PERSOALAN yang tak kalah memprihatinkan dari persoalan semakin memburuknya lingkungan adalah ketidakpedulian masyarakat. Dan, yang lebih menyedihkan dari semua persoalan itu adalah minimnya perhatian media terhadap persoalan-persoalan lingkungan.
Padahal mendesak untuk disampaikan kepada masyarakat apa kata pakar dalam bahasa sederhana, mengenai persoalan semakin memburuknya lingkungan yang semakin membahayakan bumi. Dunia menjelang “kiamat” sudah bisa diprediksikan dengan melihat kenyataan-kenyataan semakin memburuknya lingkungan.
Persoalan-persoalan mengenai buruknya perhatian media terhadap isu lingkungan praktis menjadi persoalan seluruh peserta Media Forum di Rapolano Terme itu.
Media lebih banyak memberi tempat terhadap berita-berita ekonomi dan politik dibanding berita lingkungan. Kalaupun ada berita isu lingkungan dalam sebuah media, hanya menempati ruang kecil saja. Padahal media sangat berpengaruh untuk menyadarkan publik agar mereka segera peduli terhadap lingkungannya, untuk bersama-sama menyelamatkan bumi, dan mencegah “kiamat” yang dipercepat oleh kerusakan-kerusakan lingkungan.
Media, juga di Indonesia, lebih merasa gemerlap dengan mengangkat isu-isu politik dan ekonomi. Halaman-halaman media maupun jam tayang televisi ataupun jam siar radio melulu banyak diisi kedua persoalan itu. Kesadaran untuk memberi tempat terhadap lingkungan sebenarnya mengemuka dari para jurnalis. “Politik dan politisi sesungguhnya tidaklah menarik. Kita cuma menabuh omong kosong mereka,” kata Tim Logheed, seorang wartawan lepas (freelance) dari Kanada. Menurut dia, saatnya semua pihak lebih peduli dan memperhatikan lingkungan.
“Publik harus secepatnya disadarkan bahwa alam semakin rusak dan jika dibiarkan hasilnya cuma bencana,” katanya. Saatnya juga memberi tempat kepada para pakar, peneliti, dan para pencinta lingkungan yang berjuang menyelamatkan bumi dengan segala cara. Menurut Tim, merekalah yang sebenarnya dikenalkan kepada publik agar masyarakat juga sadar dan segera mengikuti dan mempedulikan persoalan lingkungan.
PERSOALAN-persoalan internal media adalah sedikitnya pengelola media memberi halaman atau ruang yang memadai untuk isu lingkungan. Selain itu, kepemilikan sejumlah politisi atau pengusaha dalam usaha media juga sering kali mempersulit jurnalis atau media yang bersangkutan memuat isu-isu lingkungan yang menyangkut kepentingan pemilik. Seorang wartawan dari Brasil mencontohkan, persoalan itu terjadi ketika sebuah isu lingkungan terjadi di sebuah provinsi negerinya.
Namun media setempat tidak bisa melakukan apa-apa atau memberitakannya karena pemilik koran itu, yang kebetulan seorang gubernur, tidak mau persoalan itu dipublikasikan di medianya. Sebenarnya kejadian serupa pernah terjadi di Indonesia, ketika sebuah kasus reklamasi pantai mengusik perhatian masyarakat, namun sebuah media tidak berkutik karena pemilik saham media mereka, tidak lain dari pemilik pengembang yang melakukan proyek reklamasi yang belakangan terbukti menyebabkan banjir semakin parah itu.
Politisi dan para pengelola negara juga-termasuk di Indonesia, tentu saja-adalah persoalan tersendiri. “Mana peduli mereka terhadap lingkungan! Satu hal yang mereka pedulikan adalah hanya posisi mereka,” kata Lucia Martinez, seorang jurnalis dari City Living di New York. Untuk itu diperlukan sebuah upaya memobilisasi publik untuk menyadari pentingnya lingkungan dan menjaganya dari kerusakan.
Dalam sharing dengan para jurnalis dari berbagai negara itu, arogansi para pengelola negara juga menjadi penyebab terhambatnya penyebaran informasi mengenai lingkungan. Sering kali para pejabat menyembunyikan data- data kerusakan lingkungan dengan berbagai alasan.
