang saja layaknya. Itulah aktivitas sebagian wanita Bajo yang memanfaatkan informasi dan kekayaan daerahnya. Mereka mendapat informasi bahwa sariawan ini dapat dihargai Rp3.000 per kilogram. “Ada yang bilang, potongan-potongan ini digunakan untuk membuat tasbih.” Itu yang disampaikan nenek Mbuti tentang manfaat sariawan. Tidak jauh dari situ pula, beberapa anak sedang bermain di dekat tumpukan karang, sepertinya sisa karang yang tidak layak jual.
Di seberang rumah Mbuti, nenek Damina sedang bersiap-siap menambatkan sampannya. Di atas sampannya terlihat tumpukan kerang. Ada japing atau semacam oyster, kerang bulu dan kerang berwarna hijau. Mbuti dan Damina, adalah dua orang sepupu dan wanita Bajo yang telah merasakan dua gelombang kehidupan sejak di pulau Bokori dan setelah direlokasi pemerintah.
Tidak ada yang berubah, mereka tetap menggantungkan hidupnya pada kemurahan alam. Mereka memanfaatkan hasil laut untuk konsumsi dan juga dijual demi menghidupi keluarganya. Tidak ada yang mengganjalnya, entah itu spesies yang dilindungi undang-undang atau tidak. Mereka memanfaatkannya karena ada yang membutuhkannya, pasar!.
Tak jauh dari kedua nenek itu, terlihat dari jauh sampan tanpa mesin dengan layar mungil warna hitam sedang melaju kencang dari arah timur. Air terlihat berkecipak dari sisi depan sampan. Laju sekali. Air laut terlihat tenang setelah hari hujan. Yang di depan terlihat malu dan memalingkan wajahnya ketika hendak dipotret.
Sisi lain Kampung Bajo.
Foto: Kamaruddin Azis .
Pulang tanpa ikan.
Foto: Kamaruddin Azis .
Saya menyaksikan dua orang di atas sampan yang sedang melaju, tanpa mesin, indah sekali. Yang satu berbaju merah dengan topi petani di kepalanya. Yang di belakang mengarahkan kemudi. Sampan itu melewati kolong jembatan sekaligus jalan lorong desa, tempat dimana beberapa wanita desa menjemur pakaian. Berhenti pada teras belakang rumah panggung, sampan diikat sandarkan pada tangga rumah.
Rupanya, yang berbaju merah itu adalah wanita paruh baya. Dia bersama suaminya baru saja pulang dari mencari kerang di pulau Soropia dan tak lupa juga dia membawa bunga karang sariawan. “Missa dayah” kata wanita itu. Tidak ada ikan, katanya. Angin sedang tidak bersahabat jadi mereka hanya mencari kerang dan karang sariawan di pulau seberang seperti yang terlihat didalam sampan mereka.
Sejarah Desa
Mereka awalnya tinggal di pulau Bokori di seberang desa. Pulau tempat mereka memulai sejarah dan entitasnya sendiri, sejarah tentang siapa dan bagaimana mereka menjalani hidup. Awalnya, desa sekarang adalah lahan persinggahan warga desa Tapulaga, yang berkebun di sekitar hutan lindung Nipa Nipa. Lalu pada tahun 1980an beberapa warga pulau Bokori mulai berdiam tapi masih satu dua orang.
“Kami tambang dailu mandiru” kami tinggal dulu disitu. Kata nenek Damina dalam bahasa Bajo. Nenek ini bermata biru, dengan rambut ikal memutih, cantik dan gesit. Saya membayangkan masa mudanya, pasti cantik.
Dia bercerita tentang masa-masa awal kemerdekaan, ayahnya yang Bajo, menyembunyikannya jika ada tentara Jepang dan Serdadu Belanda. Mereka kerap bersembunyi di rimbunan hutan bakau dan pohon-pohon di pesisir pulau. “Kira-kira 6 tahun, umur saya kala itu” Katanya. Menurut ceritanya, kawasan sekitar pulau Bokori sangat sering dilewati kapal-kapal perang dan sering terdengar raungan pesawat tempur. Kawasan ini memang menjadi strategis sebagai titik persinggahan pelayaran dari timur ke barat.
