Kondisi lahan hutan alam di Semenanjung Kampar yang kaya lahan gambut yang telah dikonversi serta kayunya dipasok kayunya kepada pabrik pengolahan pulp APP. Foto : EoF
Pekanbaru – Pembangunan jalan logging yang memotong jantung hutan gambut di Semenanjung Kampar, Riau dilakukan perusahaan-perusahaan gabungan Asia Pulp and Paper (APP) dinilai membahayakan kelangsungan ekosistem Kampar yang merupakan salah satu hutan penyimpan karbon terbesar di dunia.
Berdasarkan laporan investigasi dipublikasikan Eyes on the Forest (EoF) melalui situs resminya menyebutkan perusahaan-perusahaan gabungan Asia Pulp & Paper (APP) belum lama ini membuka sebuah jalan logging yang memotong jantung hutan gambut penting di Semenanjung Kampar, Riau.
Hutan gambut ini memiliki ekosistem hidrologis yang sangat langka yang berfungsi sebagai salah satu penyimpan karbon terbesar dunia, yaitu dengan jumlah simpanan karbon per hektar lebih banyak daripada ekosistem lainnya di dunia.
Investigasi EoF pada Maret dan April 2007 menemukan konversi hutan alam seluas 4.500 hektar terjadi di dalam konsesi hutan tanaman industri PT Arara Abadi, anak perusahaan Asia Pulp & Paper (APP).
Perusahaan bubur kertas dan kertas itu dinilai telah melakukan pembalakan liar (illegal logging) pada hutan alam di blok Semenanjung Kampar, karena APP dalam tanggapannya tidak mampu menyebutkan basis legalitas yang didapatnya dari pemerintah guna mendukung operasi penebangan di konsesi tersebut.
Menurut EoF, dalih APP bahwa pembangunan perkebunan kayu pulp sebagai bagian rencana pengelolaan lingkungan jelas keliru dan tak dapat diterima, karena pada kenyataannya, investigasi EoF menemukan bahwa lebih dari 4.500 hektar hutan alam telah dihancurkan demi perkebunan akasia di Semenanjung Kampar yang kaya gambut.
Kehancuran ini menjadi ancaman akan hilangnya karbon serta memicu perubahan iklim. Selama investigasinya pada Desember 2006, EoF menemukan bahwa jalan penebangan dibuat dari Tempat Penumpukan Kayu PT Arara Abadi yang panjangnya 3 km.
Dalam investigasinya EoF juga menemukan pembangunan jalan penebangan (koridor) sepanjang 15 km telah dibuat di blok hutan Senepis oleh PT Ruas Utama Jaya, perusahaan tergabung dengan Asia Pulp & Paper (APP). Pembuatan jalan yang sedang berlangsung menghubungkan desa Buluhala melalui konsesi PT Suntara Gajah Pati, anak perusahaan APP. Jalan itu dibuat dengan membelah hutan alam dengan luas 100m termasuk pembuatan kanal pada kedua sisi.
EoF menganggap bahwa pembuatan jalan oleh PT Ruas Utama Jaya adalah untuk membantu mengangkut kayu tebangan di hutan alam dari tempat penebangan menuju pabrik pengolahan APP. Pembuatan koridor adalah bagian dari rencana besar oleh PT Ruas Utama Jaya dan PT Suntara Gaja Pati guna mengkonversi hutan alam di blok senepis menjadi perkebunan monokultur akasia.
Rencana ini juga memberikan ancaman bagi habitat harimau Sumatera karena kawasan itu diusulkan oleh Walikota Dumai pada 2003 melalui Surat Walikota Dumai nomor 500/EK/XI/2003/1688, tanggal 22 November 2003, yang juga didukung Pemerintah Provinsi Riau melalui Surat Kepala Dinas Kehutanan Nomor 522.1/PR/7518, tanggal 23 Agustus 2004 untuk kawasan konservasi harimau Sumatera.
Menurut Eyes on the Forest, jalan koridor APP, yang pembangunannya diindikasikan
secara kuat tidak sah itu, akan memudahkan APP serta perusahaan gabungannya untuk mulai kembali menebangi hutan alam dan menimbulkan kerusakan tanah gambut di kawasan tersebut. EoF merupakan koalisi jaringan LSM Jikalahari, Walhi Riau, dan WWF Indonesia yang konsen memonitor kondisi hutan Sumatera.
Semenanjung Kampar merupakan kawasan konservasi kunci yang diakui secara global, dan merupakan salah satu blok hutan rawa gambut tropis bersambungan (contiguous tropical peatland) yang terbesar di dunia “Tidak bisa diterima secara moral kalau salah satu perusahaan kertas terbesar dunia tanpa malu mengabaikan hukum di Indonesia dan menghancurkan sumber daya alam yang merupakan milik masyarakat Riau,” ujar Teguh Surya, Deputi Direktur Walhi Riau.
