Oleh : Marwan Azis
Jakarta, Greenpress-Program reduksi emisi melalui hutan atau REDD (Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries) yang ditawarkan pemerintah Indonesia dinilai oleh kalangan CSO (Civil Society Organization) Network On Forestry Governace and Climate Change, tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia terutama masyarakat adat..
Proposal skema REDD hanya akan menguntungkan pemerintah dan pengusaha. Mengingat mekanisme REDD hanya akan diterapkan pada sebagian kawasan hutan yaitu hutan produksi, kawasan hutan konservasi atau lindung, hutan gambut, hutan tanaman industri (HTI) dan sawit. Sementara hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan adat dan hutan rakyat tidak masuk dalam skema REDD.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi mengkritisi skema REDD yang diselenggarakan CSO Network On Forestry Governace and Climate Change dihadiri oleh puluhan jurnalis dari berbagai media di Café Darmint Pasfest Rasuna Said Jakarta (29/11) kemarin.
Menurut Direktur Java Learning Centre (JAVLEC) Agus Affianto, skema REDD yang ditawarkan pemerintah saat ini memiliki beberapa kelemahan antara lain, REDD tidak memberikan kompensasi terhadap satu paket fungsi sumber daya hutan yaitu penyimpangan karbon dengan penambahan serapan karbon, bahkan cenderung hanya memberikan kompensasi terhadap pelepasan karbon yang tercegah yang didasarkan pada kondisi baseline trend tingkat deforestasi dan degradasi, sehingga REDD tidak memberikan reward terhadap SDH mencakup luas dan fungsinya secara keseluruhan.
Selain itu, mekanisme REDD hanya akan diterapkan pada sebagian kawasan hutan yaitu hutan produksi, kawasan hutan konservasi atau lindung, hutan gambut, hutan tanaman industri (HTI) dan sawit.
Artinya REDD hanya akan memberikan kompensasi pada kawasan hutan alam yang tidak jadi terdeforestasi dan terdegradasi akibat aktivitas pada kelima kawasan hutan tersebut baik melalui penebangan, konversi, maupun penggunaan lainnya. Karena kompensasi REDD hanya terbatas pada kelima kawasan hutan itu, maka hanya pihak Pemerintah, Perhutani dan pengusaha saja yang memiliki konsesi atau berhak mengelola kompensasi dana REDD.
Sementara upaya pemulihan kawasan yang terdeferostrasi dan terdegradasi serta upaya pelestarian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pengunaan hutan melalui skema Community Based Forest Management (CBFM) seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan adat dan hutan rakyat yang nyata-nyata terbukti lebih berkelanjutan tidak diberi aapresiasi atau tidak dapat sama sekali kompensasi REDD.”Padahal dengan diterapkan mekanisme REDD, maka masyarakat akan dilarang menebang pohon karena akan melepaskan karbon,”imbuhnya.
Hal tersebut akan akan memicu peningkatan jumlah penduduk miskin. “46 juta masyarakat Indonesia yang miskin berada di sekitar dan dalam hutan,”ungkap Picus panggilan akrab Agus Affianto.
Kondisi kemiskinan seperti itu akan menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan sangat besar dan pada akhirnya akan dapat memicu terjadinya perubahan hutan seperti hutan lindung, taman nasional dan kawasan konservasi lainnya dan tentu akan menjadi bumerang bagi skema REDD dan akan dipakai oleh negara maju untuk menekan negara berkembang.
Dengan kondisi seperti itu, Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gaja Mada (UGM) ini agak pesimis, Indonesia bakal menerima kompensasi karena pasti akan terjadi kebocoran karbon.”Skema REDD dengan menggunakan mekanisme kaplin versus total kompensasi. Bantuan dengan skema REDD itu bukan saja setengah hati tapi juga penipuan negara maju terhadap negara berkembang,”tukasnya.
Lebih jauh Picus mengungkapkan, jika skema REDD jadi direalisasi dengan cara memproteksi sumber daya hutan maka akan terjadi stagnasi pembangunan di sektor kehutanan dan akan mempengaruhi aktivitas industri di tanah air.
Hal senada juga disampaikan Direktur Program Forestry Governance Programme dari Kemitraan. Ia menyoroti kecilnya dana yang kompensasi yang diperoleh dari skema REDD yaitu 4 US$ per matriks ton karbon.
Apalagi untuk proses kompensasi itu ada biaya operasional yang dibebankan kepada negara pemilik hutan tropis, sehingga yang akan diterima 60-70 persen dari total dana REDD.
“Pada prakteknya potongan biaya operasional itu bisa mencapai 90 persen,” ujarnya. Agung mencontohkan Kosta Rika, yang telah melakukan mekanisme sejenis REDD dari negara-negara Uni Eropa, 90 persen dana kompensasi REDD habis terpakai untuk mengaji konsultan asing dan operasional, jadi hanya memperoleh 10 persen yang diperoleh negara penerima skema REDD.”Ini rugi besar apalagi Indonesia belum memiliki model perhitungan harga,”ujarnya.
Sementara Direktur Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Arif Aliandi mengatakan, jika tidak diantisipasi dengan baik maka posisi negara maju dalam konteks mekanisme kompensasi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) dapat bergeser ke arah pembelian hak untuk mempolusi dari negara maju ke negara berkembang.
Kecenderungan pemindahan tanggung jawab pencegahan perubahan iklim global lanjut Arif, melalui pengurangan emisi dari deforestasi kepada negara berkembang mulai nampak ketika negara maju menawarkan mekanisme REDD.”Dari sini terlihat bahwa dalam proses negosiasi tersebut akan berhadapan antara right to polutte dengan responslibilities to mitigate. Keadaan seperti ini akan melemahkan posisi negara berkembang termasuk Indonesia,”ujar Agus.
REDD Tidak Bisa Jadi Solusi
Pakar lingkungan hidup, Emil Salim, mengatakan bahwa mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi di negara berkembang yang disebut REDD, yang akan diperjuangkan Pemerintah Indonesia dalam sidang UNFCCC di Bali pada Desember 2007 bukanlah solusi tunggal buat menghadapi perubahan iklim.
“REDD tidak membawa dampak secara langsung dan segera buat kita, karena pencemaran masih akan terus bergerak naik seiring dengan itu,” kata Emil Salim seperti yang dilansir Kantor Berita Antara
Emil sendiri berkeyakinan bahwa proposal REDD disetujui dalam pertemuan di Bali, tapi ia menekankan bahwa Indonesia tetap harus membuat rencana aksi secara nasional tentang perubahan iklim ini.”Tetap akan ada jeda waktu hingga REDD bisa dirasakan dampaknya, dan kita harus melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim yang sudah berpengaruh di Indonesia sekarang,” ujar mantan Menteri Negara Lingkungan Hiudup ini.
Karena itu, ia mendesak semua pihak, agar mulai mengubah paradigma yang terkait dengan pembangunan dan keberlangsungan lingkungan hidup.”Kita harus mulai berparadgima untuk hidup bersama hutan, bukan dengan mengambil keuntungan lewat pembalakan dan penggundulan hutan,” ujarnya.
Emil menegaskan, hutan akan membawa keuntungan lebih banyak bagi umat manusia bila hutan masih tersisa di dunia, ketimbang bila semuanya dimusnahkan ***.