Oleh: Hendri Teja*
Sebenarnya kota Padang tidak layak dilanda banjir. Setidaknya ada tiga faktor yang melandasi pemikiran ini, 1) Kota Padang dikelilingi oleh hutan Bukit Barisan dan Tahura Bung Hatta yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air hujan (catchmen area); 2) Kota Padang memiliki sungai-sungai besar sebagai drainase alami yang mengalirkan air hujan langsung ke laut; 3) Fenomena banjir telah bertahun-tahun terjadi sehingga Pemko mestinya telah dapat melakukan tindakan antisipasi.
Sayangnya, tiga faktor tadi belum cukup bagi Pemko Padang untuk melakukan tindakan preventif. Di bulan Desember ini, sudah dua kali kota Padang dilanda banjir. Korban pun berjatuhan. Ribuan warga mengungsi, ratusan rumah tenggelam, akses jalan terputus hingga puluhan hektar sawah rusak.
Musibah banjir yang melanda kota Padang jelas bukan kutukan apalagi kado akhir tahun dari Tuhan. Banjir adalah fenomena alami yang terjadi ketika kondisi alam terganggu dan keseimbangan baru tercipta. Selain persoalan global warming, masyarakat pun secara sadar maupun tidak sadar berkontribusi positif menyumbang terjadinya banjir di kota Padang, diantaranya :
Pertama, deforestasi. Hutan di kawasan Bukit Barisan dan Tahura Bung Hatta merupakan hutan lindung yang keberadaannya berfungsi untuk menahan laju air hujan. Akar pepohonan di kawasan tersebut memiliki daya hisap yang kuat untuk menahan air dan melepaskannya secara perlahan-lahan ke arah hilir. Dengan topografi miring, maka penebangan hutan secara sembarangan di kawasan tersebut menyebabkan air mengalir deras tanpa hambatan. Melonjaknya laju air hujan di hulu akan menyebabkan debit aliran sungai di kawasan hilir melonjak drastis hingga kadangkala tak tertampung lagi di badan sungai dan banjir pun terjadi.
Kedua, penyempitan badan sungai. Secara alami Tuhan telah menciptakan sungai-sungai besar di kota Padang sebagai pengendali banjir. Sayangnya tata ruang kota yang kurang optimal telah menyebabkan penyempitan badan sungai dengan pengalihfungsian Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi pemukiman, jalan maupun areal pertanian. Belum lagi ketidaktahuan masyarakat di sekitar DAS yang masih acap membuang sampah dan limbah ke sungai. Di Bt. Kuranji juga masih bisa ditemui aktivitas penambangan pasir dan usaha pemecah batu. Selain itu, deforestasi di kawasan hulu juga menarik lumpur, pasir dan bebatuan yang berakibat pada pendangkalan badan sungai.
Ketiga, drainase pemukiman. Untuk kasus-kasus tertentu, banjir juga dipengaruhi oleh rusaknya saluran drainase di lingkungan pemukiman. Selokan dan banda yang menyertai perumahan maupun jalan raya seringkali tersumbat, rusak bahkan putus di tengah jalan sehingga menghambat aliran air ke saluran drainase utama. Ironisnya, nilai-nilai individualis masyarakat (terutama di kawasan komplek perumahan) seringkali menghambat terjadinya gotong royong perbaikan drainase tersebut. Padahal kemampuan Pemko untuk mengatasi kondisi tersebut sungguh terbatas.
Kendati banjir telah menjadi musibah rutin yang melanda kota Padang, toh kebijakan Pemko tetap saja reaktif ketimbang preventif. Ketika banjir terjadi Pemko biasanya bergerak ligat menurunkan tim SAR dan tim kesehatan, melakukan tinjauan lapangan dan berjanji untuk membantu kerugian masyarakat sesuai kemampuan Pemko. Untuk penanggulangan banjir seperti Simpang Kalumpang, Rimbo Jaring dan Koto Tangah, Pemko tengah melakukan normalisasi Bt. Kandis. Hingga saat ini proyek tersebut masih terkendala oleh proses ganti rugi masyarakat (Padeks, 26/12).
Elemen masyarakat seperti ormas, NGO, maupun Parpol lantas berlomba-lomba melakukan bakti sosial. Tetapi tindakan tersebut tentu saja tidak cukup. Kerugian yang diderita masyarakat akan selalu lebih besar dari insentif yang dapat diberikan Pemko maupun masyarakat yang lain.
Ketimbang melakukan aktivitas bantuan seremonial, alangkah baiknya bila Pemko mulai melakukan aktivitas pencegahan langsung dari akarnya, yaitu: 1) pencegahan deforestasi dan reboisasi hutan bukit barisan; 2) normalisasi drainase dan mengembalikan fungsi DAS dengan tata kota yang memperhitungkan kondisi lingkungan; 3) perbaikan drainase di pemukiman dan jalan. Dan karena sudah kelewat sering menghadapi persoalan banjir di kota Padang, logikanya strategi pencegahan Pemko tentu akan semakin sempurna.
Yang jelas antisipasi banjir di kota Padang tidak bisa semata-mata dibebankan kepada satu sektor. Pasalnya penyebabnya juga komplek, terkait dengan kebijakan dinas kehutan dan pertanian, dinas tata ruang, masalah ekonomi masyarakat dan penyadaran masyarakat sekitar DAS tentang aktivitas-aktivitas ’menyimpang’ mereka.
Pemko tidak bisa ’potong kompas’ dengan melakukan normalisasi sungai bila sumber persoalan di hulu belum terselesaikan. Perbaikan drainase di hilir hanya akan mencegah banjir untuk sementara waktu sebab erosi dan aliran air bah dari kawasan hulu lambat laun akan kembali mendangkalkan dan menyempitkan badan sungai. Sebaliknya Pemko tidak bisa hanya memprioritaskan pada pencegahan deforestasi karena saat ini kemampuan sungai menampung air dari arah hulu dan pemukiman penduduk juga terbatas sekali.
Tentunya untuk mencapai kondisi di atas akan membutuhkan dana, waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Namun permasalahan ini bisa saja diatasi bila Pemko mampu melakukan pengkoordinasian dinas-dinas terkait di atas dengan stakeholder, seperti para pecinta alam di kota Padang.
Di kota Padang sendiri tercatat keberadaan berbagai jaringan pecinta alam, mulai dari Lingkar Mapala Sumbar (Limpa Sumbar), Sekretariat Bersama Pecinta Alam (Sekber PA) di Sumbar dan Padang Pariaman, FK3I Sumbar, hingga Forum Komunikasi Mapala Unand (Forkompa Unand). Jumlah tersebut akan melonjak bila pecinta alam di tingkat sekolah dan komunitas masyarakat diikutsertakan. Paling tidak, untuk persoalan tenaga Pemko tidak akan terlalu kesulitan, karena sosok pecinta alam memang ditempa dengan kode etik pecinta alam yang teguh dan ikhlas menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan kondisi di atas, mungkin tak bijak bila mempertanyakan apalagi yang kurang kepada Pemko sehingga musibah banjir masih juga melanda kota Padang. Yang perlu didudukkan di sini adalah political will dari Pemko sendiri agar tidak membuka kesan kalau korban banjir itu memang disengaja keberadaannya demi maksud dan tujuan pencarian simpati bagi segelintir orang. Apalagi Pilkada Kota Padang sudah dekat? Wallahu’alam bisshawab.
*Penulis adalah Koorda. Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia-Sumatera Barat (FK3I Sumbar).