Nusa Dua,Greenpress-Cara terbaik untuk mengadapi dampak perubahan iklim di sektor pertanian adalah dengan cara kembali menghidupkan pertanian tradisional yang diyakini terbukti ramah lingkungan dan menjamin keberlanjutan pangan manusia.
Hal tersebut disampaikan sejumlah petani dari belahan dunia saat workshop yang bertema “Sustainable agricultur based on family farming and climate change di stage yang diselenggarakan La Via Campesinar Internasional (Organisasi Petani Internasional) Kampung CSO Nusa Dua Bali (7/12).
Menurut Sawad Uppahad, petani asal Thailand, pertanian industri yang digunakan sejumlah negara maju telah menimbulkan banyak masalah terhadap lingkungan.“Saya berkeyakinan bahwa pertanian tradisional adalah solusi bagi ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan,”ujarnya.
Pertanian tradisional menjadi bisa solusi ditengah perubahan iklim kata Sawad, karena pertanian tradisional banyak memiliki kearifan lokal yang menghasilkan praktek-praktek ramah lingkungan. “Dengan kearifan lokal kita bisa hidup sejahtera dan lingkungan bisa berkelanjutan”jelasnya.
Banyak kearifan yang telah diterapkan secara turun temurun yang bisa harmonis dengan alam. Praktek-praktek tradisional itu disesuaikan dengan ketinggian tempat, jenih tanah, curah hujan dan sebagainnya yang kesemuanya mendukung keberlanjutan lingkungan.
Sistem tersebut kata Sawad Uppahad sangat berbeda dengan pertanian industri.”Saya yakin tiap pengetahuan lokal memiliki pengetahuan keterampilan khusus yang mengarah pada keberlanjutan alam, bukan eksploitasi lingkungan dan ini telah dipraktek secara turun temurun,”imbuhnya.
“Saya pikir ini adalah kesempatan terbaik untuk saling berbagi tukar pengalaman dan bekerjasama,”tambah Sawad memancing peserta diskusi untuk bersharing.
Apa yang diungkapkan Sawad dibenarkan Olave, petani asal Norwegia. Dikatakan, secara umum pertanian umumnya di dunia memiliki tradisi dan peraturan yang berbeda-beda, karena seharusnya pengembangan pertanian disesuaikan dengan kondisi suatu daerah.
Tapi sebaliknya, industri telah menghancurkan pertanian lokal, karena industri menggunakan bahan-bahan kimia seperti pestisida yang merusak kesuburan tanah dan lingkungan.
Olave juga contoh perbandingan pertanian tradisional dan pertanian moderen yang dipraktekan di India dan Irlandia. “Petani di India terbiasa bertani secara tradisional dalam menghasilkan kentang dan kebutuhan pangan lainnya. Sementara Irlandia yang menggunakan praktek pertanian modern (industri) gagal dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka,”ungkapnya.
“Kalau mau pertanian berkelanjutan, harus sesuai dengan kearifan lokal. Tidak menggunakan metode industri yang memukul rata semua,”tambah aktifis NBS Norwegia ini.
Sementara Sarah Fernando dari Srilanka menceritakan, praktek pertanian yang pertama kali diterapkan dinegaranya adalah pertanian berbasis keluarga dengan luas lahan yang dimiliki petani antara 1 – 1,5 hektar perpetani. Lahan itu ditanami berbagai jenis tanaman seperti padi, sayuran dan berbagai tanaman buah-buahan “Dengan metode seperti itu, saya memperoleh keberlanjutan pangan,. Saya juga memperoleh pendapatan lain dari berdagang buah-buahan dan daging sapi,”katanya.
Namun ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengarahkan pertanian moderen, masalah mulai muncul. “Masalah mulai muncul ketika Srilanka mengarah ke arah liberal yang hanya mengenjok produksi namun mengabaikan keseimbangan lingkungan. Ini yang banyak menimbulkan masalah terutama masalah kesuburan tanah,”ungkapnya.
Masalah tersebut makin rumit kata Sarah Fernando, ketika banyak petani diarahkan menggunakan bahan kimia seperti pestisida dan juga mesin yang berasal dari luar negeri dengan harga yang sangat mahal.”Padahal yang kita harapkan adalah pertanian yang ramah lingkungan. Kami menggunakan agricultur dengan metode sendiri, yang hanya membutuhkan bahan kimia dan mesin tetapi hanya menggunakan tenaga manusia dan hewan. Ini adalah budaya saling berbagi dan peduli dengan sesama,”imbuhnya.
Seraya menambahkan, metode pertanian yang dipraktekan oleh nenek moyang hanya berfokus pada apa yang diberikan alam pada mereka berupa berbagai jenis tanaman seperti kopi, kayu manis dan berbagai tumbuhan liar lainnya sudah cukup untuk kebutuhan masyarakat saat itu.
Namun sekarang praktek pertanian yang dikembangkan manusia moderen yang hanya bertumpu pada aspek pertumbuhan dan keuntungan telah menimbulkan banyak masalah terhadap lingkungan dan terbukti gagal mensejahterakan manusia.
Musim Tanam Tak Menentu Dampak perubahan iklim menyebabkan petani semakin kesulitan dalam menentukan waktu tanam dan panen.”Yang terasa adalah musim tanam tak menentu. Ketika mempersiapkan bulan September-November untuk menanam padi, tapi air tidak tersedia, sementara bibit sudah harus tanam,”kata Irma Venny Ketua La Via Campesina Regional Asia Tenggara dan Asia Tenggara.
Saat ini kata Irma, petani diperhadapkan oleh kondisi iklim yang semakin tak menentu karena musim hujan dan kemarau semakin susah diproyeksi.
Selain itu, petani juga diperhadapkan ketahanan bibit tanaman, karena suhu makin tinggi akibatnya beberapa bibit sayuran seperti bayam dan lain-lain tidak tahan panas.”Ini sangat menyulitkan petani,”ujarnya.
Solusinya lanjut alumnus Universitas Sumatera Utara ini, petani harus kembali kepada pertanian lestari serta pemerintah harus mendukung kedaulatan pangan nasional (Marwan Azis).
Media Centre ini terselenggara atas kerjasama Green Press, Skala, Latin dan Kemitraan