Makassar,-Dalih untuk meningkatkan rakyat untuk meningkatkan pundi-pundi APBD suatu daerah, lagi-lagi masih menjadi pembenaran dan pemakluman pemerintah untuk memberikan keleluasaan kepada pemilik modal untuk membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang dan usaha serupa.
Seolah tidak peduli dan tidak mengambil pelajaran berharga dari pahitnya kenyataan yang harus dihadapi 266 warga pantai Buyat di Sulawesi Utara dengan raksasa penghancurnya, PT. Newmont Minahasa Raya, atau tragisnya kehidupan suku Dayak Siang Murung Bakumpai di Kalimantan Tengah yang tergusur oleh keangkuhan perusahaan tambang emas asal Australia Aurora Gold, pemerintah justeru semakin melicinkan jalan kaum Kapitalis yang semakin rakus untuk mengeruk bumi Indonesia.
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak, menjadi bukti tidak kepedulian pemerintah terhadap kelangsungan hutan Indonesia jangka panjang.
Entah tidak tahu atau sengaja tutup mata, PP No.2/2008 ini jelas-jelas menjadi mesin diesel paling ampuh untuk mempercepat laju perusakan permanen hutan-hutan di Indonesia. Bagaimana tidak, dalam butir keempat pada salah satu lampiran PP tersebut diatur ketentuan penyewaan hutan yang jumlahnya ternyata jauh lebih murah daripada pisang goreng.
Sewa hutan kita hanya Rp.120 – Rp.300 per meter, memang lebih murah dari sepotong pisang goreng. Padahal, banjir dan longsor akibat perusakan sumber daya alam, khususnya hutan, telah melahirkan bencana dan kerugian triliunan rupiah.
Sepanjang tahun 2000 hingga 2006, sedikitnya ada 392 bencana banjir dan longsor dipelosok negeri. Ada ribuan orang yang meninggal, sementara ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi.
PP ini keluar ditengah laju kerusakan hutan rata-rata 2,76 juta hektar, sepanjang 2005-2006. kerusakan hutan terbesar terjadi di pulau Kalimantan dan Sumatera. Dua pulau ini memiliki konsesi tambang yang luas amat besar. Di Kalimantan selatan saja, sedikitnya ada 400 perizinan tambang batu bara, sebagian besar keluar pasca reformasi.
Meski pada 22 Februari 2008 lalu, sebagaimana dilansir siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Presiden SBY manyampaikan PP tersebut dikeluarkan hanya untuk mengatur ijin 13 perusahaan tambang yang beroperasi dikawasan hutan, yang sebagian besar adalah perusahaan tambang asing raksasa, sekelas Freeport dari AS, Rio Tinto dari Inggris, Inco dari Canada dan Newcrest dari Australia. Hanya berselang seminggu (kompas, 6/3), menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro didepan ratusan pengusaha mengungkapkan segera menerbitkan sebuah Keppres, yang memungkinkan perusahaan tambang lain bergabung. Membabat hutan lindung diubah menjadi kawasan tambang skala besar.
Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula inilah yang akan dialami hutan-hutan yang ada di Indonesia. Sudah harga sewanya murah meriah, pembelinya pun tidak dibatasi jumlahnya. Jika ini tidak mendapat perhatian, maka tidak perlu menggunakan rumus matematika untuk mengetahui kapan hutan-hutan kita hanya akan menjadi tempat sampah raksasa sebagai akibat dari penambangan besar-besaran.
Nah, bagaimana dengan perkembangan pertambangan di Sulsel dan nasib hutannya? Berdasarkan catatan terakhir Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, sekurang-kurangnya ada delapan kabupaten/kota di Sulsel yang bakal membuka pertambangan baru di wilayahnya. Daerah-daerah tersebut yakni Kabupaten Tana Toraja (Tator), Kota Palopo, Luwu Utara, Pangkep, Maros, Sinjai, Soppeng dan Barru.
