Jakarta,Greenblog-Awal Februari 2007, wilayah Jakarta dan sekitarnya terendam banjir yang menyebabkan sekitar 80 orang meninggal dunia dan mengakibatkan kerugian material hampir Rp10 triliun. Wilayah Jakarta yang terendam banjir di Jakarta lebih luas dibandingkan bencana banjir serupa pada tahun 2002. Mengapa ini bisa terjadi? Padahal banjir termasuk bencana alam yang bisa diatasi.
Bencana alam banjir di Jakarta sebenarnya bisa diantisipasi sebab bencana ini diawali dengan tanda-tanda alam hujan yang turun terus menerus baik di Jakarta maupun di kawasan hulu di Puncak, Bogor.
Jika pemerintah dan masyarakat mengambil tindakan antisipatif, maka korban jiwa bisa dihindari dan kerugian material dapat ditekan. Lalu, mengapa bencana banjir menggenangi wilayah yang lebih luas dan korban jiwa lebih besar?
Pemerintah dan masyarakat tidak pernah belajar dari pengalaman bencana sebelumnya. Persoalan bencana alam banjir tidak pernah ditangani secara terpadu. Pemerintah dan mayarakat justru saling tuding atas kesalahan dan ketidakmampuan masing-masing.
Pemerintah menilai masyarakat sulit diatur karena tinggal di bantaran sungai sehingga membuat daya tampung sungai makin kecil. Sebaliknya, masyarakat menganggap pemerintah gagal menerapkan peraturan tata ruang dan membiarkan pembangunan gedung-gedung tidak terkontrol sehingga menutup daerah resapan air.
Untuk mencegah agar bencana banjir tidak menggenangi Jakarta lagi, diperlukan solusi yang terpadu dan melibatkan semua unsur, seperti pemerintah, masyarakat, kalangan dunia usaha, akademisi, anggota dewan, militer, polisi dan lain sebagainya.
Penanganan banjir di Jakarta juga dilakukan melalui pendekatan politis dan teknis yang melibatkan wilayah administrasi DKI Jakarta (hilir) dan Puncak atau Bogor (hulu) serta Banten. Pelaksanaan kerjasama ini harus dibuatkan skala prioritas, target waktu, pendanaan dan tanggung jawab yang jelas.
Secara teknis, pembuatan rencana kerjasama tidak sulit karena rencana induk penanganan banjir di Jakarta sudah disusun sejak tahun 1973 dan diperbaharui tahun 2002. Ada beberapa kebijakan yang terkait penanganan banjir yang perlu disesuaikan dengan Rencana Induk Banjir, yakni RUU Penataan Ruang (pengganti UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang), RUU tentang DKI Jakarta, dan Rancangan Perpres tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
Tetapi sejauh ini, kebijakan yang dituangkan melalui peraturan dan undang-undang tidak berjalan dengan optimal. Misalnya, Keputusan Presiden No 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur, tidak pernah dipraktikan secara efektif. Kemudian, Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta belum memberi fokus pada pencegahan banjir secara menyeluruh.
Upaya penegakan hukum (law enforcement) tata ruang masih lemah, para pengawas bangunan juga mudah diatur, dan mereka membiarkan pembangunan perumahan, perkantoran, ruko dan mall tidak terkendali. Berbagai sarana dan fasilitas dibangun di atas lahan yang seharusnya menjadi resapan air.
Akibatmya, berbagai peraturan yang dibuat tetap tidak dapat menertibkan bangunan yang merusak ekosistem, khususnya di kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur.
Penanganan banjir secara terpadu sudah dibuat sejak awal tahun 1900 dengan konsep pembangunan Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur yang dipelopori oleh ahli tata air, Herman Van Breen. Tetapi semua perencanaan tersebut tidak memberikan hasil maksimal, bahkan bisa dinilai gagal, sebab banjir tetap masih melanda Jakarta.
Hal ini terjadi karena tidak ada komitmen yang sungguh dari para pengelola pemerintahan di Jakarta dan warganya untuk menciptakan Jakarta yang bebas banjir.
Perlu disadari, apabila kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka sebagian besar kota Jakarta dalam beberapa tahun ke depan akan tenggelam. Banjir yang lebih luas dibandingkan tahun 2007 akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang. Jika peraturan tentang tata ruang dan wilayah tidak ditegakkan, maka dukungan ekologi semakin berkurang.
Sebuah studi yang dilakukan South Pacific Regional Environment Programme (SPREP) akhir tahun 1990-an mengungkapkan pada pertengahan abad 21, sebagian besar daerah pantura Jawa bakal terendam air akibat peningkatan muka laut setinggi 45 cm. Penyebabnya, kenaikan suhu global 2,5 derajat Celsius yang disebabkan peningkatan emisi CO2 sekitar 200 persen.
Selain itu, permukaan air tanah di Jakarta cenderung menurun dari tahun ke tahun dan air laut merembes sampai ke wilayah perkotaan akibat dari penggunaan air tanah dan hidran umum secara berlebihan. Penyedotan air tanah di Jakarta telah mencapai 3-4 kali lipat batas toleransi (BankDunia, 2003). Pada saat yang sama, gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau dan memperkecil kawasan resapan air.
Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat. Untuk mengatasi hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama. (Suprantio)