Kebuntuan komunikasi antara warga Saninten Kabupaten Pandeglang dengan Perhutani dan Pemda setempat dalam pengelolaan hutan di Gunung Akar Sari bisa dicairkan dengan cara duduk bersama.Berikut ulasannya.
Oleh : Marwan Azis.
Hutan Gunung Akar Sari bagaikan nyawa bagi warga Desa Saninten Kecamatan Kaduhejo Kabupaten Pandeglang. Kawasan Gunung Akar Sari secara turun temurun digunakan warga setempat sebagai areal budidaya pertanian dan perkebunan. Tak hanya itu hutan Gunung Akar Sari juga berfungsi sebagai menarah air bagi sebagian besar warga Pandeglang.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) menyebutkan, 9 sumber air dengan debit yang cukup bervariasi dimanfaatkan warga Kecamatan Kaduhejo semuanya berasal di dalam kawasan hutan.
Di Desa Saninten sedikitnya terdapat 7 sumber mata air yang dimanfaatkan, 4 diantaranya terdapat didalam hutan yaitu meliputi sumber mata air Cingahalang yang berada di hutan alam, Ciguha Putih, Cijalaksana dan Cikoneng (terdapat dihutan produksi terdapat), dan 3 diantaranya terdapat di desa yakni sumber mata air Cisumur di Kampung Cempaka, mata air Cikupa dan Citama di Kampung Cikupa. Ketiga sumber mata tersebut debit airnya terus berkurang.
Padahal sekitar tahun 1985 air mata air Cisumur bisa mengairi dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sebanyak 6 kampung, selebihnya untuk pengairan pertanian terutama areal persawahan seluas kurang lebih 10 hektar.
Namun saat ini menjadi sawah tadah hujan, bahkan untuk memunuhi kebutuhan rumah tanggapun sudah dirasakan kurang mencukupi, apalagi dimusim kemarau warga semakin kesulitan mendapatkan air minum. Kondisi serupa juga terjadi di Cikupa dan Citaman.
Penggundulan hutan di bukit itu dalam beberapa tahun terakhir dinilai sebagai pemicu terjadinya krisis air karena vegetasi tanaman di sekitar mata air telah rusak dan banyak ditebang. Tak pelak ditudingan perusakan hutan pun diarahkan kepada warga setempat sebagai perambah hutan walau hanya menanam pohon singkong, jagung, sayuran, buah-buahan untuk makanan sehari-hari.
”Dulu mah, bisa nanam seperti sayur-sayuran, sekarang mah nggak boleh lagi karena sudah dijadikan sebagai hutan,”keluh Ahmad Sadeli (38), petani di Desa Saninten Kecamatan Kaduhejo Kabupaten Pandeglang saat ditemui beberapa waktu lalu.
Secara historis menurut penuturan sejumlah warga, pengelolaan hutan di Desa Saninten telah lama dilakukan warga secara turun temurun jauh sebelum Perhutani masuk dan diberikan wewenang untuk mengelola hutan produksi di Pandeglang.
Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa kuburan tua dan penemuan situs budaya serta tempat-tempat yang dikramatkan yang terdapat dalam hutan Gunung Akar Sari seperti keramat Saninten dan Sumur Tujuh yang ramai dikunjungi para peziarah. Bahkan jauh sebelum Perhutani masuk mengelola hutan di Gunung Akar Sari, warga Saninten mengaku telah mengenal praktek budidaya tanaman dengan sistem tumpang sari.
Belakangan warga merasa terusik oleh kehadiran Perhutani. ”Kalau ada yang nanam atau berkebun secara tumpang sari seperti tanaman sayur dan buah-buahan di hutan, itu menurut cerita orang tua disini, di tangkap oleh mandor Perhutani, kalau ada warga yang bawa cangkul, parang, diambil semua, orangnya dibawa, nggak boleh mengarap. Jadi garapnya, ada semacam kucing-kucingan gitulah. Kalau ada pengawasan kabur,”ungkapnya.
Kehadiran Perhutani, di hutan Gunung Akar Sari bukannya menjaga dan melestarikan hutan, malah sebaliknya. Menurut penuturan sejumlah warga, sejak hutan Gunung Akar Sari ditetapkan sebagai hutan produksi dan Perhutani diberikan wewenang pada tahun 1997, pihak Perhutani melakukan penembangan secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah ”pemutihan” seluas 48 hektar.
Lucunya, setelah hutan dibabat habis dan hasilnya dijual oleh Perhutani. Perhutani baru mengajak warga setempat untuk mengembalikan kondisi hutan Gunung Akar Sari seperti semula, dengan iming-iming warga akan diberikan akses untuk mengarap areal hutan.