Mereka menikmati masa-masa kecil hingga tua di pulau Bokori. Lalu pada awal tahun 90an pemerintah setempat meminta mereka untuk berpindah dari pulau ini ke pesisir daratan utama Sulawesi Tenggara tepatnya di pesisir Soropia. Menurut warga, salah satu alasan mereka dipindahkan adalah susahnya memperoleh air tawar atau air bersih.
Beberapa warga awalnya menolak namun kemudian menyetujui untuk pindah setelah diberikan ganti rugi rumah sesuai dengan ukuran dan kualitas rumahnya. Tahun 1991, terdapat 91 unit rumah yang disiapkan oleh pemerintah setempat untuk warga dari Bokori. Kini terdapat 128 rumah panggung.
“Saat itu, ada yang dibayar sejuta hingga dua jutaan” kata nenek Mbuti. Banyak juga yang tanpa pikir panjang menerima tawaran pemerintah ini. Akhirnya mereka direlokasi setelah sebelumnya dibuatkan rumah panggung. Hamparan pohon bakau (mangroves) yang menjadi tempat mereka menambatkan perahu jika hendak mengambil air tawar telah dibersihkan dan menjadi areal pemukiman. Hanya beberapa pohon yang terlihat masih ada, yang lainnya, tersisa batang pohon yang telah ditebang.
Menurut kepala desa, Rustam, desa Bajo Indah merupakan desa pemekaran. Tepatnya pada tanggal 9 Juli 1999 berubah statusnya menjadi desa definitif. Terdapat 228 kepala keluarga, dengan jumlah jiwa 938. “Sebelum tinggal di sini, warga adalah pengahuni pulau Bokori sejak turun temurun” Rustam adalah anak keturunan Bugis dengan ibu suku Tolaki, salah satu suku asli di Sulawesi Tenggara. Keturunan Bajo sekitar 80 persen walaupun tidak sepenuhnya Bajo karena telah kawin mawin dengan beberapa pendatang atau suku lain.
Banyak warga Bajo mengakui bahwa mereka juga mempunyai cerita sejarah dan budaya lokal. Namun yang tahu persis adat-adat dulu sudah meninggal. Dayung-dayung, majjoge, bendera merah dan putih, bendera ula-ula adalah beberapa bagian dari ritual mereka. Mereka mengakui bahwa tanah leluhurnya berasal dari salah satu wilayah di daerah Selatan. Mereka kemudian berpencar menuju wilayah tenggara dan tengah Sulawesi.
Seperti disinggung oleh nenek Mbuti, keluarga besarnya berasal dari daerah Saenoa di Salabangka, Sulawesi Tengah yang juga sebagai tokoh utama Bajo atau Lolo Bajo. Sepupunya bersuamikan Sapiin, seorang tokoh Bajo yang menyimpan beberapa peninggalan upacara mereka namun sudah meninggal. Buku-buku sejarah orang Bajo terdapat di pulau Masigiang atau biasa disebut pula pulau Tiga.
Untuk memenuhi kebutuhan air minum, pemerintah memasang pipa yang menyuplai ketersediaan air minum dan MCK. Hanya beberapa warga yang mempunyai WC cemplung. Itupun jarang digunakan. Kala itu tak terlihat puseksmas atau puskesmas pembantu. Tapi menurut warga, praktek dukun masih marak. Bagi yang hendak ke Puskesmas harus ke desa tetangga. Hampir sebagian besar rumah warga memang masih sangat sederhana. Tidak ada kamar mandi atau MCK khusus. Warga setempat sepertinya menggunakan cara praktis membuang hajat, misalnya ketika air pasang.
Pohon bakau yang tersisa.
Foto: Kamaruddin Azis .
