Setiap tahunnya sekitar 10.000 ekor burung paruh bengkok (burung jenis Nuri dan Kakatua) ditangkap dari kawasan Halmahera Utara, Propinsi Maluku Utara, untuk diperdagangkan. Burung paruh bengkok tersebut bukan hanya diperdagangkan di tingkat domestik, namun juga diselundupkan ke Philipina.
Temuan tersebut terungkap dalam laporan investigasi terbaru ProFauna Indonesia yang berjudul ‘Pirated Parrot’ yang merupakan laporan hasil investigasi ProFauna tentang perdagangan burung paruh bengkok di Sulawesi dan Halmahera Utara.Investigasi yang didukung oleh Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA) yang dilakukan pada tahun 2007 itu membuktikan bahwa penyelundupan burung paruh bengkok asal Indonesia ke Philipina masih berlangsung.
Burung paruh bengkok yang ditangkap dari Halmahera Utara tersebut terdiri dari jenis Kakatua Putih (Cacatua alba), Kesturi Ternate (Lorius garrulus), Bayan (Eclectus roratus) dan Nuri Kalung Ungu (Eos squamata). Bayan adalah jenis burung yang telah dilindungi yang semestinya tidak boleh diperdagangkan.
Berdasarkan kuota tangkap satwa liar tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Dirjen PHKA Departemen Kehutanan, sangat jelas bahwa penangkapan burung Paruh Bengkok di Halmahera tersebut telah melanggar kuota yang ada. Kuota tangkap untuk Kakatua Putih (Cacatua alba) pada tahun 2007 adalah sebanyak 10 pasang untuk induk penangkaran. Faktanya di tahun 2007 sedikitnya ada 200 ekor Kakatua Putih yang ditangkap dari alam di Halmahera Utara.
Penangkapan burung paruh bengkok untuk diperdagangkan tersebut juga terjadi pada jenis burung Nuri yang sudah langka yaitu Nuri Talaud (Eos histrio). Untungnya penangkapan Nuri Talaud ini sudah menurun tajam akibat adanya operasi penyitaan yang dilakukan secara intensif pada tahun 2005. Selain itu adanya peraturan kampung di Pulau Karakelang, Kepulauan Talaud, yang melarang penangkapan Nuri Talaud juga turut menekan angka penangkapan Nuri ini.
Transaksi di Tengah Laut
Burung-burung Paruh Bengkok Indonesia terutama yang berasal dari Pulau Halmahera, Maluku Utara banyak diselundupkan ke Philipina lewat pelabuhan di Desa Pelita, Kecamatan Galela yang ada di Halmahera Utara. Di Desa Pelita ini terdapat seorang penampung burung besar yaitu Mei Lumombo. Burung tersebut diselundupkan dengan menggunakan perahu boat pribadi menuju Pulau Balut atau General Santos, Philipina. 40% burung yang ditangkap dari Halmahera tersebut diselundupkan ke Philipina.
Perjalanan perahu dari Tobelo, Halmahera Maluku ke General Santos-Philipina membutuhkan waktu sekitar sekitar 9 jam. Kebanyakan perahu yang mengangkut burung paruh bengkok asal Indonesia itu tidak langsung bersandar di Pelabuhan General Santos, namun transaksinya terjadi di tengah laut. Pedagang burung asal Philipina akan mengirim orang untuk mengambil burung yang dibawa perahu asal Indonesia itu. Dari General Santos, burung-burung tersebut dikirim ke Pasar Cartimar di Manila.
Tingkat kematian perdagangan burung paruh bengkok ini sangat tinggi yaitu mencapai 40%. Banyaknya burung yang mati ini akibat metode penangkapan yang kejam, buruknya sistem transportasi atau pengangkutan dan pemeliharaan yang buruk.
Lemahnya Penegakan Hukum
Penyelundupan burung paruh bengkok ke Philipina ini melanggar ketentuan CITES (Convention of International on Trade in Endangered Species) yang telah diratifikasi Indonesia sejak tahun 1978. Semua jenis burung paruh bengkok adalah masuk dalam Apendix II (kecuali yang masuk Apendix I atau III). Menurut CITES burung Paruh Bengkok yang masuk Apendix II bisa diperdagangkan asal burung tersebut hasil penangkaran, bukan hasil tangkapan dari alam. Perdagangan burung tersebut juga diatur berdasarkan kuota.
Interview ProFauna dengan beberapa pedagang satwa di Cartimar, Philipina menyatakan bahwa sebagian burung selundupan asal Indonesia tersebut kemudian akan diekspor ke negara lain, tetapi dengan lebel hasil penangkaran. Informasi ini perlu ditindaklanjuti lagi dengan melakukan pengecekan dan kontrol yang ketat terhadap lembaga penangkaran burung di Philipina.
Perdagangan jenis burung Paruh Bengkok yang dilindungi juga melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Menurut UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, perdagangan satwa dilindungi adalah dilarang dan pelanggarnya dapat dikenakan sanksi penjara 5 tahun. Sayangnya penegakan hukum ini belum dijalankan sepenuh hati. Buktinya, selain diselundupkan ke luar negeri, perdagangan burung paruh bengkok masih terjadi secara terbuka di sejumlah pasar burung di Surabaya, Jawa Timur.
Setidaknya setiap 2 minggu sekali ada kapal yang menuju Surabaya sambil membawa burung Paruh Bengkok. Rata-rata dalam satu kali pengiriman ada sekitar 30 ekor burung dari berbagai jenis yang disleundupkan ke Kota Surabaya. Berdasarkan hasil monitoring ProFauna di sejumlah pasar burung di Jawa dan Bali terlihat bahwa perdagangan burung paruh bengkok di tingkat domestik masih tinggi. Jenis burung yang paling banyak dijual adalah Nuri Kepala Hitam (Lorius lory), yang kedua Kakatua Koki (Cacatua galerita) dan yang ketiga adalah Bayan (Eclectus roratus).
Tri Prayudhi, Campaign Officer ProFauna menyatakan, “Pemerintah dan aparat kepolisian perlu melakukan operasi penertiban di sejumlah pasar burung yang sering menjual burung Paruh Bengkok seperti di Pasar Burung Bratang dan Turi Surabaya dan juga Pramuka Jakarta. Sayangnya petugas terkesan enggan melakukan operasi penertiban ini”. Aturan hukum secara jelas telah melarang perdagangan jenis satwa dilindungi, semestinya tidak ada keraguan lagi di pemerintah untuk menegakan hukum ini.
Selain mendorong adanya penegakan hukum yang memberantas perdagangan burung ilegal, ProFauna juga menyerukan perlu segera dilindunginya burung Kakatua Putih (Cacatua alba).
Menteri Kehutanan Republik Indonesia seharusnya segera meningkatkan status Kakatua Putih menjadi jenis satwa yang dilindungi. Kakatua Putih adalah jenis kakatua endemik Maluku Utara, sehingga telah cukup memenuhi kriteria untuk masuk dalam daftar satwa dilindungi. (Jack Rimbawan/Habitat)