Nusa Dua, Greenpress- dibalik menguatnya isu perdagangan karbon yang ramai diskusikan oleh pemerintah dan aktifis di arena konferensi perubahan iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, namun ternyata masyarakat masih banyak belum paham soal skema REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) , padahal mereka paling merasakan dampak perubahan iklim.
“Di masyarakat, tidak ada yang tahu karbon, apa kalo dijual seperti kotak, berapa beratnya, apa bentuknya dan sebagainya?, apa itu REDD, seperti apa bentuknya dan kalau dibayar siapa yang untung?”kata Nuzran Jaher, saat diminta tanggapannya soal REDD dalam workshop yang membahas mendorong mekanisme kompensasi pengurangan emisi di sektor kehutanan yang berkeadilan di Kampung CSO Nusa Dua Bali (6/12).
Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Provinsi Jambi ini, ketidak pahaman masyarakat di daerah soal skema REDD disebabkan karena pemerintah pusat tidak pernah melibatkan pemerintah daerah untuk mendiskusikan proposal tersebut.” Konsep yang diajukan oleh pemerintah tidak bottom up. Jadi apa bargaining power dari daerah, dan dikuatirkan program hanya beredar di pusat, dan tidak menjawab persoalan pengangguran, kemiskinan, yang terjadi di masyarakat sekitar hutan,”ujarnya.
Nuzra juga mengkhawatirkan, mekanisme REDD dalam implementasinya justru akan memirgirkan masyarakat adat dari kawasan hutan sebagaimana yang terjadi pada penetapan Taman Nasional Bukit Barisan yang berbuntut pada pengusiran warga ke luar areal hutan dan terpaksa sebagaian besar masyarakat merantau ke Malaysia.
Apalagi kata Nuzra, mekanisme REDD belum jelas.”Ini akan terjadi gejolak yang luar biasa, karena belum jelas mekanismenya seperti apa,”imbuhnya. Yang terpenting bagi daerah kata Nusra, apapun hasil negosiasi, maka yang akan merasakan dampaknya adalah masyarakat di daerah.
Tak lama setelah Nusra bicara. Salah seorang warga Kupang Aleta Bangun angkat bicara. Ia nampak bingung dengan diskusi perbahan iklim.”Hutan ini milik siapa, milik negara atau siapa,”ujarnya dengan nada tanya.
Seraya mempertanyakan, berapa jumlah hutan yang telah dilestarikan oleh negara sehingga pemerintah berani mengklain hutan adat yang telah dikelola masyarakat secara turun temurun.
Sementara ED WALHI Jambi, Arif mengatakan, dua agenda yang dibahas dalam UNFCCC saat ini yaitu mekanisme karbon trade atau perdagangan karbon dan transfer teknologi perlu sebuah kehatian-hatian sebelum diratifikasi.
Menurutnya karbon trade yang dalam implementasinya akan menciptakan kawasan konservasi baru yang ecofasis .”Ini akan menimbulkan persoalan, sebagaimana saat Taman Nasional Bukit Barisan ditetapkan, telah meminggirkan Orang Rimba keluar dari kawasannya hidupnya,”ungkapnya. Arif mencurigai REDD akan melanggengkan konsep seperti itu.
Demikian juga dengan kepentingan agrofuel. Bagi Arif, agrofeul hanya akan legitimasi ekspansi perkebunan sawit. DI jambi lanjut Arif, saat ini sudah sekitar 1,2 juta ha yang sudah disetujui untuk pengembangan kelapa sawit.”Ini akan menjadi dilema bagi masyarakat dalam melawan pengusaha yang berkolaborasi dengan pemerintah,”ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Taufik Ismail, warga Kabupaten Dompu Sumbawa. Dikatakan, jika REDD tidak berpihak dan melibatkan masyarakat maka harus ditolak.
Seraya mencontohnya, gagalnya proyek GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional) di Kabupaten Dompu, karena dalam pelaksanaannya masyarakat tidak dilibatkan.”Hanya dikerjakan sendiri oleh pemerintah,”ujarnya.(Marwan Azis)
Pemberitaan ini terselenggara atas kerjasama atas klerjasama Green Press, Skala, LATIN dan Kemitraan