Oleh : Arif Aliad *
REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) menjadi salah satu tema pokok dalam Konferensi Perubahan Iklim ke-13 di Bali. Skema REDD diusulkan sebagai mekanisme kompensasi pengurangan emisi dari sector kehutanan. Idenya adalah Negara industri membayar kompensasi kepada Negara berkembang agar mau mengurangi emisi karbon akibat dari penggundulan (deforestasi dan degradasi) hutan.
Dalam konsep REDD, kompensasi akan diberikan kepada pemerintah, para pemegang ijin pengelolaan hutan (pengusaha HPH), pengusaha hutan tanaman industri, pengusaha kelapa sawit, dsb. yang tidak melakukan ekspansi yang menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan.
Potensi kompensasi yang akan diberikan cukup besar. Secara global, diperkirakan besar pasar karbon untuk REDD mencapai 15-50 miliar USD apabila diasumsikan besar potensi penurunan emisi dari REDD sekitar 50% dari tingkat emisi saat ini.
Oleh karena itu tidak heran apabila pembahasan REDD pada Konferensi Perubahan Iklim ke-13 di Bali, menurut Yvo deBoer dari Sekretariat UNFCCC, hanya berkaitan dengan masalah metodologi penghitungan karbon dan mekanisme transaksi pendanaan yang akan dilakukan.
Hal ini menguatkan dugaan bahwa forum PBB di Bali yang sedang berlangsung hanyalah negosiasi untuk berdagang karbon. Artinya, yang diperhitungkan hanyalah soal untung dan rugi. Tidak ada lagi pertimbangan lain selain itu.
Aspek ekonomi menjadi pertimbangan utama. Aspek sosial yang mencakup masalah-masalah hak asasi manusia masih jauh dari pembahasan jual beli karbon. Karena itu banyak kelompok-kelompok masyarakat sipil yang hadir sebagai pengamat dalam Konferensi tsb. mendesak agar pembahasan REDD atau perdagangan karbon juga mempertimbangkan resiko sosial yang akan terjadi.
Sejumlah resiko sosial yang mungkin akan terjadi apabila REDD diterapkan antara lain semakin terbatasnya akses masyarakat ke kawasan hutan dan sebaliknya menguatnya kontrol pemerintah terhadap kawasan hutan.
Masyarakat yang telah berinteraksi dengan kawasan hutan, antara lain dengan membangun hutan adat dan kebun yang berisi beragam tumbuhan bermanfaat, akan dengan mudah dituduh sebagai perambah dan penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi. Atas nama pencegahan deforestasi maka masyarakat harus keluar dari kawasan hutan. Mereka akan diusir baik secara halus maupun kasar dengan menggunakan aparat keamanan.
Pengusiran masyarakat oleh tentara atas nama perdagangan karbon, sudah terjadi di Uganda. Laporan Tom Griffith bulan Juni 2007 menyajikan gambar di cover depan laporan. Gambar menunjukkan seorang penduduk desa di Ruwa, Gunung Elgon, Uganda, memperlihatkan selongsong peluru yang disasarkan kepada orang-orang yang bekerja di lahan mereka. Lahan tersebut berada di dalam kawasan perkebunan untuk skema perdagangan karbon yang terlibat sengketa di wilayah perbatasan Taman Nasional Gunung Elgon.
Selain itu, potensi konflik horizontal juga akan semakin membesar. Pertama, antara kelompok masyarakat yang menerima skema REDD dan yang menolak. Kedua, bagi kelompok yang menerima skema REDD juga akan timbul konflik antara yang mendapat kompensasi dengan yang tidak mendapat kompensasi. Belum lagi ulah para spekulan tanah yang akan memanfaatkan situasi ini dengan menyerobot tanah yang bukan haknya. Akibatnya konflik pertanahan akan semakin mengemuka.
Konflik pertanahan di kawasan hutan sangat mungkin terjadi karena sebagian besar kawasan hutan di Indonesia tidak mempunyai batas yang jelas. Data dari World Agroforestry Center menyebutkan bahwa sampai tahun 2005, hanya 12% kawasan hutan yang sudah jelas tata batasnya. Walaupun sudah ada beberapa contoh tentang penetapan tata batas kawasan hutan secara partisipatif, namun kecenderungan untuk menetapkan batas wilayah hutan tanpa melibatkan persetujuan dan partisipasi masyarakat masih kerap terjadi.
Apabila resiko-resiko tersebut bisa dihilangkan atau dikurangi, maka skema REDD bisa memberi kesempatan kepada masyarakat di sekitar hutan untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya.
Oleh karena itu, baik dalam konsep maupun implementasinya, REDD harus meletakkan prinsip-prinsip penghormatan atas hak asasi manusia, pengakuan terhadap hak dan akses masyarakat terhadap kawasan hutan, tata pemerintahan yang baik, keamanan tanah, transparansi, pembagian manfaat yang setara, dan akuntabilitas pada publik serta orang-orang yang hidup di dalam dan di sekitar hutan yang potensial terkena dampaknya.
* Penulis : Arif Aliadi
Direktur Eksekutif LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia),
Anggota CSO Network on Forest Governance and Climate Change dan
Anggota Indonesia CSO Forum on Climate Justice
Email: aaliadi@latin.or.id;aaliadi@yahoo.com
Hp: 08121102660