Oleh : tJong Paniti
Negara Indonesia berdaulat atas sumberdaya alam yang terkandung di bumi Indonesia. Termasuk kedaulatan atas sumberdaya hutan. Hal ini juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pasal 33 ayat 3, UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan, “Bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sumberdaya hutan yang meliputi tegakan pohon alam, habitat beragam kehidupan hayati, tempat mencari penghidupan bagi masyarakat sekitar hutan dan kandungan mineral di bawahnya mendapatkan ancaman pengrusakan yang semakin kuat dari tahun ke tahun, sejak Negara Indonesia berdiri. Ancaman ini justru datang dari kepentingan bisnis Pemerintah yang berkuasa.
Pemerintah melalui kewenangan mengatur, memanfaatkan, dan mendistribusikan hasil-hasil pembangunan kehutanan melalui berbagai produk kebijakan dan hukum justru bertolak belakang dengan tujuan penguasaan sumberdaya alam, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukti ini dapat dilihat secara gamblang sedari pergantian Rezim Orde Lama ke Orde Baru. Bisnis kehutanan pemerintah di Orde Baru memunculkan dua produk kebijakan yang memperkuatnya yaitu Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 (saat berganti menjadi Undang-Undang Kehutanan No.41/1999) dan Kentuan Pokok Pertambangan No.11 tahun 1967 tentang Aturan Pertambangan.
Dua kebijakan Orde Baru di sektor hutan dan tambang ini hingga akhir masa Orde baru tak jua menghapuskan hutang luar negeri Indonesia, bahkan melipatkan gandakan menjadi 160 kali lipatnya –salah satu terobosan Orde Baru untuk memulihkan perekonomian pasca Orde Lama yaitu peningkatan investasi dan industri berbasis sumberdaya alam (khususnya hutan dan pertambangan) , yang kemudian memunculkan industri kehutanan berbasis hutan alam melalui Hak Pengusahaan Hutan (di Jawa dipegang oleh Perhutani dan di luar Jawa oleh Inhutani), dan Kontrak Karya Pertambangan dengan perusahaan pertambangan asing yang waktu kontraknya mencapai 50 tahunan. Sementara itu Pembangunan Indonesia masa Orde Baru dibiayai oleh hutang luar negeri. Bisnis pemerintah Orde Baru berjalan bertentangan dengan apa yang dimandatkan oleh Konstitusi, kawasan dan hutan alam Indonesia semakin habis, industri kehutanan anjlok, konflik kawasan semakin tinggi, pelaku industri pertambangan banyak menuai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan menimbulkan bencana ekologi.
Bisnis Hutan Pemerintah Berlanjut
Orde Reformasi yang ditengarai membawa perubahan bagi tujuan pemanfaatan sumberdaya alam bagi sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat tidak jua terlihat. Kembali bisnis pemerintah ”mengangkangi” kemakmuran rakyat (baca: kedaulatan negara). Peraturan Pengganti Undang-undang No.1 tahun 2004 lahir, memberikan ijin penambangan terbuka kepada 13 perusahaan pertambangan dalam dan luar negeri di kawasan hutan lindung dan konservasi.
Keputusan Presiden No.41 tahun 2004 di masa Pemerintahan Megawati Sukarnoputri adalah jalan memperkuat bisnis pemerintah yang melibatkan komitmen antara pemerintah dengan 13 pemegang ijin pertambangan di atas kawasan hutan dengan tanpa kejelasan keuntungan bagi negara. Hingga pada akhirnya Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencoba memperjelas pengaturan dan berbagi keuntungan atas pengusahaan kawasan lindung ini.
Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2008 tentang Penerimaan Nasional Bukan Pajak (PNBK) dari pemanfaatan kawasan adalah peraturan yang bertujuan memperjelas nilai kompensasi pengusahaan kawasan lindung yang terkena pemberian ijin pertambangan, 927.648 hektar meliputi 12 propinsi, bagi 13 perusahaan tambang. Dan celakanya nilai-nilai kompensasi konservasi (meminjam istilah MS Kaban, Menteri Kehutanan) jauh dari estimasi biaya perbaikan kawasan lindung (Kompas 25/02).
Tiga juta per hektar kawasan hutan digadaikan Pemerintah. Angka ini adalah hasil simulasi berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah dan perusahaan, yang menurut Sutrisno dari Baplan Kehutanan, tiga departemen terkait (kehutanan, mineral dan pertambangan, dan keuangan) sudah pernah menawarkan 9 juta per hektar, tapi perusahaan berkeberatan alias menolak (Kompas 22/02).
Produk kebijakan kehutanan terkait dengan pemanfaatan kawasan lindung tersebut dilihat dari komitmen bisnis yang dibangun dengan 13 perusahaan pertambangan tidak mengacu kepada tujuan konstitusi, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat kecuali demi meningkatkan penerimaan negara (baca: bisnis pemerintah) yang ditengarai selama pemberian ijin bagi 13 perusahaan tersebut negara (baca: pemerintah pusat) tidak mendapatkan apa-apa.
Kelalaian konstitusional ini adalah bukti Pemerintah bertindak bukan sebagai negara. Padahal atas nama negara pemerintah bisa mencabut ijin kuasa pertambangan di kawasan lindung ini, bila pengusaaahaannya tidak memberikan kompensasi apa-apa bagi negara sedari 2004. Negara berdaulat atas sumberdaya hutan. Negara berhak mencabut semua peraturan dan perundang-undangan yang tidak menguntungkan bagi kepentingan negara dan bangsa terutama bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan malah sebaliknya, negara tunduk kepada kepentingan bisnis pemerintah (baca: penerimaan nasional) yang sarat dengan ketakutan melanggar komitmen bisnis dengan perusahaan.
Bisnis pemerintah menundukkan kedaulatan negara.***