Nusa Dua, Greenpress- Proposal skema reduksi emisi melalui hutan yang dikenal dengan REDD ( Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries) yang saat ini tengah didorong pemerintah Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali terus menuai kritikan.
Menurut Deputy Kampanye Hutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Rully Syumanda, skema REDD yang saat ditawarkan saat ini menguap di forum UNFCC hanya menguntungkan pihak pemerintah dan pengusaha. “Sementara masyarakat tidak memperoleh manfaat, “Kata Rully saat tampil sebagai pembicara Workshop Mendorong Mekanisme Konpensasi di Sektor Kehutanan Berkeadilan di selenggarakan Partnership kerjasama, CSO Network on Forest Governance and Climate Change dan WALHI di Kampung CSF, halaman Bali Tourism Development Center (BTDC), Nusa Dua, Bali.
Pasalnya skema REDD hanya akan diterapkan pada 5 kawasan hutan yaitu hutan produksi, kawasan hutan konservasi atau lindung, hutan gambut, hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit. Sementara hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan adat dan hutan rakyat tidak masuk dalam skema REDD.
Bagi Rully, skema REDD merupakan bentuk ketidak adilan global dalam mencegah pemanasan global dimana negara berkembang ditekan sedemikian rupa oleh negara maju untuk mempertahankan hutannyaya, padahal Industri yang dimiliki negara maju merupakan penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar di dunia.“Hutan indonesia telah diekstrak untuk memenuhi kebutuhan negara-negara Utara,”ujarnya.
Karenanya lanjut Rully, mestinya pemerintah memiliki nilai dalam UNFCCC dengan menjadi leadership dengan cara menekan negara untuk menurunkan emisinya. “Kita mendesak negara utara untuk menurunkan emisi. Saya yakin SBY akan dapat award jika ini berhasil,”ujarnya.
Soalnya dana pengamanan hutan Indonsia, pemerintah lebih baik memaksimalkan dana dana reboisasi 1,7 triliun yang selama ini tidak termanfaatkan.” Kita tidak perlu mengharapkan receh dari dagang karbon,”kata Rully.
Sementara Risaldi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, skema REDD merupakan skema baru pasca Protokol Kyoto yang akan habis masa berlakunya pada tahun 2012 nanti.“Ini akan memberikan kompensasi penurunan emisi. Tapi pertama kita terima maka hutan Indonesia akan dimonitor negara maju,”ujarnya.
Ia agak pesimis mekanisme REDD akan terealisir di Indonesia, mengingat hutan Indonesia semakin banyak kritis. “REDD hanya akan diberikan kepada negara berkembang termasuk Indonesia, jika dinilai mampu mengendalikan konversi hutan. Namun kenyatannya hal tersebut sulit tercapai karena hutan di Indonesia sudah banyak yang kritis karena perusahan yang tidak ramah lingkungan. Apalagi adanya semangat otonomi daerah yang salah kaprah yang mengekspolitasi sumber daya hutan demi PAD membuat hutan Indonesia makin merana,”jelasnya.
Risaldi sependapat denga Rully soal perlunya pemerintah Indonesia memiliki posisi tawar dalam negosiasi dalam COP 13 yang saat ini tengah berlangsung di Nusa Dua Bali.”Kita tidak perlu dengan REDD. Hutan kita perlu dijaga agar bisa menurunkan emisi, kan kita sendiri yang akan rasakan manfaatnya,”tandasnya.
Sementara Direktur Java Learning Centre (JAVLEC) Agus Affianto, agak kwartir skema REDD akan makin menjauhkan masyarakat dari kawasan hutan yang selama ini menjadi tempat hidup mereka secara turun temurun.“Jangan sampai terjadi seperti di Uganda, dimana masyarakat berhadapan dengan aparat keamanan sebagai akibat dari implementasi perdagangan karbon di kawasan hutan yang dikelola masyarakat,”ujar Picus yang juga tampil sebagai pembicara dalam Workshop yang dipandu Agung dari Parnership.
Menurut Picus panggilan akrab Agus Affianto, skema apapun yang didorong dalam COP 13, mestinya tidak hanya berbicara isu lingkungan semata tapi bagaimana keberlangsungan kehidupan manusia.” Ini yang harus menjadi pertimbangan pertama,”tukas Dosen Fakultas Kehutanan IPB ini.
Agung dari Parnertship juga sependapat dengan Picus. Menurutnya agar skema kompensasi pengurangan emisi yang harus diperjuangkan harus adil dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan tidak merugikan masyarakat. (Marwan Azis).
Pemberitaan ini terselenggara atas kerjasama atas klerjasama Green Press, Skala, LATIN dan Kemitraan.