“Kami mendesak keras APP untuk menjalankan bisnis yang bertanggungjawab dan melakukan kegiatan operasional dalam koridor hukum. Sebelum APP berhasil melakukan hal tersebut, pembeli kertas dunia seharusnya berhenti berbisnis dengan APP.”tambahnya.
Kawasan Semenanjung Kampar juga merupakan salah satu dari sedikit habitat yang tersisa bagi harimau Sumatera yang populasinya di alam liar saat ini diperkirakan menurun menjadi tinggal 400-500 ekor. Kawasan itu dirancang sebagai “lanskap konservasi harimau prioritas regional” oleh para pakar harimau terkemuka dunia di tahun 2006. Perhitungan awal oleh WWF-Indonesia menunjukkan bahwa semenanjung Kampar yang terkelola baik bisa menjadi rumah bagi sekitar 60 ekor harimau.
“Saat melakukan survey di lapangan dua pekan lalu, tim EoF menemukan jejak harimau di sepanjang jalan koridor APP,”ujar Nursamsu, koordinator EoF dari WWF Indonesia. “Peluang harimau-harimau ini untuk dapat bertahan akan sangat kecil bilamana APP mulai melakukan penebangan skala besar. Para pemburu pun akibatnya akan dengan mudah menemukan akses menuju habitat satwa langka tersebut.”jelasnya.
Jalan logging APP dan drainase atau pengeringan gambut yang mengiringinya dapat menyebabkan efek merusak terhadap seluruh kubah gambut. Kampar bisa dianggap sebagai sistem hidro-ekologis tunggal, yang terdiri sepenuhnya dari satu kubah gambut tunggal yang sebagian besar berkedalaman lebih dari 10 meter – sangat dalam untuk gambut, dengan simpanan karbon yang sangat banyak.
Menurut Eyes on the Forest, kegiatan drainase dan pembangunan HTI di puncak kubah gambut Kampar bisa menyebabkan kubah gambut itu ambruk dan melepaskan sejumlah besar karbon.
Jaringan LSM Jikalahari dan WWF secara resmi telah mengajukan usulan kepada Departemen Kehutanan untuk melindungi hutan alam Kampar. Jikalahari juga telah menandatangani sebuah kesepakatan bersama dengan Pemerintah Kabupaten Siak dan Pelalawan pada konferensi Perubahan Iklim PBB di Bali tahun silam.
Dikatakan, informasi yang disampaikan APP kepada Eyes on the Forest, Pemerintah Kabupaten Siak lah yang telah memberikan izin membangun jalan logging, untuk menghubungkan dua desa terpencil. Namun Citra Satelit menunjukkan bahwa jalan yang dibangun APP samasekali tidak dibuat menuju dua desa itu, Teluk Lanus dan Sungai Rawa.
“APP mengklaim bahwa jalan yang telah dikeraskan dan canggih ini dibangun untuk keuntungan masyarakat setempat,” ujar Susanto Kurniawan, Koordinator Jikalahari.
“Sungguh tidak pantas melihat perusahaan multimiliaran dolar bersembunyi di belakang kepentingan orang desa yang miskin dan terisolir, mereka tidak akan menerima secara mutlak keuntungan dari jalan ini, namun sebaliknya akan menderita dari akibat kegiatan-kegiatan APP.”tukasnya.
Diungkapkan, dua pemilik konsesi dimana kedua jalan tersebut dibangun merupakan
perusahaan gabungan APP, dimana keduanya beroperasi berdasarkan izin yang
dikeluarkan oleh Bupati, yang sebenarnya tidak berwenang mengeluarkan izin
tersebut.
Meskipun saat ini izin definitif dari Menteri Kehutanan sudah dikeluarkan, penebangan hutan alam untuk pembangunan HTI di kawasan tersebut semestinya tidak dilakukan karena bertentangan dengan kriteria pembangunan HTI.
Saat ini lanjut Susanto Kurniawan, APP sedikitnya mengancam tiga blok hutan lainnya di Riau dan Jambi: hutan dataran rendah kering Bukit Tigapuluh, hutan-hutan gambut
Senepis dan Kerumutan.
Semenanjung Kampar adalah kawasan tanah gambut dengan luas sekitar 700.000 hektar. Sampai 2002, Kampar masih sepenuhnya ditutupi hutan alam, namun pada 2007 sekitar 400.000 ha saja yang tersisa. EoF menilai pembabatan hutan alam di dalam konsesi-konsesi ini untuk jalan penebangan menghancurkan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi yang potensial, karenanya EoF mengimbau PT Ruas Utama Jaya dan PT Suntara Gaja Pati untuk menghentikan segera penebangan di konsesi-konsesi ini ataupun mengambil kayu tebangan. (Marwan Azis)