Ingar-bingar menjelang penyelenggaraan Konferensi Internasional tentang
Perubahan Iklim di Bali pada 3-14 Desember mendatang sangat terasa.
Namun, sayangnya, hal tersebut hanya terjadi di kalangan pejabat
pemerintah dan ilmuwan di ibu kota negara Jakarta dan sekitarnya.
Padahal konferensi tersebut sangat penting bagi Indonesia, khususnya dalam
memperjuangkan keadilan global dan tanggung jawab yang sama dengan beban yang
berbeda dalam menanggulangi dampak perubahan iklim yang semakin terasa.
Delegasi pemerintah Indonesia, yang dipimpin profesor Emil Salim, akan
menjual Konsep Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Upaya Pencegahan
Deforestasi dan Kerusakan Hutan (Reduced Emissions from Deforestation
and Degradation atau REDD) dalam pertemuan berbagai pihak yang ke-13
itu.Setelah Protokol Kyoto, yang akan berakhir pada 2012 mendatang, tidak
berjalan efektif dalam mengatasi dampak perubahan iklim–karena
terganjal oleh sikap penolakan dari Amerika Serikat–konsep kompromistis
tersebut menjadi salah satu tawaran yang menggiurkan dari pemerintah bagi
negara-negara polutan, terutama Amerika Serikat.
Konsep tersebut apabila “dibeli” oleh pihak-pihak dalam konferensi itu
akan menghasilkan gelontoran dana sekitar US$ 2 miliar atau Rp 1,8
triliun per tahunnya. Namun, konsekuensinya, pemerintah Indonesia dituntut
untuk mampu menjaga dan melestarikan hutan yang dijadikan garansi
mendapatkan uang panas tersebut. Hutan yang dikonsesikan untuk penyerapan
karbon tersebut akan menjadi wilayah keramat dan dilarang untuk dijamah
oleh siapa pun, termasuk masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam
hutan, yang telah selama puluhan bahkan ratusan tahun secara
turun-temurun memanfaatkan sumber daya hutan untuk penghidupan.
Konsep REDD tersebut adalah proyek mercusuar yang hanya bisa dijangkau
dan dinikmati oleh para elite politik dan ilmuwan di Jakarta, dengan
kurang memperhatikan kepentingan masyarakat yang hidup di sekitar dan di
dalam hutan. Apakah mereka yang telah menyodorkan konsep itu–penulis
menyebutnya sebagai konsep “menggadaikan hutan untuk uang”–sudah secara
masak-masak mempertimbangkan dan bertanya kepada masyarakat yang akan
terkena dampak langsung dari pelaksanaan konsep itu? Seberapa
partisipatifkah konsep tersebut ditelurkan sehingga berhak menjadi usul resmi
pemerintah Indonesia (yang berarti mengklaim mewakili aspirasi
masyarakat)? Apa yang akan dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat jika
konsep tersebut nantinya terimplementasi? Akankah semakin masif pengusiran
dan pelarangan akses masyarakat atas sumber daya hutan, sebagaimana
semakin sering terjadi pada saat ini, di antaranya dengan menetapkan
sebuah kawasan hutan menjadi taman nasional atau cagar alam?
Paling tidak ada sekitar 60 juta penduduk Indonesia yang langsung
menggantungkan hidupnya dari hutan dan sumber dayanya. Mereka rata-rata
masyarakat adat dan lokal yang telah berkontribusi secara nyata dalam
melestarikan alam. Kesadaran mereka untuk melestarikan hutan bukan karena
dipaksa atau karena diiming-imingi uang, melainkan karena mereka bagian
dari alam yang saling bergantung satu sama lain. Hidup mereka yang
sangat subsisten atau hanya mempunyai kemampuan untuk berburu, meramu, dan
berladang adalah bagian dari identitas diri mereka yang harus dihormati
dan dilindungi (self identification right).
Di samping konsep REDD berpotensi besar merugikan masyarakat di sekitar
dan di dalam hutan, juga sangat kompromistis karena menyenangkan
posisi negara-negara maju penghasil gas rumah kaca atau polutan, khususnya
Amerika Serikat yang menyumbang 25 persen terjadinya pemanasan global.
Daripada mengorbankan pertumbuhan ekonomi di negaranya, pemerintah
Amerika pasti lebih memilih menggelontorkan uang ratusan miliar rupiah ke
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Nilai uang itu tentu tidak
ada artinya dibandingkan dengan keuntungan yang didapat oleh industri
mereka. Namun, itu menjadi racun bagi masyarakat di dunia ketiga.
Lebih baik jika pemerintah mempergunakan event sangat strategis itu
untuk menegaskan dan menagih komitmen masyarakat internasional dalam
penegakan hukum sektor kehutanan di segala lini, dengan mengadili para
perusak hutan yang berkedok izin atau yang tidak berizin. Apabila penegakan
hukum ini efektif, hal ini akan mampu menyelamatkan uang negara ratusan
triliun rupiah. Menurut Kepolisian Daerah Riau, praktek pembalakan
liar di wilayah Riau saja diperkirakan telah merugikan negara sekitar Rp
1.860 triliun (Koran Tempo, 7 November 2007). Jumlah ini teramat besar
bila dibandingkan dengan menjual konsep REDD yang hanya menghasilkan
sekitar Rp 1,8 triliun per tahun dan berpotensi merugikan masyarakat.
Komitmen pemerintah untuk melakukan moratorium atau jeda balak guna
menyelamatkan sumber daya hutan yang tersisa akan ditantang. Pemerintah
semestinya mengevaluasi kembali kinerja pihak-pihak yang telah
menyalahgunakan izin untuk merusak hutan, seperti yang terjadi di Riau. Ataukah
pemerintah akan membiarkan munculnya Adelin Lis-Adelin Lis baru, yang
bisa dibebaskan begitu saja padahal bukti kuat menunjukkan bahwa ia telah
merugikan negara ratusan miliar hingga triliunan rupiah?
Di sisi lain, pemerintah menelurkan kebijakan yang membuat rakyat di
sekitar dan di dalam hutan tidak bisa lagi menikmati sumber daya alam di
sekitarnya. Pemerintah harus memanfaatkan secara efektif event itu
untuk memperkuat posisi tawar negara-negara yang mempunyai luas hutan yang
besar, bukan malahan menjual konsep kompromistis kepada negara-negara
maju. Negara-negara maju penghasil polutan terbesar harus didesak tetap
bertanggung jawab menurunkan tingkat emisinya atau akan mendapatkan
sanksi dari dunia.
Event ini diharapkan akan mampu menelurkan konsep instrumen penanganan
perubahan iklim yang legal binding, alias bisa memberikan sanksi bagi
negara yang tidak mematuhinya. Segenap komponen masyarakat sipil harus
turut mempengaruhi proses pertemuan banyak pihak tersebut, sekaligus
menegaskan bahwa kehidupan masyarakat tidak bisa ditukar dengan uang
berapa pun besarnya. Our life is not for sale! (Tempo)
*peminat masalah lingkungan hidup