JAKARTA: Kebijakan pemerintah mengizinkan hutan lindung sebagai areal pertambangan terbuka demi PNBP seperti tertuang dalam PP No. 2/2008 dinilai prematur dan tidak cerdas.
Hal itu dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi IV DPR, Suswono dan Direktur
Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi di Jakarta, kemarin.
Pernyataan itu terkait keluarnya PP No. 2/2008 tentang Jenis dan Tarif atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari Penggunaan
Kawasan Hutan untuk Kegiatan Nonkehutanan.
“Upaya menggenjot PNBP dari pertambangan umum sebesar Rp 1,5 triliun dalam
revisi APBN 2008 [dari Rp4,24 triliun menjadi Rp5,77 triliun] kebijakan
tidak cerdas jika mengorbankan hampir satu juta hektare hutan lindung untuk
aktivitas pertambangan terbuka,” ujar Elfian Effendi, Direktur Eksekutif
Greenomics Indonesia.
Dia menilai peningkatan penerimaan 36% itu diduga keras tidak terlepas dari
diluncurkannya PP 2/2008 yang di antaranya mengatur tarif penggunaan hutan
lindung untuk operasi pertambangan terbuka.
Apalagi, kata Elfian, penambahan penerimaan itu tidak mengubah kontribusi
penerimaan subsektor pertambangan umum terhadap total penerimaan negara
dalam revisi APBN 2008 secara signifikan, yakni dari 0,51% menjadi hanya
0,68%.
“Peningkatan target penerimaan negara dari subsektor pertambangan umum pada
2008 menempatkan subsektor tersebut sebagai salah satu penyumbang penerimaan
negara paling rendah, yakni hanya 0,1% terhadap nilai perkiraan Produk
Domestik Bruto (PDB) tahun 2008,” ujar Elfian.
Menurut dia, target penambahan penerimaan negara dari subsektor pertambangan
umum tidak menopang defisit APBN 2008. Apalagi pemerintah harus membayar
bunga utang luar dan dalam negeri Rp94,15 triliun pada tahun ini dan membuat
utang luar negeri baru pada 2008 sebesar Rp44,2 triliun guna menutupi
sebagian defisit APBN 2008.
Elfian juga membantah jika peningkatan penerimaan negara dari subsekor
pertambangan umum itu dialokasikan untuk membantu kebutuhan anggaran
departemen/nondepar temen pemerintahan. “Ini juga sangat tidak membantu,”
ujarnya.
Pada revisi APBN 2008, kata dia, anggaran departemen/nondepar temen
direncanakan Rp 272 triliun, anggaran sebelumnya Rp 311,95 triliun, dipotong
sekitar 15%.
Dia membandingkan target peningkatan penerimaan negara dari subsektor
pertambangan umum yang hanya Rp1,5 triliun dengan mengorbankan hampir sejuta
hektare hutan lindung. “Di sini terlihat kebijakan pemerintah tidak cerdas,”
tegas Elfian.
DPR menyayangkan
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Sus-wono, mengatakan DPR menyayangkan keluarnya
Peraturan Pemerintah (PP) No 2/2008 yang mengizinkan penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan
imbalan kompensasi.
“Kebijakan tersebut terlalu prematur. Pada saat tingginya semangat memerangi
perusakan lingkungan, pemerintah justru mempermudah rusaknya lingkungan
dengan nilai kompensasi yang begitu murah,” ujar dia.
Dia membenarkan, dengan PNBP kehutanan tersebut, pemerintah akan memperoleh
pendapatan lain, tidak sekadar uang sewa. “Tetapi selama ini belum ada lahan
bekas tambang yang pulih kembali menjadi hutan setelah digunakan,” ujarnya.
Menurut dia, kebijakan tersebut praktis mengubah peraturan sebelumnya yang
mengatur bahwa kegiatan penambangan di kawasan hutan lindung harus
memberikan kawasan pengganti dengan hanya menyetor sejumlah dana yang
dinilai terlalu kecil bagi nilaii kawasan hutan lindung.
Suswono tidak habis pikir kenapa fungsi hutan lindung yang sedemikian besar
baik dari sisi ekologi maupun ekonomi hanya dinilai Rp120 sampai Rp300 per
meternya. “Itu sangat gegabah. Apakah nilai itu mampu menutupi nilai
kerugian lain yang kemungkinan terjadi, seperti banjir dan kekeringan?”
tanyanya.
Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan Departemen Kehutanan,
Soetrisno, menegaskan PP No.2/2008 tentang jenis dan tarif PNBP itu
diperuntukkan bagi 13 perusahaan tambang yang memperoleh izin sesuai
Undang-Undang No.41/1997 tentang Kehutanan. “Tidak benar kalau peraturan itu
juga untuk lahan yang lain,” kata dia.
Soetrisno menambahkan fokus diterbitkannya PP No.2/2008 hanya mengatur
permasalahan tariff yang tidak diatur dalam Undang-Undang No.41/1997 tentang
Kehutanan. “Saya tegaskan kembali peraturan itu tidak ada kata-kata tentang
pelepasan lahan lainnya.”(Erwin Tambunan/Bisnis Indo)