Lambanya realisasi kesepakatan konferensi perubahan iklim atau United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Bali Desember 2007 lalu, dikarenakan sejumlah negara maju hingga saat ini masih menangguhkan sejumlah komitmen Bali.
Hal tersebut diungkapkan Rachmat Witoelar, Presiden COP 13, dalam diskusi perubahan iklim yang digelar Forum Diskusi Perubahan Iklim bekerjasama Kementerian Lingkungan Hidup di ruang Adipura KLH, Jakarta, Selasa (17/6).
Sejumlah negara maju yang selama ini merupakan penyumbang emisi terbesar berupaya menangguhkan beberapa hasil kesepakatan Bali karena khawatir pengurangan emisi karbon akan berdampak pada aktivitas industri mereka.”Mereka ketakutan saja. Kita ingin mereka minimal mencicil pengurangan karbon, tapi mereka tidak mau.”katanya.
Padahal Indonesia saja sudah berkomitmen untuk menurunkan 17% emisi karbon dari sektor energi. “Mereka lebih suka membayar kita daripada menurunkan emisinya. Tidak bisa begitu. Kita saja mau menurunkan emisi.”ujarnya.
Namun penangguhan itu bukan berarti mereka menolak lanjut Rachmat, makanya sebagai Presiden COP dirinya terus berupaya mengingat negara maju agar mau menindak lanjuti kesepakatan Bali melalui penurunan emisi. ”Masih ada beberapa pertemuan internasional yang bisa digunakan untuk menekan mereka yaitu pertemuan di Ghana dan Argentina. Jika mereka tetap tidak mematuhi, akan mendapat peringatan keras di Copenhagen,” katanya.
Sementara Mas Achmad Santosa, dari Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), yang juga tampil menjadi pembicara, dalam kesempatan tersebut lebih banyak mengkritik Indonesia secara internal terkait dengan Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim (RANPI) yang dicanangkan pemerintah November lalu.
Ada beberapa kelemahanan RANPI menurut Mas Ota panggilan akrab Mas Ahmad Santosa, antara lain selama ini pemerintah hanya menjadikan RANPI dijadikan sebagai sarana perluasan informasi Konferensi Perubahan Iklim di Bali. Demikian halnya dalam segi pendanaan, belum ada kejelasan mengenai strategi pemerintah dalam mendayagunakan pendanaan global maupun dalam negeri termasuk skema yang diikuti serta mekanisme transparansi dan akutabilitas publik.
Dalam RANPI belum ada penjelasan yang mengatur mengenai mekanisme pelibatan stake holder dalam program mitigasi dan adaptasi.”Jadi kelihatan sangat absurd berbicara iktiar menghadapi perubahan iklim namun masyarakat diperlukan sebagai penonton. Isu lingkungan terkesan elitis dan tidak dimengerti publik,” kata Mas Ota.
Karenanya, ia mendesak Presiden Yudhoyono menyempurnakan RANPI selepas Konferensi Perubahan Iklim di Bali. Guna mendorong pengarusutamaan isu perubahan iklim bahasa yang digunakan dalam RANPI dan istilah-istilah perubahan iklim juga harus diterjemahkan dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat serta perlu kerjasama dan koordinasi antar departemen dan elemen masyarakat dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. (Marwan).