Penolakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) atas seruan moratorium penggundulan hutan merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup orangutan (Pongo Pygmaeus) di Kalimantan. Argumentasi yang disampaikan mengenai sudah adanya kriteria-kriteria lingkungan dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sama sekali bukan jaminan bahwa perusahaan kelapa sawit tidak membahayakan orangutan dan habitatnya.
“Fakta menunjukkan bahwa tidak ada relevansi yang nyata antara RSPO dan pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Kriteria – kriteria dan prinsip – prinsip mengenai perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan terus dibahas dan disempurnakan dalam Rapat Tahunan RSPO setiap tahunnya, namun hutan dan orangutan terus terbantai setiap tahunnya oleh anggota – anggota RSPO. Ini ironis,” kata Novi Hardianto, Manajer Program Habitat dari Centre for Orangutan Protection (COP)
Investigasi COP di areal konsesi Agro Group dan IOI Group di Kabupaten Kotawaringin Timur – Kalimantan Tengah, keduanya merupakan anggota RSPO, membuktikan bahwa kedua perusahaan tersebut membabat hutan dan membahayakan nyawa orangutan.
Setidaknya, 56 orangutan terpaksa dievakuasi dari areal konsesi PT. Agro Bukit oleh Rescue Team dari Departemen Kehutanan dan Yayasan BOS sepanjang tahun 2006 – 2007. PT. Agro Bukit, anak perusahaan dari Agro Group menjadi anggota RSPO sejak 18 Agustus 2006. Tindakan evakuasi adalah pilihan terbaik daripada orangutan – orangutan tersebut mati dibunuh karena selain menakuti pekerja juga dianggap hama yang merugikan. Pada tanggal 4 Mei 2007, investigator mendokumentasikan seekor induk orangutan yang telah ditangkap oleh para pekerja PT. Agro Bukit dan dimasukkan ke dalam peti kayu. Induk orangutan terluka parah di kepala karena diduga kuat telah dicangkul kepalanya. Sayangnya, Departemen Kehutanan nyaris tidak mampu berbuat apapun untuk menegakkan hukum pada para pelaku tindak kejahatan dan kekejaman terhadap orangutan di areal konsesi Agro Group, baik di level pelakunya langsung maupun manajemen.
Ironisnya, Departemen Kehutanan telah menerima uang sejumlah 60 juta rupiah untuk menyelenggarakan Workshop Orangutan Action Plan di Palangkaraya pada tanggal 12 – 13 Agustus 2008. Workshop ini diinisiasikan oleh Orangutan Conservation Service Program (OCSP) dari USAID.
Pada saat yang hampir bersamaan dengan dilangsungkannya workshop tersebut, PT. Agro Wana Lestari anak perusahaan dari Agro Group membabat hutan di Kuala Kuayan – Kalimantan Tengah. Luas konsesi yang telah dibeli dari Pemerintah Indonesia adalah 23.000 hektar. Pada tanggal 2 – 7 Agustus para sukarelawan COP dengan didampingi oleh 14 warga masyarakat setempat mendokumentasikan keanekaragaman hayati di kawasan Bukit Sentuai.
Tim mendapati sarang, jejak, sisa pakan dan suara – suara yang mengindikasikan keberadaan satwa-satwa liar langka dan dilindungi seperti orangutan (Pongo pygmaeus), beruang madu (Helarctos malayanus), Tarsier (Tarsius bancanus) , Owa-owa (Hylobates muelleri) dan Kukang (Nycticebus menagensis).
Patut untuk diselidiki kenapa tidak ada satupun laporan dari pihak perusahaan mengenai keberadaan orangutan dan satwa liar lainnya ke Yayasan BOS maupun Departemen Kehutanan, padahal PT. Agro Group telah membabat hutan di kawasan sekitar Bukit Sentuai, tepatnya di dusun Kaminting, Tilap, Tanahluan, Penyahuan, Sapia, Tewamara dan Tumbang Panyang. Bagi masyarakat setempat, Bukit Sentuai merupakan kawasan yang dilindungi adat Dayak karena dianggap keramat.
Masih di Kabupaten Kotawaringin Timur, IOI Group juga terus membabat hutan untuk memperluas perkebunan kelapa sawitnya. Pada saat dilangsungkannya Rapat Tahunan ke-5 RSPO di Kuala Lumpur pada tanggal 18 November 2007, tim penyelamat dari Yayasan BOS dan Departemen Kehutanan bekerja keras mengevakuasi orangutan-orangutan yang tersisa di areal konsesi PT. Karya Makmur Bahagia, anak perusahaan IOI Group yang beroperasi di Antang Kalang – Kalimantan Tengah. Orangutan yang berhasil dievakuasi kemudian dipindahkan ke hutan lain yang belum dibabat dan memang diperuntukkan untuk kawasan lindung oleh PT. KMB. Namun fakata berbicara lain. Pada bulan Juli 2008, Yayasan BOS dan Departemen Kehutanan terpaksa kembali mengevakuasi orangutan-orangutan tersebut karena hutan dimana mereka dipindahkan dulu, kini juga telah habis dibabat untuk perkebunan kelapa sawit.
COP menilai bahwa RSPO telah berkembang menjadi sebuah alat untuk menipu publik dan legitimasi atas kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit terhadap orangutan dan habitatnya. Jika ini terus dibiarkan, maka prediksi COP bahwa orangutan yang berada di luar kawasan konservasi di Kalimantan Tengah akan punah dalam tiga tahun mendatang, akan menjadi kenyataan.(Lutfi Pratomo)