Nusa Dua, Greenpress-Kerangka kerjasama tentang perubahan iklim yang terkenal dengan nama “Protokol Kyoto” hari Selasa (11/12) genap berusia 10 tahun. Bersamaan dengan momentum itu, di Nusa Dua, Bali, kini ribuan orang berkumpul dalam negosiasi sidang UNFCCC (Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim), membahas tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah suhu permukaan Bumi naik dua derajat Celcius, mencegah Bumi benar-benar hancur akibat perubahan iklim.
Namun pada hari ketika Protokol Kyoto berusia 10 tahun, sebagian pihak menyebutnya sebagai hari antara “perayaan” dan “pemakaman”.
Sejak disepakati oleh ratusan pemimpin negara dunia di kota bersejarah Kyoto, Jepang, protokol mengarahkan agar negara-negara maju yang tergabung dalam Anex I melakukan reduksi emisi karbon lima persen hingga tahun 2012, sementara negara berkembang tidak diwajibkan untuk melakukan hal serupa.
Tapi hingga mendekati tenggat waktu yang ditentukan, target reduksi emisi negara maju jauh dari kata tercapai, yang ada justru mereka melampaui kondisi saat protokol disepakati.
“11 Desember sepuluh tahun yang lalu, kita telah sepakat mencapai penurunan emisi. Tapi apa yang terjadi hari ini sungguh jauh dari harapan,” kata Kimiko Hirata dari jejaring Kiko Jepang yang tergabung dalam “Climate Action Network” (CAN).
Menurut CAN, apa yang terjadi di Bali hari ini justru kemunduran yang sangat disayangkan.
Marcelo Furtado dari CAN menyebutkan bahwa pada hari jadi ke-10 Protokol Kyoto, pertanyaan yang muncul hari ini justru “Apakah hari ini layak disebut sebagai peringatan? Atau sudah pantas disebut dengan hari pemakaman?”
Lebih lanjut Marcelo mencermati bahwa Protokol Kyoto menuju kegagalan dan seolah ingin dikuburkan begitu saja oleh negara-negara maju, terutama kelompok “empat negara” yakni Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Australia.
Empat negara tadi sejak Sidang Bali dimulai, Senin (3/12) telah mengindikasikan niatnya mengganti Protokol Kyoto dengan kerangka kerjasama yang lain.
Mereka pada prinsipnya menginginkan semua negara dikenakan kewajiban menurunkan emisi karbon, termasuk negara-negara berkembang dan miskin, padahal selama ini negara-negara maju sendiri telah gagal mengurangi emisinya dengan alasan ingin melindungi kepentingan sektor ekonomi.
“Tapi protokol bukan cuma milik negara Anex I. Protokol adalah milik semua pihak di dunia, kita bisa mendesak agar negara-negara maju agar memenuhi komitmen-komitmennya terhadap perubahan iklim,” kata Marcelo.
Namun di sisi lain, momentum Sidang Bali dipandang oleh sebagian pihak masih punya harapan untuk mengubah skeptisisme pembahasan isu perubahan iklim.
Alden Meyer mengatakan, “Protokol Kyoto yang berusia 10 tahun sudah seharusnya memasuki fase remaja, bukan bayi yang masih merangkak dan meraba.”
Ia melanjutkan, “Negara maju harus memastikan reduksi emisinya yang signifikan. Sidang Bali bisa menjadi momentum di mana negara utara dan selatan bisa berhenti berkonfrontasi dan beralih ke arah kolaborasi mengatasi perubahan iklim.”
Sidang tingkat tinggi UNFCCC baru akan dimulai besok, Rabu (12/12), dan dibuka secara resmi oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Diharapkan pada akhir perhelatan, tercapai suatu kesepakatan sangat mendasar tentang kerangka kerjasama pasca periode pertama Protokol Kyoto yang akan habis pada tahun 2012.
“Bali Roadmap” itu kemudian menjadi satu kesepakatan penting buat sidang-sidang dan kerjasama iklim, terutama untuk sidang UNFCCC hingga dua tahun mendatang.(Antara)