Kompensasi dari adaptasi REDD (reduksi emisi dari pencegahan deforestasi bagi negara-negara berkembang) sangat menggiurkan. Dengan bermodal 144 milliar rupiah untuk penyelenggaraan UN Climate Change di Bali dalam sepekan di Desember nanti, Indonesia berharap untung hingga 33,75 trilliun rupiah pertahun bagi penjagaan kawasan hutan ke depan (Antara, 2007).
Untung ini tidak kecil bagi Indonesia. Bahkan, sebelum Rahmat Witoelar, Nabil Makarim yang menjabat Menteri Lingkungan Hidup pada pemerintahan Megawati memprediksikan Indonesia bisa mengantongi keuntungan sebesar 18 juta dollar Amerika pertahun dengan hanya menjaga hutan yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara dari kerusakan. Dan sayangnya, Indonesia era itu tidak segera meratifikasi Protokol Kyoto (1997). Dan tidak bisa dibayangkan dampaknya kini, mungkin APBN Indonesia tidak selalu dihantui oleh “defisit anggaran” yang setahun sekali selalu memaksa Pemerintah merevisinya.
Itu jikalau, sedari awal Prokol Kyoto diratifikasi dan Indonesia sungguh-sungguh menjaga hutannya.
Dasar pejabat dan orang-orang kita masih memiliki mental “inlander”, dipikirnya duit 33,75 trilliun rupiah pertahun bisa membantu Indonesia lepas dari semua persoalan pembangunan (defisit APBN, kemiskinan, pengangguran, penipisan sumberdaya alam, korupsi, nepotisme, kehancuran lingkungan dan lain-lain). Bahkan hal yang sudah jelas saja semisal “pengerukan” sumberdaya hutan, tambang dan mineral yang ditengarai untuk membayar utang dan biaya pembangunan Indonesia sejak 1967 yang lebih besar dari nilai estimasi adaptasi REDD, tak jua bikin negeri ini lepas dari persoalan pembangunan dan dampaknya.
Tak salah memang apa yang disebut Rocky Gerung untuk para pemimpin Indonesia saat ini sebagai “mediocre” (low ability, value, quality, atau performance -dari Meriam-Webster) pada sebuah artikel hasil wawancara Maria Hartiningsih dengannya, di Harian Kompas beberapa waktu lalu. Pejabat LH dan delegasi RI untuk UN Climate Change agaknya pantas disebut para “mediocre”.
Kalau kita mengingat bersama istilah “Jalur Sutera” yang diperkenalkan seorang geografer Jerman, Ferdinand von Richthofen, pada awal abad 19-an, fenomena perdagangan karbon akan membentuk “Jalur Karbon”.
Penguasaan geopolitik “Jalur Sutera” oleh pemain-pemain besar negeri penghasil sutera seperti India, China, Roma, Persia dan Arab tampak terasa di berbagai belahan dunia terutama bagi negeri-negeri kecil. Intervensi perdagangan global menciptakan perubahan peradaban baru. Negeri-negeri kecil di dunia menjadi kecina-cinaan, keindia-indian, keroma-romaan, kearab-araban, kepersia-persian.
Penguasaan geopolitik “Jalur Karbon” yang tertuang dalam berbagai perangkap Framework on Climate Change-nya PBB bisa jadi adalah duplikasi strategi geopolitik “Jalur Sutera”. Tentu pemain terbesarnya para penghasil emisi karbon adalah China, Amerika, Perancis, German, Jepang, Australia, Inggris dan negara maju lainnya (Annex I). Negara-negara miskin yang diming-imingi uang sebagai imbal jasa menjaga hutannya di Selatan sudah terbayang akan seperti apa. Jadi kecina-cinaan, keamerika-amerikaan , kegerman-germanan, kejepang-jepangan.
Saya yakin masyarakat iklim yang tergabung dalam “climatesociety” ini sudah membaca apa yang akan terjadi pasca Bali nanti, yaitu UN memfasilitasi terbentuknya jalur penguasaan politik dan ekonomi baru bagi Annex I, yaitu “Jalur Karbon”. Apa lebih bagus masyarakat iklim boikot acara ini.
Boycott as better than never!!!!(tJong)