Jakarta, Greenpress-Greenpeace dan FOKER (Forum Kerjasama LSM Papua memperingatkan pemerintah Indonesia karena telah menutup-menutupi ancaman dan risiko yang harus dihadapi hutan dan masyarakat asli Papua atas rencana pembangunan jalan Trans-Papua.
“Membuka akses jalan ke dalam hutan Papua demi pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar tidak hanya akan mengakibatkan penyusutan keanekaragaman hayati yang tak terpulihkan, tetapi juga akan memiliki dampak pada kehidupan dan penghidupan masyarakat Papua,” ujar Bustar Maitar, juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara.
Jalan sepanjang 4.500 km yang akan menghubungkan propinsi Papua dan Papua Barat akan melintasi kawasan konservasi yang memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.
“Kami meminta pemerintah dan masyarakat Papua untuk mewaspadai kebijakan percepatan pembangunan Papua khususnya rencana pengembangan infrastruktur yang didorong oleh rencana eksploitasi sumber daya alam atas nama kesejahteraan bagi masyarakat Papua,” Bustar menambahkan.
Menurut Arie Rostika media campaing Greenpress, FOKER LSM Papua dengan dukungan Greenpeace Asia Tenggara berencana menyelenggarakan serangkaian konsultasi publik antara Juli dan Desember 2008 guna mengkaji risiko tak-terhindarkan yang akan dihadapi kehidupan sosial dan lingkungan Papua akibat pembangunan jalan Trans-Papua ini.
Hasil konsultasi publik itu akan menjadi rujukan utama bagi FOKER LSM Papua melaksanakan Kajian Lingkungan Strategis terhadap kebijakan percepatan pembangunan Papua. Hasil kajian tersebut merupakan landasan bagi FOKER LSM Papua menuntut pemerintah memastikan bahwa kebijakan tersebut akan sungguh-sungguh meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Papua.
Pembangunan infrastruktur, dalam hal ini jalan Trans-Papua, merupakan prioritas dari INPRES No. 5/2007 (tentang Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat). Pembangunan infrastruktur secara umum diakui sebagai cara untuk membuka akses terhadap wilayah-wilayah terpencil. Kendati demikian, belajar dari wilayah Indonesia lainnya, pembangunan infrastruktur justru merupakan mengancam tanah adat, dan saat yang sama merusak kesatuan ekosistem hutan hujan tropis yang tersisa di Papua, kecuali jika seluruh pihak bersungguh-sungguh memperbaiki tata kelola (governance) pengurusan wilayah.
“Inpres tersebut telah menempatkan masyarakat Papua sebagai obyek pembangunan. Percepatan pembangunan belum tentu menjamin kesejahteraan masyarakat Papua; kami khawatir, kebijakan tersebut justru akan mempercepat proses penghancuran Tanah Papua dan masyarakat Papua. Kami percaya ada banyak peluang bagi Tanah Papua untuk mengembangkan ekonomi serta memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat tanpa mengancam keberadaan tanah adat dan hutan yang tersisa,” ujar Septer Manufandu, Sekretaris Eksekutif FOKER. (Marwan)