Bali. Greenpress- Rentetan bencana alam seperti banjir, kekeringan,gempa dan berbagai persoalan sosial yang belakangan ini melanda Pulau Jawa menjadi bukti Jawa telah mengalami kebangkrutan ekologis.
Jika kondisi tersebut tak segera diantisipasi, maka penduduk pulau Jawa tinggal menunggu waktu untuk pindah ke pulau lain yang kondisi lingkungan lebih memungkinkan untuk bertahan hidup.
Hal tersebut disampaikan juru bicara Java Collapse Khalisah Khalid, saat memaparkan hasil penelitian timnya di Bale 1, Kampung Civil Society Organization Forum (CSF) di Kampung CSF, Nusa Dua, Bali, Senin (3/12).”Sebelum semua orang ramai-ramai berbicara perubahan iklim, penduduk Pulau Jawa sudah merasakan dampak buruknya,” tegas alin.
Diungkapkan berdasarkan hasil penelitian selama setahun yang dilakukan Java Collapse, kondisi Jawa saat ini sudah collapse atau bangkrut. Kebangkrutan itu terjadi secara ekologis, ekonomis, dan sosiologis.
Berdasarkan data hasil riset Java Collapse menyebutkan, semua wilayah Jawa telah mengalami krisis meliputi Jakarta (5 kotamadya dan 1 kabupaten), Jawa Tengah (35 kabupaten), Jawa Timur (37 kabupaten), Yogyakarta (1 kabupaten dan 1 kotamadya) dan Banten (6 kabupaten).
Salah satu bentuk krisis di Jawa adalah kekeringan. Bencana kekeringan melanda semua wilayah Jawa, yang terbesar terjadi di Jawa Barat (14 kabupaten), Jawa Tengah (27 kabupaten), Jatim (23 Kabupaten), Yogya (5 Kabupaten) dan Banten (…).
Kemudian setiap musim hujan, Pulau Jawa terutama wilayah Jakarta senantiasa dilanda banjir bandang yang menenggelamkan rumah-rumah penduduk. Diperparah lagi dengan kondisi alam daerah Jawa rawan bencana gunung melutus,puting beliung dan gempa.
Krisis lainnya di Jawa adalah masalah kesehatan. Mulai dari makin meningkat angka dan meluasnya demam berdarah (DBD), penyakit pernafasan akibat buruknya polusi udara, dan gizi buruk dan kelaparan yang dialami sekitar 4855 balita di Jakarta dan 1328 balita di Banten serta semakin susahnya mendapatkan pasokan air dan udara bersih.
Perubahan iklim juga memicu kebakaran di pemukiman padat penduduk. Jumlah kebakaran di Jakarta untuk tahun 2007 saja mencapai 900 kasus. ”Jumlah ini jauh lebih besar ketimbang tindak kriminal di Jakarta,” ujarnya.
Kondisi tersebut makin diperparah dengan tingginya angka migrasi penduduk secara massif ke kota-kota besar di Pulau Jawa terutama di DKI Jakarta. Jawa kini dihuni oleh 65 persen dari seluruh populasi di Indonesia. Padahal luas daratan Jawa hanya 7 persen dari seluruh daratan di Indonesia. “Arus urbanisasi ke kota-kota besar, disebabkan oleh kemiskinan di pedesaan. Tidak kurang dari 250.000 orang/tahun arus urbanisasi masuk ke Jakarta,”tuturnya.
Tak hanya itu, Pulau Jawa merupakan pulau yang amat rakus energi dibanding ribuan pulau Indonesia. Pasalnya, 70 persen energi diambil dari daerah-daerah lain untuk memasok PLTU dan PLTGU di Jawa. “Ironisnya, energi sebesar itu sebetulnya lebih banyak dikomsumsi dunia industri ketimbang rakyat banyak,”jelasnya.
Kondisi tersebut menurut Alin merupakan fakta yang amat ironis. Apalagi sejak jaman Daendels dan VOC, Pulau Jawa selalu menjadi pusat kebijakan, ekonomi dan pembangunan di Indonesia yang diawali dengan dibangunnya Jalan Anyer- Panarukan yang menjadi jalan penghubung seluruh daerah jawa.
Ditambah lagi dengan pola pembangunan di Indonesia dan global yang lebih menekankan aspek pertumbuhan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. ”Jawa sebagai sutu sentra ekonomi dan politik sesungguhnya sedang collapse atau bangkrut. Jawa tidak boleh dijadikan acuan bagi daerah-daerah lain” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Ibu Atisyha dari Yogyakarta yang mengeluhkan perubahan lingkungan di kotanya. Menurutnya, perubahan iklim kini merupakan sebuah keniscayaan, tak terkecuali di kota Gudeg tersebut.
Beberapa tahun yang lalu kata Atisyha, warga Yogya tidak perlu menggunakan masker namun sekarang situasinya telah berubah seiring dengan dinamikan kota Yogya. Setiap warga harus menggunakan masker jika tak ingin mengalami saluran Infeksi Pernapasan Akut (ISPA).
Selain itu, masyarakat mudah mengalami stress. Ditambah penyakit-penyakit seperti demam berdarah dan malaria. “Kemacetan yang saat ini melanda Yogya. Para ibu-ibu pun yang paling merasakan dampaknya terutama saat antar jemput anak,”ujarnya..
Krisis lainya yang saat ini melanda kota pelajar itu adalah, pasokan air kian berkurang “Daerah-daerah yang dulu tidak kekeringan, kali ini mengalami kelangkaan air, karenanya warga harus peduli lingkungan,”ujar Kooordinator Komunitas Kampung Hijau ini. (Marwan Azis).
Pemberitaan ini terselenggara atas kerjasama Green Press, Perkumpulan Skala, LATIN dan Parnership (Kemitraan)