Hendro Sangkoyo *
Cukup alasan keprihatinan Warga Indonesia dalam
menyambut Konferensi Para Pihak atau COP ke-13 dari
semua negara penyepakat Konvensi Kerangka PBB tentang
Perubahan Klimatik di Bali nanti.
Dalam 10 tahun terakhir, Protokol Kyoto—instrumen
kebijakan Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan
Klimatik (UNFCCC)—telah memberikan jalan keluar bagi
kapital keuangan dan industri, khususnya di negara
industri maju (rombongan negara Annex1) untuk
mempertahankan tingkat emisi karbonnya dengan ongkos
kompensasi semurah- murahnya. Namun, target Protokol
Kyoto sendiri jauh lebih kecil daripada kebutuhan
reduksi emisi menurut pertimbangan Panel
Antarpemerintah untuk Perubahan Klimatik (IPCC).
Ini sama seperti logika mencari upah buruh terendah di
balik gelombang relokasi industri dari negara industri
maju. Ongkos reduksi emisi “lewat cebakan karbon” di
negara non-Annex1, yang hanya sepertiga atau kurang
dibandingkan dengan reduksi “lewat sumber emisi” di
Utara mendorong distorsi respons terhadap pemanasan
bumi.
Di seberangnya, Indonesia dan sebagian besar
negeri-negeri berkembang lainnya gagal melakukan
pembaruan politik-keuangan dan industrial di dalam
negeri untuk membalik arus eksodus rakyat pedalaman
dan perkotaan ke sektor-sektor nafkah tanpa jaminan
keselamatan dan kesejahteraan jangka panjang.
Saat stok karbon dari sepetak wilayah jadi komoditas
pujaan, publik di negeri-negeri Selatan, yang masih
tersandera utang pembiayaan pembangunan, sekarang
hendak menangkap tetesan mata uang keras dari
perdagangan emisi, dengan janji mengurus hutan dan
warga miskin sendiri.
Di sini nyata sekali ketidaksungguhan politik
rombongan negara Annex1 untuk patuh pada isi konvensi
yang tegas-tegas mengharuskan mereka mendanai negara
berkembang untuk melakukan adaptasi dan mitigasi.
Dua dari tiga mekanisme luwes dalam protokol yang
paling dielu-elukan penguasa keuangan global adalah
jual beli hak emisi karbon dan “mekanisme pembangunan
bersih” yang secara khusus mengatur moda transaksi
negara Annex1 dengan non- Annex1 untuk mereduksi
emisi. Ini telah menghasilkan rapor kontradiktif.
Pertumbuhan pesat volume stok “reduksi emisi
bersertifikasi” (CER) diperkirakan mencapai 1 miliar
unit pada 2012. Akhir masa komitmen pertama atas
Protokol Kyoto dihadapkan pada hasil pengamatan bahwa
besaran emisi karbon global melonjak lebih pesat dari
masa pasca-1990, khususnya sejak tahun 2000.
Misalnya, mencairnya es musim panas di lingkaran
Arctic, khususnya 2005-2007, yang ternyata 30 tahun
lebih awal dari taksiran IPCC.
Satu lagi alasan bagi kedua belahan bumi untuk
merombak tata kelola perubahan sosial ekologis secara
mendasar. Sejak 1994, baru sekarang kata kerja
“adaptasi” terhadap pemanasan bumi dan segala
dampaknya dipertimbangkan sejajar dengan “mitigasi”.
Itupun masih tanpa kesediaan pendanaan tanpa syarat
dari rombongan negara Annex1.
Di “Selatan”, warga yang hidup dalam dan dari sisa
hutan tropis masih terus mencoba menghambat perluasan
pembalakan dan perkebunan tanaman ekspor yang langsung
mengancam keragaman hayati dan nafkah setempat.
Bagaimana nanti ketika bencana mengetuk? Kita butuh
sebuah kerangka politik industri dan keuangan yang
mampu mengendalikan perluasan ekonomik, sekaligus
memulihkan kerusakan sosial dan ekologis di Tanah Air.
Akumulasi kapital rendah karbon saja takkan pernah
cukup untuk menahan apalagi membalik proses
disintegrasi sosial ekologis sekarang.
*Peneliti pada School of Democratic
Economics