Oleh
Arif Satria
Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB
Sejak wacana Blok Politik Hijau (BPH) yang diusung WALHI tahun 2006, hingga saat ini tercatat hanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang telah mendaklarasikan sebagai “partai hijau” (soft green party).Bukan karena warna benderanya yang hijau,
tapi karena PKB hendak menjadi partai politik yang peduli pada isu lingkungan. Gagasan BPH merupakan upaya mainstreaming isu-isu lingkungan ke dalam sepak terjang partai politik. Jadi, partai politik manapun diharapkan punya platform tentang lingkungan hidup dan dapat merupakan kaukus tersendiri. Ini menarik karena berbeda dengan gagasan partai hijau (green party) sebagaimana berkembang di Eropa.
Di Swiss ada Ecology Party yang berdiri sejak 1972, dan di Inggris ada Green Party sejak tahun 1973. Begitu pula di tahun 1990-an di negara-negara eks-Soviet dan Eks-Yugoslavia juga berkembang, seperti Slovene Greens di Slovenia, Green Action di Kroasia, serta Green Party di Georgia. Di Eropa gerakan lingkungan tersebut
telah menjadi partai politik tersendiri (hard green party).
Indonesia bisa saja meniru model Eropa dengan mendirikan partai hijau, namun kalkulasi politiknya perlu dilakukan lebih jauh. Yang jelas antara gagasan BPH dan parpol hijau tidak perlu dipertentangkan. Justru agenda yang mendesak adalah mengkaji bagaimana prospek dan urgensi politik hijau di Indonesia.
Kini persoalan lingkungan hidup di Indonesia sudah sangat akut. Lihat saja terumbu karang yang dalam kondisi baik hanya 6%. Hutan yang rusak mencapai 2 juta hektar/tahun. Erosi dan longsor terjadi dimana-mana. Hasil studi IPB memprediksi bahwa tahun 2010 sebanyak 55 DAS dan Sub DAS mengalami deforestasi lebih besar dari 20%. Tahun 2015 menjadi 120 DAS, tahun 2020 menjadi 123 dan pada tahun 2025 menjadi 126 DAS yang mengalami deforestasi lebih dari 29% areal DAS. Juga Pencemaran udara dan air seolah tak terhindarkan. Bayangkan saja 73% sumur di Jawa tercemar amoniak.
Kita baru sadar atas sejumlah krisis lingkungan ketika isu perubahan iklim global menguat. Namun demikian, yang mesti dipahami adalah bahwa persoalan tersebut bukanlah merupakan proses yang netral-teknis semata, tetapi lebih merupakan proses politik dari aktor-aktor yang terkait dengan kepentingan sumberdaya alam. Jadi, perubahan lingkungan merupakan bentuk politicised environment, kata Bryant (2000), sehingga kerusakan lingkungan dapat dilihat dari sumber politik (political resources), kondisi (konflik aktor), serta dampaknya terhadap ketimpangan sosial ekonomi.
Sumber politik masa lalu berupa kebijakan yang sangat sentralistik, antroposentrik dan teknokratik, yang tercermin dari mekanisme perijinan pemanfaatan sumberdaya. Semua harus dari pusat yang memonopoli pengetahuan dan kebenaran, sehingga hal-hal yang berbau lokal dan tradisional diabaikan. Akibatnya masyarakat menjadi “tamu” di rumahnya sendiri dengan “tuan rumah” baru yang berasal dari pemilik modal Jakarta.
Disinilah, otonomi daerah yang mengamanatkan sebuah proses desentralisasi sebenarnya bisa menjadi jalan keluar. Namun persoalannya, ternyata otonomi daerah tidak seindah yang dibayangkan. Sebagai gambaran, hasil studi kantor Menko Perekonomian (2006 dan 2007) menunjukkan bahwa dari 119 Perda yang terkait dengan SDA, sebanyak 60% berisi ijin eksploitasi SDA, 30% berisi tindakan kolaboratif pengelolaan dan pemanfaatan SDA, dan hanya 10% yang berisi hak akses dan kontrol masyarakat atas SDA. Kondisi ini tidak lain dipicu oleh nafsu pemda untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ini menggambarkan bahwa pemda masih berpikir sempit dan jangka pendek, dan yang terjadi hanyalah desentralisasi dan bukan devolusi.
Tentu persoalan makin akut ketika mekanisme Pilkada diberlakukan. Hal ini karena ongkos politik akan semakin mahal dan lalu eksploitasi SDA secara berlebihan menjadi opsi yang menggiurkan. Dalam hal ini tentu tidak saja politisi daerah yang berperan tetapi juga politisi nasional. Illegal logging yang terjadi dapat dilihat dari perspektif ini. Begitu pula kasus-kasus pertambangan bermasalah, termasuk pertambangan pasir laut beberapa waktu lalu. Yang menarik adalah ternyata penyu juga menjadi isu politik. Di sebuah kabupaten, telur penyu diperdagangkan dan menjadi sumber pembiayaan politik partai tertentu. Padahal perdagangan telur penyu dilarang baik secara internasional maupun nasional. Upaya NGO, masyarakat, dan pemda untuk konservasi penyu terhalang oleh para politisi yang menikmati keuntungan dari perdagangan telur penyu.
Hal di atas menggambarkan bahwa persoalan lingkungan adalah persoalan politik. Oleh karena itu ada beberapa upaya penyelesaian masalah lingkungan secara politik. Pertama, perbaikan hubungat pusat dan daerah dalam kerangka perbaikan lingkungan hidup, serta penguatan devolusi pengelolaan SDA, sehingga masyarakat memiliki akses dan kontrol atas SDA-nya. Kedua, perlu mainstreaming lingkungan hidup dalam visi, kebijakan dan program setiap partai politik di Indonesia. LSM-LSM lingkungan perlu membuat kontrak politik dengan parpol terkait dengan janji parpol untuk memperhatikan lingkungan. Konsekuensinya, perlu pendidikan lingkungan bagi para politisi, juga penguatan LSM dan masyarakat sipil di daerah.
Ketiga, perlu adanya daftar politisi dan parpol yang didanai dari kegiatan-kegiatan yang merusak lingkungan sehingga masyarakat tahu track record mereka dalam hal lingkungan. Inipun perlu disertai dengan penegakan hukum yang adil.
Keempat, masyarakat perlu diperkenalkan kriteria baru dalam menggunakan hak pilihnya : pilih wakil rakyat, calon presiden, gubernur, bupati yang punya kepedulian terhadap lingkungan hidup. Sehingga, meski kita tanpa “Partai Hijau”, spirit pro-lingkungan dijiwai seluruh parpol dan pemerintah, yang pada akhirnya kebijakan nasional maupun daerah yang ada selalu berwawasan lingkungan. (Gatra)
#####