Namun, sebenarnya hal tersebut bagi wartawan bukan persoalan yang terlalu serius, karena data mengenai itu bisa didapat langsung di lapangan atau menjalin kerja sama dengan para penggiat lingkungan atau lembaga swadaya masyarakat. “Yang menjadi persoalan adalah ketidakpedulian para pejabat itu sendiri,” kata Nakabugu Sylvia, jurnalis dari Uganda. Saatnya jurnalis dan para penggiat media di mana pun untuk mengetuk hati para pejabat itu untuk segera mempedulikan lingkungan.
Mungkin ada benarnya apa yang dikemukakan Sawadogo Mousa, seorang wartawan dari Burkinabe, bahwa jika orang berbicara mengenai majunya sebuah negara, persoalan demokrasi sering kali menjadi tolok ukur. Padahal, demokrasi itu semestinya tidak semata-mata semua orang berhak berbicara, memilih dan dipilih, tetapi juga demokrasi yang baik adalah juga bagaimana semua warga mendapat pendidikan yang baik, termasuk persoalan lingkungan. Dalam posisi demikian, jurnalis bisa menempatkan diri sebagai layaknya “guru” yang memberi pengetahuan kepada publik mengenai pentingnya menjaga lingkungan dan menyadarkan mereka akan kerusakan-kerusakan lingkungan yang semakin memburuk.
MAJALAH City Living, yang diterbitkan di New York, AS, misalnya, mencoba menyadarkan pembacanya mengenai lingkungan dimulai dari hal-hal kecil, yang bisa dilakukan segala usia. “Kita mulai dari anak-anak, misalnya, bagaimana memilah sampah yang bisa didaur ulang, “kata Martinez Lucia, seorang pengelolanya. Bisa juga menggunakan tokoh-tokoh atau ikon idola masyarakat untuk mengajak atau mengampanyekan persoalan-persoalan lingkungan kepada publik. Tokoh kartun bisa menjangkau anak-anak untuk keperluan yang sama.
Angela Sanchez dari Kolombia, Amerika Selatan, mempersoalkan, persoalan yang selalu menarik perhatian publik adalah masalah hak asasi manusia dibandingkan persoalan lingkungan. Media sebenarnya bisa menulis dalam perspektif yang lebih luas bahwa kerusakan-kerusakan lingkungan juga menyebabkan banyak pelanggaran hak asasi manusia. Persoalan lingkungan bukan semata-mata persoalan eksploitasi alam yang habis-habisan. Akan tetapi di dalamnya juga menyangkut kepentingan ekonomi dan politik.
Jalan keluar, pada akhirnya persoalan lingkungan tidak lagi dianggap sebagai sebuah persoalan lokal belaka, namun sudah merupakan masalah global karena kita berada di bumi yang sama. Untuk itulah, kesulitan-kesulitan mem- blow up sebuah isu lingkungan di sebuah negara bisa di-share untuk dipublikasikan di belahan bumi lain. Dunia digital dan Internet memungkinkan semua itu. Apalagi, kita berbagai asosiasi wartawan lingkungan bisa saling bertukar persoalan, dan bagaimana sebuah persoalan lingkungan lokal di sebuah negara bisa menjadi isu global yang semestinya menarik perhatian dunia untuk segera menyikapinya dengan serius. Bagaimanapun kita hidup di bumi yang sama, yang harus bersama-sama dijaga kelestariannya. Kerusakan di satu belahan bumi juga berpengaruh terhadap kerusakan di belahan bumi lainnya.
Sejumlah perkumpulan wartawan atau penulis lingkungan memang sudah lama berdiri. Mereka yang berada di berbagai belahan bumi dan mereka biasa saling bertukar informasi mengenai persoalan-persoalan lingkungan. Di akhir pertemuan Media Forum di Rapolano itu para peserta pertemuan menandatangani sebuah kesepakatan. Mereka akan saling berbagai informasi, data, dan bertukar pengalaman isu-isu lingkungan di berbagai belahan bumi.
Bagi media, lingkungan adalah tantangan terbesar bagi media. Saatnya dibukakan mata penduduk bumi, alam semakin menua, iklim berubah, polusi menyesakkan,banyak spesies- spesies bumi terus menghilang, hutan menggurun akibat penebangan yang membabi buta, permukaan air laut terus meningkat, jumlah penduduk meningkat, dan kebutuhan pangan menipis. Semua itu bukan mimpi buruk, namun adalah kenyataan-kenyataan yang sudah dihadapi bersama.
Bagaimanapun upaya menyadarkan publik dan pengelola negara bahwa kerusakan alam sudah demikian serius masih perlu melewati jalan panjang.
Dan untuk itu, semua diperlukan kesadaran lebih bahwa kita hidup di bumi yang sama….(USH/KCM)