Pemanasan global telah menjadi ancaman serius dunia termasuk Indonesaia. Tapi di Riau penghancuran lingkungan terus terjadi. Setiap tahun ratusan ribu hutan Riau dibakar untuk disulap menjadi areal perkebunan.
Sisa-sisa pohon bekas pembakaran masih terlihat jelas saat saya datang ke tempat ini. Di sini ribuan pohon telah tumbang. Batang kayunya bergelimpangan dan telah berubah menjadi arang. Warnanya hitam sehitam tanah gambut di wilayah ini.
Sebagian kayu masih terongok di tepi jalan yang tak lagi terurus. Sebagian lagi telah ditata sedemikian rupa menjadi jalur-jalur yang siap disulut api kapan saja.
Tak lama lagi hutan di di Kuala Cenaku, Indragiri Hulu, Riau ini akan habis untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
PT Bertuah Aneka Yasa, anak perusahaan Duta Palma Group berencana menghancurkan ribaun hektar hutan di sana.
Pada Juli hingga Agustus silam, kebakaran hebat terjadi di wilayah itu. “Waktu tu saya sedang di Jakarta menemui Pak Witular (Rahmat Witular Menteri Negara Lingkungan Hidup-Red) untuk mengadu kebakaran hebat yang terjadi sekitar desa kami, “kata Kepala Desa Kuala Cenaku, Mursyidi M Ali.
Desa Kuala Cinaku yang berada di lintas Rengat (Indragiri Hulu)-Tembilahan (Indragiri Hilir), yang dibelah oleh sungai Kuala Cenaku. Lokasi kebakaran nyaris hanya berada di belakang rumah-rumah warga.
Mursyidi M Ali mengatakan, lahan yang terbakar merupakan lahan gambut yang dicanangkan untuk perluasan perkebunan sawit perusahaan PT Bertuah Aneka Yasa (BAY).
Sepuluh tahun yang lalu, hutan Kuala Cenaku adalah hutan alam bekas areal HPH yang ditinggalkan pemiliknya karena krisis ekonomi. “ Waktu itu belum gundul, masih ada tersisa, potensi kayunya masih ada, masih banyak rotan, untuk mata pencaharian masyarakat masih ada di situ, hutannya tidak rusak total,” katanya Mursyid.
Tapi lihatlah sekarang, pohon-pohon besar dan kecil telah habis dibabat, tanpa sisa.
RIAU TELAH membuka jutaan hektar hutan, kebanyakan lahan gambut, untuk perkebunan sawit. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan perkebunan kelapa sawit di Riau sangat spektakuler. Bahkan dalam beberapa tahun mendatang diperkirakan produk sawit Riau akan menjadi nomor satu terbesar di Indonesia.
Tahun 1999 luas areal sawit di Riau baru sekitar 630 juta hektare, sekarang melonjak hingga mencapai 1,4 juta hektare.
Produksi CPO Riau juga meningkatan cukup tajam. Pada 1998, produksi CPO Riau baru sekitar 2,8 juta ton per tahun, tahun 2003 meningkat menjadi 10,6 juta ton pertahun dan bahkan 2004 diperkirakan mencapai 11,5 juta tahun. Peningkatan produksi sawit Riau ini merupakan rekor tertinggi dalam sejarah perkelapa sawitan di Indonesia.
Minyak kelapa sawit yang disebut-sebut sebagai calon penyelamat lingkungan karena dapat menghasikan bio-fuel telah menjadi berkah sendiri bagi Riau. Namun cerita dibalik itu, Riau kini terancam mengalami kerusakan lingkungan yang serius.
“Riau berkembang cepat karena perkebunan kelapa sawitnya banyak. Dulu waktu sebelum ada perkebunan Riau lambat pembangunannya, sekarang dengan perkebunan ini pesat sekali. Tapi di lain pihak mengubah hutan ke kebun itu menimbulkan dampak lingkungan yang buruk,” kata Kepala Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan (Bapedalda) Riau, Lukman Abbas. Hampir setiap tahun, kebakaran hutan dan lahan terjadi di Riau, di antaranya merupakan yang terbesar dalam sejarah kebakaran hutan di Indonesia.
