Riau dikenal propinsi yang kaya sumber daya alam. Namun 25% kebun kelapa sawit Indonesia juga terletak di Riau. Kamis lalu kapal Rainbow Warrior milik LSM lingkungan hidup Greenpeace berupaya menghadang kapal tanker MT Westama, yang mengangkut 30 ribu ton kelapa sawit di pelabuhan Dumai, Riau. Apa tujuan aksi ini? Lalu berhasilkah aksi ini Rangkuman wawancara Radio Nederland Wereldomroep dengan Diederick van Gelder, aktivis Greenpeace yang ikut berlayar atas Rainbow Warrior.
Tujuan aksi ini adalah untuk menjelaskan bahwa cara penanaman kelapa sawit telah melampaui batas. Hutan dan lahan gambut secara besar-besaran dimusnahkan. 40% hutan di Indonesia telah punah, dan 70% hutan rimba, tempat hidup macan Sumatra dan orangutan. Masyarakat yang tinggal di sana memperoleh ganti rugi kecil untuk pindah. Kemudian wilayah tersebut didatangi perusahaan-perusaha an besar yang membakar habis hutan guna menanam perkebunan kelapa sawit. Pancaran gas rumah kaca di kawasan itu sangat tinggi.
Tapi mengapa aksi Greenpeace dilakukan di Dumai?
Dumai adalah pelabuhan ekspor minyak kelapa sawit terbesar Indonesia. Pelbagai kapal tangki mengangkut minyak kelapa sawit ke seluruh penjuru dunia, termasuk Belanda. Belanda adalah pengimpor minyak kelapa sawit terbesar di Eropa.
Berhasilkah aksi Greenpeace di Dumai? Berikut penjelasan Bustar Maitar, Juru Kampanye Solusi Kehutanan Greenpeace Asia Tenggara.
Bustar Maitar [BM]: “Sejauh ini kami berhasil dalam arti dibuka peluang untuk mendiskusikan tuntutan kami. Aksi yang kami lakukan mendapat perhatian pemerintah Indonesia, itu terjadi saat ini. Artinya Departemen Kehutanan membuka ruang untuk diskusi terhadap apa yang kami sampaikan dan juga Presiden RI sendiri kemudian memanggil tiga menterinya untuk mendiskusikan aksi kami, yaitu Menteri Kehutanan, Pertanian dan Menteri Lingkungan Hidup. Tapi keberhasilan tentu akan kita lihat sejauh mana pemerintah berkomitmen untuk melakukan permintaan kami.”
Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: “Tapi upaya Greenpeace tampaknya tidak akan mudah, melihat banyak perusahaan besar yang menggunakan kelapa sawit untuk produk-produknya, seperti misalnya Unilever. Bagaimana ini Pak?”
BM: “Kami, hampir dua minggu lalu meluncurkan sebuah laporan yang kami sebut dengan Cooking the Climate atau menggoreng iklim. Ini merupakan laporan yang kami usahakan bisa memberikan tekanan kepada perusahaan-perusaha an besar seperti Unilever, Nestle dan lain sebagainya untuk tidak menerima minyak sawit yang diambil dari perkebunan yang menebang hutan dan lahan gambut di Indonesia. Tentu terus ini akan kami kampanyekan. Kami sadar ini bukan sesuatu yang mudah, tapi terus akan kami kampanyekan terus-menerus. ”
RNW: “Kami sudah tahu dampak buruk industri kelapa sawit terhadap iklim. Tapi pemerintah Indonesia tampaknya tidak peduli. Apa yang akan dilakukan Greenpeace untuk menyadarkan pemerintah maupun masyarakat?”
BM: “Ini akan kami bicarakan dalam pertemuan kami dengan Departemen Kehutanan. Semua orang tahu, dunia internasional tahu, Indonesia punya citra yang buruk dalam pengelolaan lingkungan berkaitan dengan perubahan iklim.
“Nah, kalau Indonesia tentu mau mendapatkan citra yang baik dalam pertemuan tersebut, ini merupakan peluang bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan citra yang baik di depan publik internasional, ketika pertemuan PBB nanti, dengan melakukan moratorium deforestasi, dan juga moratorium pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit pada lahan hutan dan lahan gambut di Indonesia.”
“Karena, anda tahu sendiri, Indonesia merupakan negara nomor tiga di dunia, penghasil emisi gas rumah kaca, terutama dihasilkan dari deforestasi hutan. Dan, lebih spesifik lagi, dimotori oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Jadi saya pikir ada peluang bagi pemeirntah Indonesia kalau mau mendapatkan citra yang baik dalam pertemuan PBB bulan depan di Bali.