Nusa Dua, 14 Desember 2007. Konferensi Perubahan Iklim (COP 13) yang berlangsung sejak 3 hingga 14 Desember akhirnya berakhir tanpa hasil yang awalnya diharapkan bisa menghasilkan hasil kesepakatan negara di dunia untuk mencegah dampak perubahan iklim.
Bagi CSF (Civil Society Forum) gagalnya COP 13 dalam menghasilkan Bali Roadmap merupakan lemahnya bargening tim negosiasi Indonesia dalam UNFCCC. “Hingga saat-saat terakhir perundingan, Indonesia tidak mengambil kesempatan bersejarah untuk memimpin dan bertindak tegas untuk menurunkan emisi yang akan menjamin keselamatan warga di masa depan,”kata Abetnego Tarigan, dari Civil Society Forum.
Indonesia tidak menunjukkan kepemimpinan untuk mengajukan proposal yang bersifat permanen dan jangka panjang dalam penyelesaian krisis, seperti moratorium gambut dan penghentian pembakaran lahan dan hutan.”Sangat disayangkan Presiden COP 13 membiarkan proposal-proposal yang mengancam keselamatan rakyat di masa depan, tetap diluncurkan selama COP 13 berlangsung. Misalnya proposal terkait reforestasi/aforestasi, degradasi lahan, konservasi dengan kompensasi, energi, perluasan pasar karbon, yang pada intinya menunda kewajiban dan upaya mendesak penurunan emisi, ” ungkap Abetnego Tarigan, dari Civil Society Forum.
Abed juga menyesakan sikap negara maju yang berupaya mengagalkan negosisai kesepakatan.”Di saat sebagian besar negara selatan terkena dampak langsung perubahan iklim, negara-negara utara – pencemar emisi karbon tertinggi tetap bergeming. Dalam 15 tahun terakhir, emisi karbon negara Annex 1 – naik 16 – 25%. Tidak ada keseriusan dan niatan baik pemimpin-pemimpin negara utara, bahkan sejak persidangan COP 13 di Bali dimulai,”ujarnya menyesalkan.
Dibandingkan laju dampak perubahan iklim lanjut Abed, dengan laju penurunan emisi oleh negara-negara industri di utara, maka yang terjadi adalah kemunduran. Tidak ada realisasi komitmen yang tegas dan jelas untuk menurunkan emisi karbon, sebagai tujuan utama Protokol Kyoto.
Solusi-solusi yang dibicarakan dalam ruang sidang COP 13 di Bali, seperti dana adaptasi, penurunan laju deforestasi, dan transfer teknologi kata aktifis Sawit Watch ini tak banyak memberi harapan, karena semuanya disederhanakan menjadi mekanisme perdagangan karbon.
Mekanisme tersebut mendominasi pembicaraan di ruang-ruang sidang utama yang megah di Hotel Westin, lokasi utama perundingan COP 13. Negara berkembang yang mestinya satu suara melawan, sebagai korban model pembangunan global dan perubahan iklim, larut dalam negosiasi pasar karbon.
Mereka tidak mampu memberikan solusi-solusi tandingan yang cerdas dan solid untuk menjawab permasalahan nyata dampak perubahan iklim. Perlawanan mereka hanya sebatas usulan upaya teknis dan tambal sulam mekanisme pasar yang ditawarkan, seperti CDM. Padahal dalam sepuluh tahun terakhir telah terbukti, praktek CDM gagal menjawab krisis perubahan iklim .
Bagi Indonesia, perundingan COP 13 merupakan kinerja terburuk diplomasi internasional yang pernah dilakukan Indonesia. Disamping usulan biaya sekitar 136 milyar untuk pelaksanan perhelatan ini, yang Rp. 115 milyarnya disedot dari biaya APBN, Indonesia tidak mendapat hasil optimal untuk memastikan rakyat selamat dari dampak perubahan iklim.
Sebagai tuan rumah maupun Presiden COP, Indonesia tidak mengambil kesempatan bersejarah untuk memimpin upaya tegas dan memaksa dilakukannya segala tindakan yang diperlukan untuk menurunkan emisi, untuk menjamin keselamatan warga di masa depan.
Indonesia tidak menunjukkan kepemimpinan untuk mengajukan proposal yang bersifat permanent dan jangka panjang dalam penyelesaian krisis, seperti moratorium gambut hingga penghentian pembakaran lahan dan hutan.
Sangat disayangkan Presiden COP 13 membiarkan proposal-proposal yang membahayakan keselamatan rakyat kedepan, selama COP 13 berlangsung. Misalnya proposal terkait reforestasi/aforestasi, degradasi lahan, konservasi dengan kompensasi, energi, perluasan pasar karbon, yang pada intinya menunda kewajiban dan upaya mendesak penurunan emisi.
Bagai pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, rakyat Indonesia dan penduduk di negara selatan lainnya, akan kembali menderita karena solusi-solusi untuk mengatasi perubahan iklim bukanlah solusi nyata melainkan menimbulkan dampak di masa mendatang.
Dalam sikap terakhirnya Indonesian Civil Society Forum for Climate Justice tetap menyerukan kepada pemerintah dan semua pihak tanggung jawab solusi krisis dan bencana iklim dan lingkungan harus diemban oleh pihak yang menikmati pertumbuhan ekonomi agresif selama lebih dari satu abad. (Marwan Azis)