Oleh : Hendri Teja
Amerika Serikat (AS) gagal. Tekanan konsensus politik dan ilmiah untuki bereaksi terhadap perubahan iklim akhirnya membuat AS dan negara pendukungnya, Kanada dan Jepang, terpaksa mensepakati target pengurangan emisi bagi negara-negara maju sebesar 25-40 persen pada tahun 2020 berdasarkan kuntitasnya di tahun 1990. Kendati begitu, hasil Konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) yang dirangkum dalam peta jalan bali (Bali Roadmap) tidak serta merta memuaskan kalangan aktivis lingkungan. Pasalnya meski ’telentang’, AS masih sukses menjebolkan target spesifik penurunan emisi menjadi hanya sebatas catatan kaki pembukaan.
Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Nobua Tanaka sangat menyesalkan hal ini. Menurutnya tanpa kebijakan baru, emisi karbon terkait energi akan meningkat hampir 60 persen, mencapai 42 miliar ton (ekuivalen CO2) pada 2030. Angka ini lebih tinggi dari proyeksi tahun lalu yang hanya sekitar 1,5 miliar karena jauh lebih besarnya penggunaan batu bara dari yang diperkirakan semula. (Kompas, 12/12).
Maka bukan sekedar gagah-gagahan bila pemerintah RI didukung oleh NGO lingkungan sedunia, termasuk Al Gore peraih nobel perdamaian 2007, berpeluh keringat untuk melobby delegasi AS tersebut. Imbas negatif dari global warming memang begitu besar. Berdasarkan data German Watch, Indonesia (5,75) masuk urutan ketiga terkena dampak global warming setelah Korea Selatan (5,75) dan Filiphina (4,0) dengan total korban tewas 1.297 orang. Peringkat tersebut berpatokan pada bencana lingkungan yang terjadi sepanjang 2006 di kepulauan nusantara.
Namun sebagaimana kesepakatan di tingkat internasional lainnya, Bali Roadmap pun berpotensi dikangkangi pelaksanaannya. Kesepakatan tersebut terkait sekali dengan peremajaan faktor-faktor produksi suatu industri menjadi ramah lingkungan yang dimaknai oleh para kapitalis sebagai pengeluaran tambahan yang mubazir. Maka tak heran bila AS, Jepang dan Kanada sebagai negara yang melandaskan kemajuannya di sektor industri sempat ’ngotot’ menolak Bali Roadmap. Di Indonesia sendiri industri-industri ’hijau’ masih bisa dihitung jari. Bahkan industri-industri besar pun, skala PT. Freport, PT. Newmont, PT. Semen Padang, belum sanggup untuk melakukan perombakan infrastrukturnya pada level tersebut.
Yang jelas, Bali Roadmap telah disepakati dan salah satu elemen pontensial untuk mengawasi penerapannya di Indonesia adalah pecinta alam.
Salah satu substansi Kode Etik Pecinta Alam yang disepakati bersama oleh pecinta alam seIndonesia pada tahun 1974 di Ujung Padang adalah menjaga kelestarian bumi beserta isinya. Ironisnya, implementasi dari kesepakatan tersebut tidak serta merta terlaksana dengan baik. Perubahan trend, lifestyle dan akses komunikasi dan transportasi yang cepat justru membuat aktivitas pecinta alam di Indonesia cenderung pragmatis, spontanitas dan hanya bersifat petualangan (adventure).
Padahal kuantitas pecinta alam di Indonesia cukup besar. Data Temu Wicara Kenal Medan (TWKM) Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) di Univ. Semarang (2006) mencatat keberadaan 440 organisasi Mapala tingkat Universitas yang tersebar di penjuru Nusantara. Kuntitas ini akan melonjak bila organisasi pecinta alam di tingkat fakultas, sekolah, klub dan masyarakat diikutsertakan.