Perhutani membangun perjanjian dengan masyarakat yang memberikan kewenangan pada masyarakat untuk menggarap melalui program PS (Perhutani Sosial), dimana setiap warga memperoleh hanya ¼ hektar perorang atau 1 hektar dibagikan pada empat orang.
Dengan lama penggarapan dan penebangan pohon mahoni 60 tahun, penebangan rencana akan dilakukan tiap 30 tahun sekali. ”Jadi dua kali penebangan. Tanamannya yaitu tanaman mahoni dengan jarak tanam 2 x 6 disela-sela itu juga dibolehkan menanam tanaman sisipan untuk masyarakat antara lain durian, maninjo, kopi, cengkeh dan beberapa jenis tanaman buah-buahan lainnya,”kata Ahmad Sadeli.
Tak hanya itu, warga juga dibebani dengan pungutan oleh Perhutani yang diambil dari setiap komiditi hasil pertanian dan perkebunan yang diusahakan warga dengan persentase pungutan yang diperoleh Perhutani yaitu 10 persen perkomiditi. ”Hasil panen masyarakat, ada pungutan 10 persen untuk Perhutani perkomoditi seperti tanaman kopi, melinjo, cengkeh dan sebagianya. Kalau nggak salah ada 6 jenis tanaman yang dicantumkan dalam perjanjian itu yang wajib dikeluarkan upetinya untuk Perhutani.
Sejauh ini baru hasil tanaman kopi yang disetor warga ke Perhutani, karena yang lain belum menghasilkan. ”Kalau ada hasil panen kopi misalnya 10 kilogram, Perhutani mengambil 1 kilogram, Jadi yang disetor adalah kopinya buka uang disetor. Dari pusat saya liat angka nilainya juga cukup besar, waktu saya berkunjung ke kantor Perhutani Pandeglang, ada tangihan mencapai 12 milliar untuk KPH Pandeglang. Entah berapa masuk saya nggak ngerti,”kata Ahmad.
Setoran upeti perkomiditi disetor petani melalui Ketua LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang merupakan lembaga perpanjangan tangan Perhutani di lapangan, selanjutnya Ketua LMDH menyetor hasil tangihan itu ke kantor Perhutani.”Jadi penampungnya di LMDH, makanya Perhutani itu membentuk tiap desa LMDH. Jadi seluruh pangkuan hutan itu ada LMDH-nya,”tuturnya. Selain itu LMDH juga memungut upeti 10 % perkomiditi untuk kas LMDH.
Setelah berjalan 4 tahun kemudian, beriringan dengan penerapan otonomi daerah, Pemda Kabupaten Pandeglang meminta masyarakat untuk keluar dari hutan, karena hutan produksi yang awalnya dikelola oleh Perhutani mau dialih fungsikan menjadi hutan lindung.”Namun sejauh ini belum aja kejadian pengusiran paksa masyarakat keluar dari hutan, baru sebatas intruksi Pemda,”kata Ahmad Sadeli
Setidaknya ada tiga desa yang masuk dalam kawasan hutan lindung Akar Sari yakni, Desa Saninten, Desa Cempaka dan Desa Bangkar Batu. Penunjukkan Gunung Akar Sari sebagai lokasi didasari atas keingingan Pemda Pandeglang menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan wisata ramah lingkungan serta sebagai sumber mata air warga Kabupaten Pandeglang.”Pada awalnya pernah ada berita yang mengatakan Gunung Akar Sari itu adalah buyal atau kota pusar dari pinggir Banten, ada harus hijau. Yang kedua ada keinginan Pemerintah menjadikan Gunung Akar Sari sebagai menarah air atau sumber mata air untuk dipakai warga Pandeglang dan memenuhi kebutuhan air Perusahan Karatau Stil. Makanya hutan itu harus dijadikan hutan lindung,”jelas Ahmad Sadeli
Keinginan Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang untuk mengubah status hutan Gunung Akar Sari menjadi hutan lindung membuat warga resah dan banyak bermunculan pertanyaan, mau seperti apa pengelolaanya, apa yang mau dibuat, apa masyarakat masih memungkinkan mengarap hutan atau tidak atau malah sebaliknya warga akan dikeluarkan dari hutan.
