Sudah tiga tahun WALHI Institute (WI) dibentuk untuk menopang perjuangan advokasi WALHI. Namun WALHI Institute berjalan dengan ketidakjelasan posisi kelembagaan, hal tersebut dikeluhkan sejumlah penggiat WALHI Institute dari berbagai daerah yang hadir dalam pertemuan PNLH WALHI X di Yogyakarta.
Bagi WALHI seperti Ide awal menggagas WALHI Institute untuk mendukung advokasi WALHI terhadap masalah lingkungan, adalah sebuah keniscayaan. Ide besar itu lahir akhir Desember 2005 sebagai respon atas rentetan kegagalan WALHI mengadvokasi masalah lingkungan.
Dibentuk untuk mewadahi kajian ilmiah mengenai lingkungan, guna mendukung advokasi WALHI, WI dalam perjalanannya menemukan persoalan mengenai status kelembagaan. Apakah independen dari WALHI ataukah menjadi bagian internal dari WALHI. Dua posisi tersebut jelas punya implikasi terhadap keputusan politik maupun pendanaan. Belum begitu jelas, persoalan apa yang melatari polemik status kelembagaan ini muncul, namun ajang PNLH X ini telah menjadi momen penting untuk menentukan kejelasan posisi WI.
Mukri awak WALHI asal Lampung ketika mempresentasikan persoalan WI dalam WorkShop Temu Pakar “WALHI Institute” mengatakan, WALHI dari Lampung menginginkan sekali adanya kejelasan status WI. “Karena kalau tidak jelas statusnya, bukan masalah su`uzon (berprasangka buruk, Red), tapi karena kedepan bisa jadi hanya ada orang yang cuma nebeng saja ke WI saatnya butuh dana, saat tidak butuh justru menjadi lawan,” ujar Mukri seperti dilansir situs resmi panitia PNLH.
Selain itu menurut Mukri, kebingungan di tingkat daerah juga terjadi mengenai konsep WI. “Sudah ada WALHI kok ada WALHI Institute, bahkan ada kecurigaan, jangan-jangan…, kenapa, karena setelah kita coba buka konsep awalnya dengan yang terjadi saat ini ada yang tidak nyambung, jujur saya katakan saya sendiri tidak tahu karena konsep ini lahir di tingkat nasional,” ujarnya.
Sedangkan Apipudin awak WALHI dari Jawa Barat mengatakan, program WI sudah dilaksanakan di enam daerah diIndonesia. Adapun hasilnya adalah alumni program Grand Student Movement yang merupakan mahasiswa, beberapa tulisan, serta hadirnya Ekspert (ahli, Red) yang ingin bergabung di WALHI Institute.
WorkShop Temu Pakar “WALHI Institute” dikatakanya telah menyepakati bahwa WI tetap diperlukan. Sehingga WI harus dikukuhkan dalam suatu kelembagaan yang aturan mainnya dirumuskan melalui PNLH dalam sidang komisi.
“Terlepas apakah itu (WI) otonom atau masuk dalam struktur, tapi suara yang kita dengar barusan, banyak juga orang yang mendukung bahwa ini perlu otonom karena biar berkreasi lebih banyak dan menjawab kebutuhan-kebutuhan WALHI secara nasional,”, katanya.
Namun kemajuan yang perlu didorong adalah bagaimana sidang komisi memberikan atau mengikat WALHI Institute ini melalui aturan main yang bisa memperkuat kelembagaan tersebut, tapi bisa mengikat kelembagaan WI agar tidak terlepas dari WALHI. “Jangan seperti kasus-kasus sebelumnya, kita sering melahirkan banyak organisasi namun terlepas begitu saja,”. Ujarnya.
Sementara Andy Armansyah, panitia Workshop Temu Pakar “WALHI Institute” menjelaskan, konsep WI lahir dari keinginan memperkuat advokasi lingkungan dari kekuatan luar WALHI, semisal dukungan publik, dukungan pakar dan peneliti keilmuan. Bentuk-bentuk dukungan ini kemudian akan dikemas ke dalam bentuk media informasi yang sesuai semisal buku, hasil analisis pakar, hasil seminar keilmuan dan lain,” katanya.
Zukri Saad, alumni Direktur eksekutif walhi Nasional periode 1992-1996 juga turut berpendapat. Untuk mendorong eksistensi WALHI maka meminjam kemampuan pakar guna menghadapi advokasi dilapangan sangatlah penting. Sehingga identifikasi para pakar khususnya alumni Walhi yang bisa membantu dalam hal advokasi.
“Sekarang tidak dibutuhkan lagi aktivis WALHI yang mengacungkan tinju dan mengunakan kemampuan demo, namun diperlukan orang yang mampu menguasai permasalahan baik dalam hal teknis maupun data,” tegasnya. (Ardin/Jumiat/WAN)