Nusa Dua, Greenpress-Pertemuan perubahan iklim di Bali yang berlangsung sangat alot dan emosional sehingga molor sehari akhirnya mencapai kesepakatan kemarin. Amerika Serikat, yang selama ini menolak meratifikasi Protokol Kyoto padahal menghasilkan emisi rumah kaca terbesar dunia, akhirnya menerima kompromi.
“Kami kesini juga karena ingin maju dalam sebuah framework baru. Kami juga ingin roadmap, kesuksesan di Bali,” kata Paula J. Dobriansky, ketua delegasi Amerika Serikat seperti dilansir Tempo.
Bali Roadmap memungkinkan putaran perundingan berikutnya bisa dilakukan sehingga pada 2009 diharapkan sudah muncul protokol perubahan iklim baru untuk menggantikan Protokol Kyoto yang kadaluarsa pada 2012.
Perundingan berjalan alot karena Amerika Serikat ingin Cina dan India, dua negara berkembang penghasil emisi jumlah besar, ikut melakukan pemotongan gas rumah kaca. Dalam Protokol Kyoto, dua negara berkembang itu tidak diwajibkan mengurangi emisi karena, meskipun jumlah totalnya besar, tapi perkapita kecil.
Sikap ini ditumpahkan Amerika dengan menentang masuknya angka pemotongan emisi 25-40 persen pada 2020 dari tingkat 1990 dalam rancangan kesepakatan. Akhirnya dicapai kompromi angka pemotongan emisi tidak muncul dalam teks kesepakatan. Sebagai ganti, Sekretaris Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Yvo De Boer mengatakan, “Setidaknya ada di dalam referensi dan catatan.”
Ketua Delegasi Indonesia, Emil Salim, mengatakan tidak mungkin meninggalkan Amerika ia menghasilkan 36 persen emisi dunia. Dua negara pendukungnya juga menyumbang emisi dalam jumlah besar yaitu Kanada 8 persen dan Jepang 18 persen. “Sulit mencegah perubahan suhu tetap berada di bawah 2 derajat celcius (jika mereka tidak bergabung),” tegasnya.
Indonesia sendiri berhasil memasukkan agendanya dalam pasal kesepakatan. Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo, datang ke pertemuan dengan agenda agar dunia internasional bersedia memberi kompensasi kepada negara yang memelihara hutan sebagai paru-paru dunia.
Sebelum pertemuan, kata Emil, usul ini sulit diterima. “Setelah kita yakinkan, semua bisa memahami,” tegasnya. Akhirnya kompensasi bagi negara berkembang agar tidak melakukan pembabatan hutan dimasukkan dalam pasal kesepakatan. “Para juru runding harus memberikan ‘insentif positif’ bagi negara berkembang yang mengurangi penebangan hutan,” ungkap pasal yang disepakati. (Andree P./Z. Wuragil/Rofiqi H/)