Ditengah kekhawatiran warga itu, LSM Lembaga Alam Tropika Indonesia (Latin) mencoba mendampingi warga dengan sejumlah program disebut Eco Community Base Forest atau Perencanaan Hutan Berbasis Ekosistem diwujudkan dalam bentuk fasilitasi pertemuan dengan pihak pemerintah setempat, Perhutani dan masyarakat untuk mencari solusi secara bersama-sama.
Selain itu, Latin juga memfasilitasi pemetaan partisipatif, pendataan pontensi sumber daya hutan dan penguatan kelembagaan masyarakat serta mendorong tercapainya sejumlah kesepakatan yang mendukung pengelolaan hutan secara kolabortif di Kabupaten Pandeglang.”Setelah melalui proses pertemuan desa, kecamatan yang melibatkan banyak pihak seperti Perhutani, Pemda, Pemerintah Desa dan warga, akhirnya warga kembali diberikan akses mengelola hutan dengan catatan tetap hutan tetap dijaga kelestariannya,”kata Syarifudin, aktifis Latin yang selama ini aktif mendampingi warga Desa Saninten.
Dikatakan, sebenarnya pihak Perhutani udah lama ngajak bareng-bareng kerja bareng tapi Pemda lebih cenderung kepada pendekatan pilot proyek dan ragu-ragu memberikan bantuan kepada warga.
Dengan adanya program pendampingan pengelolaan hutan yang dilakukan Lembaga Alam Tropika Indonesia (Latin), masyarakat mengaku sangat terbantu, karena aktifis Latin sangat intes memfasilitasi dan mendampingi masyarakat Saninten khususnya untuk audiensi dengan tiap instansi pemerintah Kabupaten Pandeglang dan Perhutani, sehingga pada akhirnya masyarakat tetap diberikan akses untuk mengarap hutan dengan tetap menjaga hutan. ”Yang saya rasakan banyak terima kasih didampingi oleh Pak Syarif dari latin, peta desanya jelas, tata hutanya juga udah sesuai, terus perbatasan antara hutan milik masyarakat dengan hutan negara udah jelas yang dibatasi dengan patok cat merah,”kata Sanukri (67) warga Desa Saninten.
Setelah beberapa kali dilakukan musyawarah ditingkat desa, hasilnya ada akte notaris perjanjian antara masyarakat, Pemerintahan Desa Saninten dan Kecamatan Kaduhejo Kabupaten Pandeglang tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM) di hutan negara wilayah Pangkuan Desa Saninten.
”Setelah sepakat, kita kembali seperti semula, dimana masyarakat tetap diberi akses untuk mengelola hutan di Desa Saninten, jadi sekarang pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengarap hutan,”tutur Ahmad.
”Kami dibolehkan menggarap hutan, namun namanya tanaman pokok (pohon melinjo) itu tidak boleh diganggu, tapi masyarakat diboleh memanfaatkan tanaman sisipan berupa tanaman buah-buahan yang ada dibawa tegakan pohon melinjo,”tambahnya.
Berkat pendampingan Latin, warga mengaku terjadi peningkatan pengatahuan dari seringnya pertemuan dan disiksusi yang digelar LSM Latin.”Warga juga udah mengerti. Jadi sekarang kalau ada masalah kita langsung aja menghadap Perhutani dan bermusyawarah bagaimana bagusnya jalan keluarnya. Kalau dulu mau berurusan dengan Perhutani harus melalui Dirjen, sekarang nggak lagi karena udah Perhutani tingkat Provinsi, jadi semua ikut bermusyawarah, demikian halnya dengan pemerintahan desa dan kecamatan, ikut juga mempertanyakan bagaimana cara mengarap dan merawat gunung,”jelasnya.
Hingga tahun 2007, warga bersama Perhutani telah berhasil melakukan penghutaman kembali seluas 14 hektar dengan menggunakan tanaman mahoni dan suren, dengan tinggi tanaman suren sudah mencapai 3- 4 meter, sedangkan mahoni jauh lebih tinggi dari suren. Di sela-sela tanaman suren dan mahoni itu warga dibolehkan menanaminya dengan berbagai jenis seperti kopi, melinjo, petani, durian, pisamg, jengkol, kakao dan beberapa jenis tanaman perkebunan lainnya. ”Dengan situasi seperti ini, dimana masyarakat sudah mulai timbul kesadaran akan pentingnya menjaga hutan, kenapa tidak warga diberikan ruang untuk terlibat dalam pengelolaan hutan sehingga mereka merasa memiliki dan bertanggungjawab melestarikannya,”tandas Syarif.
