“Dalam satu hari biasanya sekitar enam box sampah yang saya bakar.,”
Sebutlah namanya Asep (35) ––bukan nama sebenarnya– salah seorang petugas di tempat pengelolaan sampah ITB. Ditemani dengan kucuran keringat yang keluar dari dahinya, saat itu laki-laki berkumis tipis ini tampak sibuk memasukkan sampah-sampah plastik menuju satu lubang persegi dengan kobaran api di dalamnya.
Suatu mesin penghancur dari besi yang tampak kokoh dengan tiang menjulang, tapi memutahkan asap tebal berwarna. Kokoh memang, tapi menyisakan banyak kekhawatiran kelak. Saat itu Asep sedang menjalankan kewajibannya, menghancurkan sampah-sampah plastik dengan insinerator.
Enam box sampah biasa Asep bakar dalam sehari. Sampah yang hanya diambil dari area kampus ITB saja. “Beberapa juga dari kompleks perumahan dosen ITB” ucap Asep seraya duduk sejenak untuk beristirahat.
Tak jauh dari tempat Asep, terlihat tumpukkan sampah-sampah plastik lainnya dengan warna-warnanya yang menarik. Sampah ini bercampur dengan puluhan botol plastik, kaleng minuman bahkan turut serta stryofoam dengan warna putihnya yang khas. Mereka seperti menunggu giliran untuk dimusnahkan ––lebih tepatnya dirubah ke dalam wujud yang baru– oleh si insinerator.
Di luar, tampak gundukan sampah organik yang membentuk bukit-bukit kecil tak beraturan. “Lihat, saya tinggalkan sehari saja plastik sudah tercampur kembali. Capek kan kalau harus memisahkan kembali” ucap Asep sedikit menggerutu. Menurutnya sampah itu sengaja dibiarkan menumpuk karena kelak akan dijadikan kompos. Nantinya kompos akan dijual dengan label “Kompos Ganesha” yang tercetak di atas kantung plastik berukuran satu kilo.
Lalu, kemanakah abu dari hasil pembakaran. Kata Asep, abu-abu itu akan dikeluarkan lewat pintu belakang incinerator. Lalu ditimbun pada sebuah bak persegi yang terletak pada ruangan terbuka di belakang ruang pembakaran. Limbah ini kemudian akan ditumpuk dan digeser, dan entah akan dikemanakan lagi setelah tak ada lagi ruang tersisa.
Selama proses penimbunan, pastinya beberapa partikel abu akan terbawa angin. Menurut penelitian, abu terbang (fly ash) dari insinerator sangat mudah dihempas angin. Abu-abu ini akan bertebaran ke segala arah: vertikal, horizontal, dan horizontal frontal. Diamana kepulannya sarat uap logam berat, dioksin, furan dan jelaganya kaya asam klorida dan fluorida.
Abu ini gampang masuk ke sistem pernapasan sehingga empat puluh persen yang berukuran satu sampai dua mikron tertahan di bronkioli dan alveoli. Yang ukurannya 0,25-1 mikron mudah keluar-masuk lewat udara pernapasan tetapi yang kurang dari 0,25 mikron melekat dan membahayakan paru-paru.
Nah, tak jauh dari tempat pembakaran sampah ini terdapat sebuah kawasan pemukiman. Tepatnya disepanjang sungai Cikapundung, kurang lebih tiga puluh lima meter dari tempat pembakaran sampah. Di sini, puluhan rumah saling bertumpuk tak beraturan ––karakter dari rumah yang dibangun di sepanjang sungai– dengan jendela-jendela kaca yang selalu terbuka seharian.
Sesekali terlihat senyuman dari si empunya rumah dengan kepala yang sedikit menegok keluar. Pun, saat itu terlihat anak-anak yang bermain tak jauh dari ruang pembakaran sampah. Karena memang, sepertinya hanya itulah lahan tersisa yang cukup luas untuk dijadikan arena bermain. Setelah semua tanah dan rumput tergantikan dengan beton dan aspal.
Maka, abu pun jadi menu santapan sehari-hari selain beras murah serta lauk pauk seadanya. Sungguh malang nasib mereka. Belum diberi kesempatan untuk mendapatkan asupan gizi yang baik, eh.. malah dipaksa harus menghisap ganasnya dioksin sebagai investasi dalam penurunan IQ mereka.
Dalam jangka panjang, anak-anak ini tidak lagi ‘bermain’ di lapang ini. Mereka akan dipaksa mengungsi ke tempat yang mahal dan pantang untung dikunjungi, rumah sakit. Atau tidak ada lagi senyum manis di pagi hari dibalik jendela-jendela rumah. Senyuman itu akan berubah jadi isak tangis karena menahan rasa sakit ketika kanker paru-paru tumbuh pada tubuh yang malang.
Enam box dalam sehari. Sampah yang dihasilkan oleh hanya penduduk ITB saja. Coba bayangkan berapa banyak jumlah sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Bandung dalam sehari?? Tentunya akan menghasilkan deretan angka yang fantastis tapi mengerikan. Dan bayangkan pula jika proyek PLTSA Gedebage jadi dibangun. Terbayang tumpukkan kekhawatiran dan bencana bagi manusia serta makhluk hidup lainnya ketika asap dan abu yang dihasilkannya secara perlahan menelusuri saluran pernapasan, yang masuk tanpa kita sadari..,
Teman saya berkata “Bagaimana mereka mau mengelola yang lebih besar, yang kecil aja tidak terkelola secara benar” akhirnya ucapan itu jadi epilog kunjungan saya ke Tempat Pengolahan Sampah ITB Minggu, (27/1) kemarin.(Ery bukhorie)