Makassar,-Greenpress, Gagasan agar para aktivis lingkungan masuk dalam ranah politik kembali mengemuka dalam sebuah diskusi lingkungan di Makassar yang diselenggarakan Pusat Regional Kementerian Lingkungan Regio Sulawesi, Maluku dan Papua yang menghandirkan Eep Saefulloh Fatah sebagi pembicara.
Isu sebenarnya telah Sejak tahun 1980-an, di kalangan politik berkembang kehendak untuk merancang demokrasi yang sensitif lingkungan. Saat itu lahirlah sebuah gagasan yang disebut ecodemocracy atau green democracy. Seiring dengan itu diperkenalkanlah konsep-konsep baru seperti green polity, green policy, green budget, green party, green politician, dan sebagainya. Belakangan, gagasan ini dipercanggih dalam bentuk “biokrasi” (biocracy).
Menurut Eep Saefulloh Fatah, Direktur Sekolah Demokrasi Indonesia (SDI) saat tampil sebagai pemateri pada acara Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup bagi Kalangan Legislatif dan Eksekutif di Daerah, biokrasi adalah model demokrasi yang tak hanya menimbang dan mewakili kepentingan pemilih tetapi juga menimbang kepentingan lain seperti, binatang, ekosistem dan generasi mendatang.
“Biokrasi bukanlah sebuah sistem yang harus diinstal sekaligus melainkan dapat dimulai pembentukannya secara mencicil. Karena itu, tersedia berbagai alternatif untuk memulai, pertama-pata dibutuhkan “para perintis”,”katanya di depan 50-an anggota legislatif dan eksekutif kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan, di Makassar beberapa waktu lalu.
Dikatakan, untuk melaksanakannya dapat dimulai dengan portofolio hijau dalam kabinet pemerintahan, masuknya politisi hijau ke dalam kabinet dan lembaga legislatif,
partai yang menempatkan agenda lingkungan sebagai salah satu platform utama dan membangun jaringan dengan para pengusung agenda lingkungan.
“Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk kaukus lingkungan, forum-forum aksi lingkungan berbasis komunitas, mengeluarkan aturan-aturan khusus yang sensitif
lingkungan serta membangun sistem pemilu berbasis pilihan kandidat dan advokasi pemilih berbasis sensitivitas lingkungan,” lanjutnya.
Karena itu ia menilai reformasi birokrasi pengelolaan lingkungan hidup di berbagai tingkatan pemerintahan mutlak diperlukan. “Melakukan perbaikan pengorganisasian
pengelolaan LH serta strategi mobilisasi anggaran harus dirancang dan dijalankan,” katanya.
Hanya saja, Andrinof A Chaniago, dari Pengajar Ekonomi Politik Departemen Politik FSIP Universitas Indonesia ini menilai reformasi birokrasi masih menuai sejumlah kendala. Diantaranya, konflik nilai produk hukum yuridis-formal seperti undang-undang sektoral (kehutanan, pertambangan) dan undang-undang nonsektoral.
“Ketidakjelasan distribusi kewenangan pemerintahan secara vertikal, antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota juga menjadi persoalan krusial di samping ketidaksamaan presepsi antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif,” kata peneliti senior The Habibie Center dan Center for Indonesian Regional dan Urban Studies (CIRUS) ini.
Bukan itu saja, Andrinof melihat masalah struktual juga mempengaruhi kompleksitas persoalan birokrasi kelembagaan. Sebut saja rendahnya tingkat kesejahteraan rata-rata masyarakat sehingga menimbulkan tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan. “Kuatnya posisi para pemilik modal yang punya kepentingan pragmatis mengejar keuntungan dan memperbesar asset, merupakan sisi lain yang turut menyumbat reformasi birokrasi,” imbuhnya.(Enal/Andi Ahmad/WAN).