Yogyakarta, Greenpress- Meski era reformasi telah berumur sepuluh tahun, namun hingga kini kepemimpinan nasional masih didominasi kalangan tua yang sangat dekat orde baru, sementara kaum muda masih sedikit yang berkiprah dalam kepimpinan politik.
Hal tersebut tidak terlepas adanya sistem, budaya dan watak kolonial yang terus melekat dan dilestarikan di segala aspek negeri ini, sehingga membuat kaum muda Indonesia tidak mempunyai rasa kepercayaan diri yang kuat untuk mengambil peran lebih besar dalam kepemimpinan politik dan negara.
Demikian terungkap dalam Konfrensi Nasional Kaum Muda Indonesia dan Kepemimpinan Nasional yang mengambil tema “Majukan Gerakan Sosial, Jawab Krisis Bangsa dengan Kepemimpinan Politik.(17/4).
Acara tersebut bertempat di Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta itu merupakan salah satu dari rangkaian workshop dan diskusi paralel yang digelar dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) X Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), . Hadir sebagai narasumber dalam acara itu Usman Hamid (Kontras), Agung Putri (Direktur Elsam), Johnson Panjaitan (Ketua Dewan Nasional Walhi), Maria Ahmad (Serikat Hijau Indonesia), Aristan dan Refrisond Baswir (Pakar ekonomi kerakyatan). Konfrensi ini juga dihadiri oleh kalangan muda Indonesia yang tergabung dalam 149 wakil muda dari berbagai organisasi pergerakan dan akar rumput.
”Saya tidak tahu apakah yang saya lakukan adalah bagian dari gerakan. Konfrensi ini sendiri mengingatkan saya pada forum sosial dunia dalam konteks kepemimpinan kaum muda dan perjuangan HAM. Saya sendiri masih gelisah, apakah konteks kepemimpinan itu yang kita perjuangkan. Barangkali ada hal yang lebih serius yang belum kita kerjakan. Apakah kepemimpinan politik bisa memberikan jawaban yang bisa diterima masyarakat,” jelas Usman Hamid.
Usman juga mempertanyakan lebih jauh apakah kaum muda Indonesia adalah sebuah jawaban bagi krisis kepemimpinan bangsa ini. Karena sejak era reformasi, 10 tahun lewat dan sudah empat kali Indonesia kini mempunyai pemimpin baru, namun itu tetap tidak membawa perubahan apa pun baik untuk kesetaraan ekonomi, politik dan juga hak-hak ekonomi bagi rakyat.
“Kalau mau perubahan kita harus kerja keras, atau kumpul partai baru atau petisi. Itu juga tidak cukup tetapi juga harus dilakukan sebagai proses panjang untuk membangun gerakan sosial tadi,” tandasnya.
Sementara Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Jony Mundung mengatakan, begitu riskan bagi kaum muda ketika menjadi sebuah pemimpin pergerakan. Hal ini pula membuatnya ada ketakutan, karena setiap dilakukan kaum muda untuk membela rakyat, maka pencap-an langsung dilabelkan.
“Menyerukan suara rakyat untuk moratorium logging, kontrak politik, namun bahasanya juga tidak mudah dipahami bahasa rakyat. Karena bahasa kaum muda itu sangat revoulusioner. Kaum tua selalu melarang agar jangan anarkis. Tapi Korupsi itulah yang anarkis tetapi rakyat dan kaum muda demo, justru itu dianggap anarkis. Kita di suruh diam, diminta santun. Kita, kaum muda kemudian dihadang hukum dengan produk kapitalisme. Namun kita juga kekurangan komunikais politik kepada rakyat,” tambah Jony.
Hal senada juga diungkapkan Johnson Panjaitan, bahwa begitu sulitnya kaum muda Indonesia mengambil alih kepemimpinan Indonesia yang sudah sangat kritis ini, terlebih pemuda yang masih memegang teguh prinsip dan idialismenya.