Tiga kabupaten yang terakhir disebut (Sinjai, Soppeng, dan Barru) akan dibuka pertambangan batu bara. Di Soppeng sementara dalam tahap survei, dan Sinjai sudah berlangsung eksplorasi. Sementara di Barru sedang dalam proses penjajakan oleh pemerintah. Menurut data dari Salewangang Monitoring Center (SMC) Andi Tanri Ajeng, di Kecamatan Tompo Bulu Kabupaten Maros juga akan dibuka tambang emas namun yang mengkhawatirkan bila tidak disertai dengan survei Amdal yang memadai karena daerah tersebut berada di daerah hulu sungai Maros yang mensuplai sebagian kebutuhan air minum warga Kota Makassar.
” Di Palopo dan Pangkep, yang akan dibuka juga pertambangan batu bara. Sementara di Sangkaropi dan Siguntu yang akan dibangun adalah pertambangan emas. Anehnya, sudah ada yang sudah mulai jalan prosesnya sementara Amdal-nya belum keluar,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Taufiq Kasaming, Minggu (9/3).
Bahkan yang lebih aneh lagi, lanjut Taufiq, ada pertambangan yang eksplorasinya sudah berjalan hingga dua tahun tapi Amdalnya belum juga keluar tapi pemerintah membiarkan begitu saja. Tambang emas di Bukit Siguntu (Palopo) pun menurut Taufiq hingga sekarang belum mengantongi Amdal.
“Sudah ada sekitar 90 ton pasir yang mengandung emas di Bukit Siguntu yang diangkut dari sepanjang sungai yang membelah Kota Palopo saat Amdalnya belum keluar,” jelas Taufiq.
Lantas bagaimana reaksi pemerintah terhadap rencana pembukaan penambangan di wilayah-wilayah tersebut? Alih-alih mengharapkan reaksi yang sedikit bisa “membela” terancamnya kerusakan terhadap hutan-hutan kita, Dinas Pertambangan Sulsel justru menyayangkan tersendatnya pembukaan lahan tambang baru di beberapa wilayah yang berpotensi ke sana.
Simak saja komentar Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sulsel, Sampara Salman, seperti yang dilansir Tribun Timur (Rabu, 30/1/2008) dalam berita mengenai pemenang tender eksplorasi minyak di lepas perairan pantai Pangkep, PT. Easco Petroleum/Easco East Sepanjang.
Sampara mengakui banyaknya wilayah yang berpotensi tambang di Sulsel. Namun, hingga sekarang pihaknya kesulitan untuk mengembangkan pertambangan di Sulsel karena kurangnya perhatian dari pemerintah kabupaten/kota.
“Lokasi fisik ada di daerah. Nah, itu ditenderkan kepada investor lokal maupun asing. Tapi, kalau tidak ada partisipasi dari kabupaten. Bagaimana prosesnya bisa jalan?” demikian kata Sampara.
“Ini yang kurang dipahami, banyak pemkab yang tidak memahami pentingnya pertambangan. Dan sepertinya harus penjelasan lebih rinci lagi,” tambahnya.
Setali tiga uang, Sampara pun sepertinya berpikiran sama dengan atasannya di pusat. Sampara juga melihat bahwa proses pertambangan berjalan dengan baik, maka keuntungan bisa dirasakan bersama. Selain ada pemasukan APBD, juga mengurangi pengangguran karena adanya lapangan tenaga kerja.
Sampara, pejabat pusat, dan investor mungkin lupa bahwa semua proyek pertambangan, meskipun sudah mengklaim menerapkan metode bersih bahkan ramah lingkungan, pun tidak akan luput dari persoalan. Mensejahterakan masyarakat di kawasan pertambangan dengan memberikan bantuan dalam berbagai bentuk, hanya memberikan bantuan dalam berbagai bentuk, hanya memberikan bantuan dalam berbagai bentuk, hanya memberikan surga sesaat bagi mereka. Setelah sebuah tambang ditutup, perlahan-lahan mereka akan merasakan akibat dari limbah-limbah yang diwariskan pertambangan.(Fajar)