Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kerap mengalami kekalahan di meja hijau dalam membela masalah lingkungan. Hal itu tidak terlepas karena WALHI dibelit berbagai persoalan rumit baik dari eksternal maupun internal
Beberapa kasus lingkungan yang diadvokasi WALHI, seperti kasus Newmont dan Lapindo Brantas, selalu kandas. Chalid Muhammad mengatakan biang kekalahan dikarenakan korupnya Lembaga Peradilan di Indonesia, mafia peradilan yang merajalela, dan tren menjadikan peradilan sebagai wadah legitimasi untuk menghancurkan keadilan. “Perusahaan tertentu mengeluarkan uang tidak seberapa dan mendapatkan putusan bebas dari peradilan,” tegas Chalid. Dalam kasus Lapindo, saat ini Walhi tengah mengajukan banding
Chalid S, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Barat dan Jull Takaliuang menuding hal yang sama. Direktur Yayasan Suara Nurani mencontohkan saat beliau divonis 1 tahun 6 bulan penjara lantaran membela hak masyarakat dari kesewenang-wenangan PT. Meares Soputan Mining di Minahasa Utara. Padahal perusahan tersebut dan PT. Tambang Tondano Nusajaya, oleh Jull berpotensi merusak kawasan cagar alam Tangkoko dan Dua Sudara Bitung. “Faktor yang menyebabkan kekalahan WALHI di tingkatan litigasi karena persoalan penegak hukum kita di Indonesia ini pemahaman dalam konteks lingkungannya masih minim,” jelas Khalid.
Sementara Dosen Hukum UGM, Totok Dwi memaparkan bahwa kekalahan Walhi sudah bisa ditebak. Pasalnya, konstruksi hukum formal di Indonesia telah diplot sebagai alat yang tidak berpihak pada masyarakat. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa peraturan yang sifatnya legal formal kemudian menjadi alat yang melanggengkan adanya dominasi atas kekuatan-kekuatan secara hegemonik.
Kedepan, jalur litigasi (tindakan melalui gugatan hukum, Red) tidak akan menjadi jalur utama WALHI. Mengingat sulitnya merobohkan regulasi yang sudah ditetapkan. Menurutnya, rute yang harus ditempuh adalah konsolidasi secara sinergis. Langkah konkret adalah, penguatan kapasitas perlawanan, tekanan-tekanan politik, lobi-lobi sampai gugatan peradilan dengan tetap melibatkan masyarakat. “Ajang PNLH X diharapkan mampu menyatukan berbagai elemen menjadi kekuatan kolektif,” jelas Chalid.
Persoalan Internal
Lain halnya dengan Rahmad Mulyadi, awak WALHI asal Kalimantan Selatan. Ia membeberkan persoalan WALHI dalam mengadvokasi masalah lingkungan. Ia mengatakan, persoalan utama justru terletak pada internal WALHI, karena tidak serius mengkonsolidasi potensi yang ada. Misalnya, tidak masifnya pengorganisasian dan penyadaran kritis. Ambil kasus persoalan Newmont di Minahasa. Masyarakat justru mendapatkan wacana dari media massa, padahal media massa milik kaum kapitalis. Alhasil, posisi WALHI semakin tersudut.
Kedua, analisis yang tidak indeep saat membaca persoalan. “Masyarakat bisa kritis kalau punya kekuatan politik, misalnya penguasaan alat produksi seperti tanah dan bukan retorik,” tandasnya. Sejatinya, pertarungan tersebut adalah memperebutkan sumber daya alam. Yang paling berhak adalah mereka yang punya sumber daya produksi. Ketiga, konsep penempatan individu pada posisi politik perlu diterapkan, dan menetapkan mekanisme pertanggungjawaban yang baik.
Sedangkan Khalid S, memaparkan perlunya berkaca diri karena WALHI masih punya kelemahan sumber daya manusia di sisi litigasi. “ termasuk kita di Sumbar menggugat gubernur karena memberikan rekomendasi untuk ijin HPH di Mentawai. Tapi kemudian gugatan kita juga di NO-kan,” ujar Khalid.
Khalid menambahkan rentetan kekalahan yang dialami WALHI jangan menyurutkan langkah perjuangan. Tapi dapat menjadi intropeksi bagi WALHI.
Pelibatan Masyarakat
Dalam konteks pengrusakan lingkungan, WALHI dapat mengajukan gugatan hukum atas nama lingkungan. Tapi kemudian WALHI tidak bisa lepas dari dukungan secara penuh dari masyarakat terutama yang kena dampak. Karena salah satu proses yang berpengaruh dalam proses peradilan adalah sejauh mana dampak yang dirasakan masyarakat.
Lebih jauh Khalid menekankan bahwa keterlibatan masyarakat masih minim. Kedepannya, WALHI harus melibatkan masyarakat secara lebih luas. “ artinya WALHI itu tidak bisa berjalan sendiri. WALHI butuh dukungan masyarakat secara luas untuk melakukan upaya penyelamatan lingkungan untuk kita semua,” ujar Khalid.
Jull dan Khalid mengakui bahwa kekalahan WALHI dapat dianggap sebagai kekalahan masyarakat. Karena tindakan yang dilakukan sebenarnya bukan untuk WALHI melainkan masyarakat secara keseluruhan.
Semangat pelibatan masyarakat diusung dalam PNLH X kali ini. Gerakan rakyat menjadi secara menyeluruh menjadi target untuk pembenahan kehidupan ekologis. Namun persoalan yang dihadapi sangat kompleks. Organisasi sebesar WALHI, kini berkutat dalam ranah tersebut. Bolehlah persoalan kebobrokan hukum dicap sebagai biang keladi kekalahan. Namun WALHI sendiri? “biasanya kekurangan kita, kekurangan masyarakat adalah pengawalan proses hukum. Dan kita harus memperkuat basic di masyarakat,”jelas Jull. Sanggupkah WALHI bisa berbenah demi kehidupan yang bermartabat itu? (Maria B. Berkasa/Umbu Wulang TAP/PNLH)