Bali, Greenpress. Para seniman di Bali punya cara tersendiri dalam menyikapi pemanasan global, lewat keahlian yang mereka miliki, goresan cat di atas kanvas disulapnya menjadi media komunikasi untuk mengingatkan siapa saja akan pentingnya pelestarian lingkungan.
Rebelion Art (seni perlawanan), mereka menyebutnya, Lukisan-lukisan yang ditampilkan memang semuanya bertema tentang keadaan perubahan iklim dan alam sekitar yang memang sudah tercemar akibat perilaku manusia yang tidak bersahabat dengan alam.
Aksi goresan cat para seniman tersebut mengawali pembukaan acara Forum Masyarakat Sipil Indonesia (Civil Society Organization Forum) di Kampung CSO, Nusa Dua, Bali, Senin (3/12) pagi.
Meski acara pembukaan sempat diguyur hujan, hal itu tidak menyurutkan semangat 15 seniman dan pelukis untuk terus menggoreskan kuas dan catnya di kanvas.
Di atas kanvas putih sepanjang 100 meter, para seniman yang care terhadap perubahan iklim itu mulai beraksi dihadapan ribuan peserta pertemuan CSF itu. Mereka terdiri dari beberapa galeri seni Bali seperti Sanggar Dewata, Sanggar Lempuyangan dan The Toya Shop. Bahkanmereka juga berkolaborasi dengan seniman yang berasal dari luar negeri yaitu Prancis, AS dan Australia.
Agung Ray Yogi, salah satu pelukis beraliran Surialis mengatakan, pemanasan global terjadi saat ini tidak terlepas dari tingginya aktivitas manusia terhadap sumber daya alan dan lingkungan sehingga terjadi perubahan iklim.” Lukisan saya ingin mengambarkan matinnya ikan-ikan di laut karena tercemar limbah. Mudah-mudahan dengan lukisan ini, masyarakat bisa tersadarkan dan tidak lagi mencemari laut karena akan merugikan lingkungan dan nelayan,”katanya.
Lukisan berbeda ditampilkan Made Oka. Dalam lukisannya, Made menggambarkan semak-semak yang hidup di alam bebas yang kondisi alamnya masih alami dan belum tersentuh oleh polusi.”Dia tumbuh alami tanpa ada gangguan dan atmosfirnya juga masih segar. Saya ingin menyampaikan alam mini perlu dijaga dilestarikan,”jelasnya.
Sementara,Wayang Sunandi mengatakan, pemanasan global yang terjadi saat ini tidak terlepas karena tingginya tekanan manusia terhadap lingkungan. “Kejadian tsunami yang melanda Indonesia terutama Aceh beberapa tahun lalu merupakan salah satu contoh yang paling berharga bagi kita dalam mengelola alam,”ujarnya.
“Kami dari pelukis ingin menggugah masyarakat untuk lebih mencintai lingkungan, karena akan fatal akibatnya, jika memperlakukan lingkungan dengan seenaknya,”tandasnya.**
Made Wiradana dari Sanggar Dewata mengatakan bahwa selama ini udara di sekitar kita sudah tercemar oleh karbon dan sudah mulai jarangnya pohon yang berfungsi sebagai penetralisir.
” Dari pengamatan terhadap lingkungan yang sudah mulai rusak dan pohon-pohon yang sudah mulai hilang, saya terinsipirasi untuk melukis tentang pohon-pohon yang tak bisa mengimbangi kadar karbon yang lebih banyak,” kata Wiradana. (Marwan Azis)
Catatan redaksi :
Pemberitaan ini terselenggara atas kerjasama : Perkumpulan Skala, Green Press, LATIN dan Kemitraan.