Berpuncak pada tahun 1997, kebakaran terus terjadi hingga pertengahan tahun ini. Sepanjang 2005 jumlah hotspot atau titik api mencapai 22.630 titik, jumlah ini yang terbesar di bandingkan kawasan lain di Indonesia. Pada 2006 titik api mencapai 35.426 titik.
Data Word Wildlife (WWF) menyebutkan, sampai awal Juli 2007 lalu terdapat 509 titik api di Riau. Sebanyak 23 persen di antaranya berasal dari kawasan perkebunan, 21 persen dari HTI dan sisanya dari areal lain. Sementara pada September 2007 pantuan Satelit NOAA yang dirilis Badan Metreologi dan Geofisika (BMG) Pekanbaru masih menemukan 118 titik api yang tersebar di seluruh wilayah Riau.
Setiap tahun asap yang keluar dari propinsi ini menganggu negara-negara di kawasan asia tenggara hingga menyebabkan ribuan orang menderita. Sedikitnya 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 terkena diare dan menceret.
Sebagian besar kawasan yang terbakar merupakan kawasan gambut yang menjadi sumber polusi asap terbesar dalam kebakaran hutan di Indonesia. Sekitar 70 persen tanah di Riau adalah gambut.
Pembukaan dan pembakaran lahan gambut di Riau telah menempatkan Indonesia sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar nomor tiga di dunia setelah Amerika dan Cina. Setiap kali hutan gambut dikosongkan dan dibakar, terkirim sejumlah besar gas karbon dioksida ke atmosphere.
Dari total hamparan Lahan Gambut yang ada di Riau lebih dari 50% sudah tak berhutan lagi. Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) mencatat, saat ini hanya tersisa seluas 2.065.773,908 Ha atau 22.99 % dari luas daratan riau yang masih memiliki tutupan Hutan Alam. Kawasan Lahan gambut yang berhutan yang tersisa di Riau tersebut merupkan kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi (HCVF) dengan tingkat keterancaman yang tinggi pula.
Direktur Jikalahari Suseno Setiawan mengatakan, “Ketika sebuah perusahaan membuka HTI atau kebun sawit di lahan gambut maka yang akan mereka lakukan adalah membuat kanalisasi untuk saluran air. Berkurangnya air ini akan menjadikan tanah menjadi kering. Satu faktor saja misalnya pembakaran, maka yang akan terjadi adalah pelepasan carbon ke udara dalam jumlah yang begitu besar.”
Kaylan Safina dari Institut Pertanian Bogor mengatakan, lahan gambut sangat penting untuk menjaga iklim global karena bisa menyerap karbon dioksida dalam daun dan kulit kayu. Selain itu gambut di bawah pohon menyimpan karbon dioksida. Seperti spons raksasa yang menghentikan karbon dioksida keluar ke atmosfer dan menyebabkan perubahan iklim.
Dan nampaknya perubahan iklim sudah lama terasa di Riau.
Jonny S Mundung dari Wahana Linngkungan Hidup (Walhi) Riau menyatakan Riau adalah gambaran paling nyata ancaman pemanasan global di Indonesia.
Dalam 10 tahun terakhir Riau mengalami peningkatan Suhu yang sangat signifikan yaitu sebesar 2 derajat Celsius (BMG Pekanbaru, 2006). Peningkatan suhu ini sudah diluar ambang normal secara nasional yang hanya rata-rata 0,5-1 derajat Celsius. Peranan paling besar dalam peningkatan suhu ini erat kaitannya dengan terus bertambah besarnya volume asap di udara. Organisasi pecinta lingkungan dunia Greenpeace mengungkapkan kebakaran hutan di Riau menjadi ancaman global akibat besarnya kontribusi masalah ini pada perubahan iklim.
Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara Hapsoro mengatakan, kombinasi antara konversi lahan gambut dan kebakaran hutan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup secara global akibat besarnya jumlah karbon dioksida (CO2) yang terlepas ke atmosfir sehingga makin memperburuk iklim.
Greenpeace bersama organisasi lingkungan lain di Riau seperti Jikalahari dan Walhi Riau menuntut agar dilakukannya moratorium terhadap konversi dan penghancuran hutan gambut agar dapat menghentikan kebakaran hutan. (FKKM)