Sementara itu Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pandeglang, Drs Cecep Juanda Msi mengatakan, pihaknya saat ini tengah mengalahkan konsep pengelolaan hutan secara kolaboratif antara pemerintah, masyarakat dan LSM lingkungan. ”Katakanlah pemerintah memiliki konsep namun masyarakat tidak memahami, maka ini tidak bisa jalan. Maka konsep kita adalah tetap memberdayakan masyarakat sekitar hutan,”katanya saat ditemui di ruang kerjanya.
Menurutnya, untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan, semua dinas harus terlibat aktif berperan bagaimana meningkatkan keterampilan mereka supaya mereka bisa berkontribusi dalam meningkatkan ekonomi keluarga.”Tugas ini diembang dinas perdagangan dan perindustrian,”ujarnya.
Kemudian konsep kedua yang tak kalah pentingnya menurut Cecep Juanda adalah mengajak seluruh lapisan masyarakat terutama sejak usia dini untuk memahami pentingnya hutan dan lingkungan hidup. ”Jangan sampai ada anggapan bahwa menebang pohon itu tidak ada apa-apanya, tidak menebang itu akan berpengaruh terhadap kehidupan kita. Maka konsep kita adalah konsep secara integritas dengan semua dinas, Perhutani dan lembaga pendidikan,”jelasnya.
Dikatakan, sejak Presiden SBY mensponsori Gemas (Gerakan Kemasyarakatan Menanam), pihaknya telah membagikan 40 ribu pohon kesejumlah kecamatan di Pandeglang dengan cara bekerjasama dengan LSM Lingkungan yang mendampingi masyarakat yang di sekitar hutan. ”Kita melakukan pendidikan lingkungan hidup dengan mengandeng lembaga pendidikan dan pesantren dalam kegiatan penanaman. Konsep kita ada dua yaitu bagaimana mengintegralkan kegiatan kehutanan dan bagaimana kita memberikan informasi lingkungan pada masyarakat dari sejak dini agar mereka memiliki kedasaran terhadap lingkungan hidup,”jelasnya.
Status Hutan Gunung Akar Sari?
Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan latar pengusulan hutan Produksi Gunung Akar Sari menjadi hutan lindung. Menurutnya, konsep itu berawal dari keinginan Bupati Pandeglang untuk mencegah kerusakan lingkungan.
”Itu konsep pak Bupati sejak dini untuk pencegahan kerusakan lingkungan sejak dini. Pak Bupati pernah membuat surat bagaimana hutan rakyat menjadi hutan lindung, itu disampaikan ke Presiden, saat itu dijabat oleh Megawati dan sekitar lima bulan lalu, ada kunjungan komisi 2 DPR-RI mengusulkan agar pengusulan perubahan status hutan tersebut perlu dibahas secara integrasi ditingkat dewan (DPR RI),”ungkapnya.
Dijelaskan, konsep usulan perubahan itu didasari untuk menjaga hutan sebagai sumber mata air bagi masyarakat Kabupaten Pandeglang. Selain itu berdasarkan kajian-kajian telah dilakukan yang terkait dengan perubahan status hutan menyebutkan tiga gunung yang terdapat di Pandeglang memiliki 2600 jenis tanaman herbal yang terdapat didalamnya yang bisa dipakai sebagai obat tradisional, karenanya perlu lindungan dan dilestarikan.”Maka saya pernah mempertanyakan di media massa, kenapa pihak Perguruan Tinggi tidak beramai-ramai mengadakan penelitian dan pengkajian ilmiah untuk pengembangan tanaman obat tersebut,”.
Namun usulan perubahan status itu hingga kini belum terealisir. Namun menurut Cecep, pihaknya pemda tak berhenti sampai disitu, sambil menunggu kejelasan status hutan dari Departemen Kehutanan, pihaknya terus berupaya melakukan kegiatan yang sifanya memberikan penyadaran lingkungan pada masyarakat yang berdomisili sekitar hutan,”tukasnya semangat.
Menanggapi kekhawatiran warga akan digusur jika Akar Sari jadi ditetapkan sebagai hutan lindung, menurut Cecep itu sesuatu hal yang wajar. ”Itu saya kira itu mungkin ada, tapi saya kira pak Bupati ini memiliki latar belakang yang sangat memahami kondisi masyarakat Pandeglang, apalagi Bupati berangkat dari seorang pengusaha yang sukses, tidak semuda itu ya, kekhawatiran itu mungkin ada, tapi tidak seperti itu yang kita pikirkan, mungkin ada alternativ lain yang kita semua pikirkan,”tandasnya.*** .
Artikel yg bagus, makasih infonya.
Kenali dan Kunjungi Objek Wisata di Pandeglang moratmarit