Bajo yang Heterogen
Etnis Bajo sebagai entitas sosial nampaknya kini juga tidak lagi homogen, mereka telah bercampur dengan beberapa suku di Sulawesi. Beberapa keturunannya merupakan hasil perkawinan dengan suku dari Selatan. Mereka menyebut orang Selatan seperti suku Makassar dan Bugis. Kedua suku ini merupakan dua suku yang secara turun temurun banyak bersentuhan dan menjadi bagian silsilahnya. Seperti Aco lelaki muda yang beristri Bajo, adalah anak Sungguminasa, Gowa. Menikah dengan wanita Bajo, setelah sebelumnya pernah tinggal di Kendari bersama orang tuanya yang asal Gowa.
Selain Aco, beberapa warga lainnya adalah asal Bulukumba, Makassar (dari pulau-pulau di Makassar), Wajo dan Bone. Wanita-wanita Bajo banyak yang menikah dengan pria asal daerah diatas setelah sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan pendatang. Ada yang bekerja sebagai nelayan gae (purse seine). Setelah beberapa tahun beroperasi di perairan Kendari banyak dari mereka akhirnya melabuhkan hatinya di Bajo Indah dengan mempersunting wanita setempat.
Tidak heran jika di dekat desa Bajo terdapat dusun Lappe. Nama ini mengingatkan kita pada salah satu pelabuhan di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Warga Bajo, banyak yang ikut menangkap ikan dengan kompressor, gae (purse seine), maupun mencari lobsters atau teripang. Pengaruh teknologi karena arus informasi yang begitu kencang juga sangat berpengaruh dalam pola kehidupan mereka. Mereka kerap berpindah dari pulau ke pulau dari laut ke laut. Mereka berinteraksi dengan warga pendatang, bergaul dan menerima mereka dengan terbuka.
Aminuddin, lelaki paruh baya yang berprofesi sebagai nelayan jaring ini misalnya. Lelaki asal Bajoe, Bone ini, awalnya adalah nelayan yang pernah berdiam di Tiworo dan beberapa pulau di kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Sekarang beristrikan orang Bajo dan sampai belum pernah pulang berkunjung ke tanah asalnya. Dia menempati salah satu rumah di desa itu, setelah yang punya bercerai dan memberikan rumah kepadanya. Sang suami stress dan si istri meninggalkan kampung lalu hijrah ke pulau Bangka, Sumatera.
Nampaknya, warga Bajo bukan lagi suku ekslusif. Mereka yang berdiam pada sebanyak 128 unit rumah berada pada transisi dan perubahan, antara memanfaatkan hasil laut sebagai keterampilan turunan atau beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang semakin kompleks. Mereka bukan lagi suku tertutup atau susah beradaptasi. Fakta bahwa mereka berinteraksi dengan siapa saja adalah gambaran bahwa dalam entitas mereka sikap terbuka pada dunia luar tetap ada.
Bagi warga Bajo di Desa Bajo Indah, sejak mereka berdiam di daratan utama ini kontak dengan dunia luar semakin intens. Warga pendatang semakin banyak, mas mas penjual mainan, penjual bakso, penjual barang pecah belah silih berganti memasuki lorong warga. Relatif dekatnya akses dengan kota Kendari menjadi sangat terbuka untuk mereka dapat berinteraksi dengan siapa saja dan tentu saja hal-hal baru. Entah itu interaksi yang mutualistik atau sebaliknya, merekalah yang akan putuskan.
Sebelum meninggalkan desa pesisir itu, malamnya, saya menikmati suguhan tari Malulo, tarian khas suku Tolaki yang juga telah menjadi kebiasaan warga setempat jika sedang melakukan acara-acara selamatan atau pesta perkawinan. Malam itu mereka berpegangan tangan, berdendang. Pria dan wanita, anak-anak remaja dan orang tua menari seraya membentuk lingkaran. Bergerak mengikuti musik elekton dan penyanyi dangdut house music. Sampai pukul 12 malam, para penari dan penonton belum beranjak. Sepertinya, mereka sedang mengikuti siklus surut laut malam itu, hingga tiang-tiang rumah terlihat kering dalam siraman bulan penuh di semenanjung Soropia.(Sumber :Panyingkul.com)
*Citizen reporter Kamaruddin Azis dapat dihubungi melalui email daeng.nuntung@gmail.com