Nusa Dua, Greenpress-Tiga hari menjelang usainya Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, Rabu (12/12), empat negara maju dinilai berperan destruktif untuk mempelambat kemajuan negoisasi. Empat negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Kanada, Jepang, dan Australia.
Nur Hidayati dari Greenpeace Southeast Asia-Indonesia, menyampaikan hal tersebut dalam jumpa pers Climate Action Network (CAN) International pagi ini. “Konferensi perubahan iklim awalnya dibuka dengan harapan besar. Tapi kemajuan perundingan berjalan begitu lambat,” ujar Nur. “Ämerika Serikat, Australia, Jepang dan Kanada telah berperan destruktif dalam perjalanan perundingan,” tegas Nur.
Di satu sisi, kata Nur, negara berkembang (G-77) mengajukan pemotongan utang sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Sementara negara maju mengajukan teknologi baru rendah emisi karbon untuk diterapkan di negara berkembang.
Sayangnya, Nur melihat para menteri Indonesia terlalu lemah untuk bernegoisasi. Karena itu ia mendesak pada Presiden SBY untuk menekan para menteri untuk kembali ke tujuan semula. Dan bukan malah menerima mentah-mentah sejumlah ide dan syarat yang diajukan negara maju.
Tawar Emisi
Hal lain yang menonjol dalam perundingan adalah masalah tawar-menawar soal ketentuan penurunan emisi setelah Prokol Kyoto usai tahun 2012.
Di satu sisi, para ilmuwan yang tergabung dalam Intergovermental Panel for Climate Change (IPPC) sudah secara tegas menyatakan bahwa negara maju harus menurunkan tingkat emisi 25-40 % pada tahun 2020. Namun, keempat negara itu malah menawar untuk menurunkan emisi karbon hingga 22 % saja.
Terang saja hal itu membuat aktivis NGO yang tergabung dalam CAN murka. Menurut mereka ada upaya mementahkan hasil pertemuan Vienna saat semua negara maju setuju untuk menurunkan emisi mereka hingga ke tingkat 25-40 % pada 2020.
“Beberapa negara maju mencoba menawar penurunan tingkat emisi hingga 22%. Bagi kami tak ada kompromi di sini” ujar Richard Worthington dari Earthlife Africa.
Menurut Richard tuntutan masyarakat sipil yang tergabung dalam CAN sudah tegas. Negara maju, tanpa terkecuali, harus menurunkan laju emisi mereka hingga 40 % pada tahun 2020.
Tranfer Teknologi
Salah satu perdebatan panas lainnya yang mengemuka dalam perundingan UNFCCC adalah masalah transfer teknologi bersih negara maju ke negara berkembang. Termasuk juga pemberian dana hibah negara maju ke negara berkembang untuk mengadaptasi teknologi baru itu.
Stephan Singer dari WWF Internasional menyampaikan, empat negara maju seperti AS, Jepang, Kanada dan Australia lagi-lagi berperan destruktif dalam isu transfer teknologi. Mereka menolak transfer teknologi dengan alasan terhalang oleh ketentuan Hak Atas Kekayaan Intelektual (TRIPs).
Padahal bagi CAN, transfer teknologi bersih dan pemberian dana hibah –bukan utang- ke negara berkembang, merupakan salah satu solusi nyata bagi negara berkembang untuk berperan membendung perubahan iklim.
“Ingat, menurut IPPC umat manusia hanya punya waktu 50 tahun untuk menurunkan efek gas rumah kaca (GRK) akibat emisi karbon,” kata Stephan. Jika negara maju masih memikirkan profit jangka pendek, maka bencana akibat perubahan iklim secara luas tak lagi bisa dicegah.
Rashed Titumir dari ActionAid Asia-Bangladesh juga menekankan pentingnya akses teknologi bersih bagi negara berkembang. Rasheed juga menyingung pasal 62 dalam Protokol Kyoto tentang ketentuan transfer teknologi bersih negara maju ke negara berkembang, “Tapi hingga sekarang, ketentuan ini masih belum dijalankan,”tandasnya.
(E Haryadi/CSF)