Bali,Greenpress-Setelah usai lagu berjudul “bumiku yang dinyanyikan Nugi, suasana hening itu pecah oleh intrupsi salah satu peserta pertemuan sipil society bernama Barnia, warga Moko-moko Bengkulu tiba-tiba saja naik panggung dan mengambil alat pengeras suara.
Dalam intrupsinya, Barlian memprotes acara Civil Society Forum (CSF) yang cenderung didominasi pesta musik dan tari-tarian.” Ngapain kita konser disini, rakyat butuh agenda yang jelas. Jangan hanya menari dan menanyanyi di panggung,”ujarnya dengan nada keras.
Namun Barlia sangat menghargai para artis yang sudah menciptakan ribuan lagu lingkungan tetapi festival yang diselenggarakan CSF dinilainya tak layaknya seperti saat pemerintah menanam pohon yang sering kali menampilkan artis-artis.”Kami sangat menghargai artis-artis yang telah membuat ribuan judul lagu lingkungan,”kata Barian.
“Tapi tidak mengharapkan acara seperti ini. Kami datang keseni dengan harapan persoalan-persoalan lingkungan yang terjadi di daerah bisa dibahas disini dan dibawah di forum Konferensi Perubahan Iklim,”tambahnya.
Dikatakan, mestinya pihak panitia mengarahkan agenda acara pada hal yang bisa bersinggungan dengan persoalan lingkungan yang terjadi di daerah serta bisa diperjuangkan di forum PBB.“Kalau seperti ini mending dibuat jadwal menanam pohon dari pada tidak agendanya yang jelas. Harusnya ada agenda yang jelas dan yang mengarah pada penyelesainya kasus lingkungan yang terjadi daerah secara kongkrit,”tandas warga dampingan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bengkulu ini.
.
Intrupsi tersebut sentak mendapat perhatian panitia dan peserta pertemuan NGO yang tergabung CSF. Bahkan beberapa pengurus Eksekutif Nasional WALHI dan WALHI Sumatera langsung Barnia mengajak rapat keluar di luar arena keramaian para aktifis NGO di Kampung CSO Nusa Bali.
Akhirnya, intrupsi tersebut membuatkan hasil, panggung pentas NGO yang sebelumnya dipakai untuk mementaskan acara seni seperti tari-tarian dan yang juga sempat menampilkan beberapa artis ibukota seperti Dian Sastro, Nugi dan Katong Bagaskara, sore harinya dipakai menjadi tempat diskusi petani korban perubahan iklim. (Marwan Azis).
Pemberitaan ini terselenggara atas kerjasama Green Press, Perkumpulan Skala, LATIN dan Parnership (Kemitraan)