Di Sumbar sendiri tercatat berbagai jaringan pecinta alam, mulai dari Lingkar Mapala Sumbar (Limpa Sumbar), Sekretariat Bersama Pecinta Alam (Sekber PA) di Sumbar dan Padang Pariaman, FK3I Sumbar, hingga Forum Komunikasi Mapala Unand (Forkompa Unand).
Secara kualitas pecinta alam di Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Pecinta alam Indonesia berkarakter heterogen, tersebar dalam beragam disiplin ilmu, beraneka profesi dan berbagai kondisi dan situasi organisasi. Bukan sekedar kemampuan berpetualang, tetapi skill meneliti, konservasi, advokasi maupun fundricing aktivitas sesungguhnya telah melekat di tubuh organisasi pecinta alam sendiri.
Sayangnya gerakan pengawasan dan mendorong pelestarian lingkungan oleh pecinta alam di Indonesia umumnya terkendala oleh : Pertama, Pengkaderan. Pendidikan dasar cinta alam belum sepenuhnya mampu menanamkan nilai-nilai pelestari lingkungan. Pengkaderan yang berlaku di organisasi pecinta alam umumnya baru menyentuh tataran fisik (baca: skill adventure) sehingga individu-individu yang kemudian bertranspormasi menjadi agen pelestari lingkungan umumnya adalah para senior yang sudah jenuh dengan aktivitas adventure. Terkadang ketidakmampuan para senior mengkooptasi organisasinya menimbulkan rasa jenuh dan putus asa.
Kedua, Figur. Pecinta alam Indonesia saat ini kekurangan figur. Soek Hoek Gie, pendiri Mapala UI pernah menjadi figur mapala se-Indonesia. Sehingga pada dasawarsa 1960-1970-an, pecinta alam Indonesia masih sering ditemukan turun ke jalan untuk mendorong gerakan pelestarian lingkungan. Pada dasawarsa 1980-an, Norman Edwin sempat memikat para pecinta alam dengan aktivitas-aktivitas ekstrimnya sebelum menghembuskan nyawa di Gunung Ancaragua. Lantas, pada dasawarsa 1990-2000an, belum ada pecinta alam yang memiliki karisma sekuat dua sosok tadi. Nama Mamay S. Salim sering disebut-sebut, sayangnya aktivis tersebut hanya mampu menjadi ‘nabi’ di kalangan para climber. Nama Khalid Muhammad Direktur Eksekutif Walhi Pusat yang berdarah kental Mapala Univ. Sriwijaya, bahkan nyaris tidak pernah disebut-sebut di kalangan Mapala Indonesia.
Ketiga, Ego Organisasi. Sejak mula berdirinya, pecinta alam Indonesia memang berakar dari eksklusifitas, egosentris dan dizzy freedom dari para personilnya. Tiga landasan tadi membuat organisasi pecinta alam terbagi dalam fragmen-fragmen yang sulit sekali disatukan. Mapala universitas tak sertamerta mengakui keberadaan mapala tingkat fakultas, mapala tak mau disamakan dengan Kelompok Pecinta Alam (KPA) ekternal kampus, Sispala segan menjalin hubungan dengan senior-seniornya di KPA dan Mapala.
Kondisi ini berakibat pada sulitnya pecinta alam mengakumulasi diri menjadi sebuah gerakan yang masif, efektif dan didengar oleh para pengambil kebijakan.
Benang merah dari pemaparan di atas adalah sudah saatnya pecinta alam di Indonesia meretopeksi kembali filosofi keberadaannya, sesuai dengan kode etik pecinta alam. Akumulasi gerakan pelestarian lingkungan yang masif, efektif dan berkelanjutan hanya akan terbentuk bila pecinta alam di Sumbar khususnya dan Indonesia umumnya mau merombak ulang format pengkaderan, pembentukan figur bersama dan menekan eklusifitas dan ego organisasi masing-masing.
*Penulis adalah Koorda. Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia-Sumatera Barat.