Diusulkan Segera Dicabut
Jakarta,- Sejumlah lembaga swadaya masyarakat sedang mempersiapkan uji materiil Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Hutan. Langkah itu dilakukan karena proses penyusunan PP tersebut dinilai melanggar undang-undang.
“Karena itu, sebelum proses hukum berjalan, sebaiknya peraturan pemerintah
tersebut dicabut,” kata ahli hukum lingkungan Mas Achmad Santosa dalam
diskusi terbatas yang diselenggarakan di Kompas, Rabu (27/2). Tampil pula
sebagai pembicara, Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Economics
(SDE), Siti Maemunah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Soetrisno
(Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Badan Planologi Departemen
Kehutanan), serta dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, diwakili
Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi S Witoro.
Dari perspektif hukum, menurut Mas Achmad Santosa, terhadap peraturan
pemerintah (PP) tersebut harus dilakukan uji materiil ke Mahkamah Agung
karena proses pembuatan PP No 2/2008 itu bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan.
“PP itu melanggar tiga prinsip, meliputi kejelasan tujuan, kejelasan
rumusan, dan keterbukaan. Kalau disebutkan PP itu hanya berlaku untuk 13
perusahaan pemegang kuasa pertambangan, tidak ada pernyataan eksplisit dalam
PP tersebut,” ujarnya. Begitu pun dalam penyusunannya tidak melibatkan
dialog publik.
Dia sependapat dengan Hendro dan Maemunah, yang menyatakan bahwa PP itu
harus dicabut kalau Indonesia tidak mau kehilangan muka di hadapan komunitas
internasional dan mendapat tekanan dari masyarakat internasional. “Baru dua
bulan kita menjadi tuan rumah dari pertemuan internasional tentang perubahan
iklim, yang memprakarsai upaya-upaya pengurangan emisi karbon dari hutan.
Sekarang, pemerintah justru membuat PP yang mendorong kerusakan hutan,” kata
Hendro.
Hendro menegaskan, PP ini tidak hanya salah secara teknis, tetapi juga
menunjukkan adanya krisis politik. “Angka Rp 1,5 juta per hektar untuk
kompensasi hutan per tahun yang disebut dalam PP itu bagaimana cara
menghitungnya? Apakah sudah memperhitungkan dampak sosial-ekologisnya? ” ujar
Hendro.
Akan tetapi, Witoro dan Soetrisno secara implisit menyatakan, baik
Departemen Kehutanan maupun Departemen ESDM akan mempertahankan PP tersebut.
“Daripada tidak mendapat apa-apa dari pengusahaan pertambangan, dengan PP
ini kita bisa memperoleh nilai. Masalah berapa besar nilainya, itu bisa
dibicarakan asalkan pertambangan tetap beroperasi,” kata Soetrisno.
(AIK/MH/TAT/ ISW/THY/Kompas)