By Hendro Prasetyo, on 04-12-2007 16:15
Di era keterbukaan sekarang pers masih saja dihalang-halangi pemberitaannya. Pelakunya tak tanggung-tanggung, panitia United Nations Framework Climate Change Convention (UNFCCC). Contoh paling anyar yaitu ditolaknya akses Green Press meliput acara UNFCCC di Bali.
“Green”, nama yang selalu diasosiasikan dengan Greenpeace, membuat Green Press tak memperoleh akses masuk ke sidang COP 13 Bali. Tak ayal, hal ini mengecewakan beberapa jurnalis Green Press. Padahal, sebagai pengusung demokrasi, PBB secara sepihak telah menolak akses Green Press dengan alasan tidak jelas.
Inilah yang membuat jurnalis Green Press tak habis pikir. Sebuah lembaga ternama dunia ternyata melakukan hal tidak demokratis itu.
Marwan Azis, jurnalis Green Press menuturkan bahwa sedari awal mereka telah melakukan registrasi via email kepada panitia. Hasilnya, mereka dijanjikan akan diberikan kartu identitas. Mereka diberitahu untuk mengambil kartunya di Nusa Dua Bali.
Namun, apa lacur? Kartu yang dijanjikan belum dibuat. Malahan mereka seperti diinterogasi dengan dicecar pertanyaan yang sama; Apakah ada hubungan dengan Greenpeace? Tanpa tedeng aling-aling, panitia justru meminta contoh tulisan. Alhasil, mereka ditolak aksesnya sebab tulisannya dianggap provokatif.
“Padahal, di syarat pendaftaran tidak ada pengecekan tulisan”, keluh Marwan. Lebih aneh lagi, ketika beberapa media yang berurusan dengan soal interior tiba-tiba diterima akreditasinya.
Ini adalah secuil indikasi sterilisasi area UNFCCC dari panitia yang kebablasan. Baik kendaraan, orang hingga media dihalang-halangi kehadirannya. Apakah ini menjadi tanda UNFCCC steril dari beragam pandangan? Hingga akhirnya hanya mementingkan pandangan pemilik modal dan birokrat korup. Sumber : situs CSO Forum www.csofrum.net