”Tahun 2005 kita sudah berpikir pemimpin alternatif, Munir sudah kita sebutkan pemimpin masa depan untuk problem complicated kebangsaan. Akibat dari begitu intensnya kawan kita itu (dalam perjuangan prinsip dan idialisnya), bayarannnya cukup mahal. Yah, pemimpin alternatif seperti Munir itu dibutuhkan,” jelas Johnson.
Watak Kolonial dan Ekonomi Kerakyatan
Sementara Revrisond Baswir menilai bahwa persoalan krisis kepemimpinan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan konteks historis kepemimpinan negeri ini sendiri. Indonesia lahir dalam situasi kolonialisme yang panjang 3,5 abad. Sehingga telah meninggalkan struktur watak ekonomi kolonialisme yang sudah sangat melekat.
”Dalam watak ekonomi kolonial, Indonesia hanya dijadikan sebagai produsen dan import untuk memenuhi kebutuhan kapital internasional. Jika dulu adalah rempah-rempah, sekarang mengarahnya ke tambang dan kelapa sawit. Indonesia selalu diposisikan juga sebagai pasar menjual barang-barang jadi yang dijual kembali di Indonesia. Indonesia juga dijadikan tempat memutar kelebihan kapital untuk mendapatkan kapital yang lebih besar lagi,” jelasnya.
Karena itu menurut Revrisond yang dibutuhkan adalah mengkoreksi kembali struktur watak ekonomi kolonial itu dengan mengupayakan secara sungguh-sungguh kembalinya ekonomi kerakyatan seperti yang diusung para pendiri bangsa ini. ”Hal ini bisa mengembalikan Indonesia menjadi negara mandiri dan menjadikan Rakyat berdaulat secara ekonomi,” jelasnya.
”Kita harus memastikan bagaimana kita bisa mereduksi alat-alat produksi itu tidak lagi dikuasi oleh kapitalis. Dikembalikan lagi sesuai dengan peraturan, bahwa petani bisa memiliki tanahnya lagi, saham-saham bisa dimiliki buruh-buruh, dan semua proses produksi dan alat-alat produksi bisa dikuasai oleh rakyat lagi,”tambahnya.
Lebih jauh Revrisond mengutip buku ”dekolonialisasi Indonesia” yang ditulis tahun 1956 disebutkan bahwa hingga tahun 1 april 1956 telah dengan setia memenuhi kewajibannya, sehingga merupakan hal yang sangat berarti bagi keuangan Belanda. Ketika Soekarno memilih tidak lagi bergantung yang kemudian perekonomian jatuh pada tahun 1965 karena resesi, namun ketika Soeharto berkuasa dan sangat neoliberalisme. Indonesia kembali harus membayarnya melalui IGGI dimana ketuanya adalah seorang Belanda. Itu terus dilakukan oleh Indonesia hingga kepemimpinannya sekarang.
”Sampai hari ini kita masih mencicil hutang penjajah, tapi kok, kita ngaku Merdeka,” tandas Revrisond.
Dia menandaskan untuk hal semacam ini, maka pergerakan kaum muda Indonesia sangat dibutuhkan untuk memperjuangkannya. ”Sayangnya kaum terpelajar muda kita yang mempunyai pendidikan cukup tinggi sekarang ini justru lebih memilih bekerja di perusahaan tambang, sawit dan sebagainya. Jadi menurut saya, jangan menyerah agar neoliberalisme tidak mendominasi. Peran kaum muda harus seperti yang pernah didengungkan Soekarno bahwa: Revolusi Belum Selesai,” tandas Revrisond.
Konfrensi ini dianggap sebagai pencerahan para delegasi kaum muda pergerakan dari seluruh rakyat Indonesia. Rencananya mereka akan lebih memperdalam dan mengkonkretkannya lagi dalam sebuah pembahasan rapat pleno dan sidang komisi pada Jumat (18/4),
”Hasil rumusannya akan kami agendakan para Sidang Komisi PNLH X Walhi tgl 20-21 April ini,” jelas Erwin Usman sebagai pihak penyelenggara konfrensi. (Marwan Azis)