Bali, Greenpress- Perdagangan karbon yang diusulkan oleh banyak negara – negara utara dan organisasi keuangan dunia termasuk Pemerintah Indonesia melalui skema REDD (Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries) menuai banyak kritikan, bahkan suara penolakan digelindingkan oleh elemen masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam Civil Society Forum (CSF).
Penolakan CFS atas perdagangan karbon itu menjadi salah satu poin rekomendasi yang dituangkan dalam kertas posisi yang merupakan salah satu poin hasil meeting strategic CFS untuk keadilan iklim yang berlangsung di Inna Putri Bali (1/12) kemarin.
Bagi CSF perdagangan karbon bukanlah merupakan solusi yang tepat dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global. Selain itu perdagangan karbon juga dinilai tidak menguntungkan bagi masyarakat adat.
Menurut Deputy Direktor Sawit Watch, Abed Nego Tarigan, persoalan penanganan pemanasan global sekarang ini cenderung disederhanakan.”Dengan cara memproteksi kawasan hutan untuk menurunkan karbon,”ujarnya.
Padahal pemanasan global yang terjadi saat ini kata Abed, bukanlah soal sederhana atau hanya terbatas aspek ingkungan semata tapi juga sangat terkait dengan ekonomi dan politik global. “Terjadinya pemanasan global disebabkan karena gagalnya pembangunan global yang hanya menekan aspek ekonomi dan pasar sehingga lingkungan makin merosok,”tuturnya..
Dalam situasi seperti sekarang ini lanjut Abed, hak masyarakat atas lahan dan hutan makin tidak terlindungi, karena areal lahan dan hutan sudah dikuasai oleh para pemilik modal dalam berbagai bentuk usaha baik itu berupa usaha pertambagan dan izin pengelolaan hutan lainnya.
Dijelaskan ada beberapa alasan mendasar, sehingga CSF menolak perdagangan karbon antara lain, kebijakan perdagangan karbon berpotensi menimbulkan penggusuran terhadap masyarakat adat yang mendiami kawasan hutan.”Ini akan memperkecil ruang kelola masyarakat dalam pengelolaan hutan, dengan asumsi kompensasi,”tukasnya.
Selain itu, perdagangan karbon akan memicu munculnya makelar baru yang tidak diketahui masyarakat sebagai pengelola kawasan serta akan membuat negara maju untuk tidak mengurangi emisi karbon yang mereka hasilkan, tapi mereka hanya memberi kompensasi karbon padahal sudah tanggungjawab negara maju untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara dratis. “Sangat tidak adil, mereka (negara maju red) menghasilkan karbon tapi negara berkembang yang merasakan dampaknya,”ujarnya. (Marwan azis).
Catatan redaksi :
Pemberitaan ini terselenggara atas kerjasama : Perkumpulan Skala, Green Press, LATIN dan Kemitraan.