Oleh : Arif Aliad *i
REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) menjadi salah satu agenda utama yang dibicarakan dalam COP13. Ide dasarnya adalah Negara-negara maju membayar kepada Negara-negara berkembang agar mencegah terjadinya penggundulan hutan (deforestasi dan degradasi) yang terjadi di Negara berkembang. Dengan bayaran tersebut. maka negara maju terbebas dari kewajiban mengurangi emisi dan tetap dapat melakukan pencemaran seperti biasa.
Secara global, Bank Dunia memperkirakan bahwa untuk menurunkan angka deforestasi di Negara berkembang sebesar 20%, pencegahan deforestasi akan menelan dana antara 2 hingga 20 miliar dolar Amerika per tahun, dan harga dari penghentian deforestasi secara keseluruhan sebesar 100 miliar dolar Amerika tiap tahunnya.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Dr. Sunaryo, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan mengatakan kepada pers bahwa,”Luasan tutupan hutan yang potensial “diperdagangkan” terkait penyerapan emisi karbon mencapai 88 juta ha.” Dengan asumsi perhitungan harga per hektar hutan kondisi bagus setara 10 dollar AS, setidaknya dapat terkumpul dana sekitar 880 juta dolar AS. Itu potensi dari perhitungan luasnya, belum harga karbonnya.
Perhitungan karbon yang digunakan selama ini, setiap hektar hutan alam berpotensi menyerap 200-300 ton karbon per hektarnya. Sementara harga karbon di pasar internasional rata-rata 12 dolar AS per ton karbon. Maka, nilai karbon yang ada pada 88 juta ha hutan sebesar USD 211.200.000.000.
Angka-angka tersebut sungguh menggiurkan dan membuat perhatian orang teralihkan. Fakta bahwa Negara maju adalah penyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 70% menjadi terlupakan. Sementara emisi yang dihasilkan negara berkembang hanya 30%.
Fakta di atas menunjukkan bahwa negara industrilah yang seharusnya mempunyai tanggung jawab besar dalam pengurangan emisi. Mereka harus memperbaiki teknologi agar lebih ramah lingkungan. Demikian pula gaya hidup masyarakatnya harus diubah agar tidak boros energi.
Setiap kepala penduduk di negara barat mengeluarkan emisi karbondioksida 25 kali lebih banyak daripada penduduk di negara-negara berkembang. Lima pengemisi karbondioksida terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Inggris, dan Jepang.
Data terakhir menunjukkan Amerika Serikat menyumbang 720 juta ton gas rumah kaca, yang merupakan 25% dari emisi total dunia. Emisi gas rumah kaca dari pusat pembangkit listrik di Amerika Serikat saja lebih besar daripada total jumlah emisi 146 negara (tiga perempat negara di dunia). Sektor energi menyumbang sepertiga total emisi gas rumah kaca AS. Emisi gas rumah kaca AS sektor energi lebih dari dua kali lipat dari emisi India. Dan total emisi gas rumah kaca AS masih lebih besar dari dua kali emisi gas rumah kaca Cina.
Emisi total dari negara-negara berkembang besar seperti misalnya Korea, Meksiko, Afrika Selatan, Brazil, Indonesia dan Argentina, tidak melebihi emisi AS.
Namun semua itu tertutup oleh skenario global yang mengalihkan perhatian kita agar berkonsentrasi pada pengurangan emisi di sektor kehutanan, dan sebaliknya melupakan pengurangan emisi yang seharusnya dilakukan oleh negara industri.
Ini jelas merupakan bentuk dari pengalihan tanggung jawab dalam mengatasi persoalan pemanasan global. Oleh karena itu tidak heran apabila mekanisme kompensasi pengurangan emisi yang akan dinegosiasikan merupakan cara untuk membeli sertifikat “Hak untuk mengeluarkan emisi”.
Jadi REDD sebenarnya bukanlah Reducing Emission from Deforestation and Degradation, tetapi Rights to produce Emission of Developed and inDustrial Countries. Apabila ini yang terjadi, maka perundingan yang berlangsung pada Konferensi Perubahan Iklim di Bali saat ini hanyalah pertemuan untuk negosiasi dagang karbon semata.
Para pemimpin dunia, khususnya negara berkembang, seharusnya bersatu untuk menekan negara industri, khususnya Amerika, untuk menurunkan emisinya. Pengurangan emisi hanya dari sektor kehutanan tidak akan mampu mengurangi pemanasan global, tanpa diiringi dengan pengurangan emisi di sektor lain.
Bumi ini tempat hidup kita. Kita semualah yang harus bertanggung jawab. Jangan alihkan tanggung jawab hanya kepada negara-negara berkembang.
*Penulis : Arif Aliadi
Direktur Eksekutif LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia),
Anggota CSO Network on Forest Governance and Climate Change dan
Anggota Indonesia CSO Forum on Climate Justice
Email: aaliadi@latin.or.id;aaliadi@yahoo.com
Hp: 08121102660