Telepon seluler atau ponsel sekarang sudah menjadi perangkat kebutuhan sehari-hari seperti halnya pakaian, makanan, atau barang konsumsi lainnya. Jumlah ponsel di seluruh dunia sekarang diperkirakan mencapai lebih dari 1 miliar unit, dan pada tahun 2009 jumlah ponsel yang akan dijual mencapai lebih dari 1,1 miliar unit dalam setahun.
Pada bulan Juli lalu, sebuah perusahaan riset yang selalu digunakan sebagai acuan di industri ponsel menyebutkan penjualan ponsel di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 1 juta unit dengan nilai penjualan sekitar Rp 1,5 triliun. Jumlah ini dicatat oleh perusahaan riset tersebut dari pengumpulan data outlet penjualan ponsel di seluruh Indonesia.
Angka ini belum termasuk ponsel yang masuk ke Indonesia secara paralel impor, tidak tercatat di Bea dan Cukai atau departemen mana pun. Bisa jadi, jumlah ponsel yang dijual di Indonesia mencapai lebih dari 1,5 juta dengan total penjualan bisa mencapai sekitar Rp 3 triliun.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa ponsel adalah produk konsumsi umum yang ingin dimiliki semua orang. Kalau ditambah dengan angka penjualan ponsel di pasaran bekas pakai, total penjualan bisa berkali-kali lipat. Ini karena kecenderungan lain juga menunjukkan bahwa ponsel adalah produk fesyen yang digemari semua strata masyarakat.
Dari 1 juta unit ponsel yang dijual pada bulan Juli di Indonesia mencakup hampir 400 model berbagai merek, yang didominasi merek Nokia dari model-model yang dijual dengan harga di bawah Rp 1 juta. Yang menarik, dari angka penjualan ini sebenarnya adalah ponsel masih dianggap sebagai produk telekomunikasi, belum sebagai produk teknologi informasi yang bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja, misalnya.
Tampaknya, fenomena ponsel sebagai fesyen ketimbang perangkat mendorong produktivitas dan efisiensi merupakan persoalan global yang melanda semua masyarakat. Dan semua orang pun melirik karena industri ponsel adalah peluang baru yang bisa memberikan keuntungan dan mereka berlomba untuk menghadirkan ponsel-ponsel model baru dengan harga yang sangat beragam.
Kolaborasi
Perusahaan pencari internet seperti Google merencanakan membuat ponsel sendiri. Fenomena ini mulai tampak dengan kehadiran berbagai ragam ponsel dengan merek yang sama sekali baru, baik berdiri sendiri maupun kolaborasi antarperusahaan dunia.
Perkembangan industri ponsel memang menjadi sebuah fenomena sendiri, dan tidak bisa disangkal bahwa iPhone yang diluncurkan pertengahan tahun ini menjadi katalisator penting yang mendorong perubahan-perubahan, baik dari riset teknologi maupun model bisnis baru yang ingin dicapai, yang bertujuan untuk mendominasi pasaran ponsel dunia.
Kita mengenal ponsel model fesyen seperti LG Prada untuk masyarakat kelas menengah atas. Sebentar lagi kita akan melihat model baru yang disebut Serene sebagai kolaborasi antara Samsung, raksasa industri teknologi Korea Selatan, dan perusahaan audio Bang & Olufsen asal Denmark.
Perusahaan lain, Porsche AG asal Jerman, yang merancang sedan sport dengan merek Porsche, bekerja sama dengan Sagem Télécommunications asal Perancis juga menghadirkan ponsel bermerek Prosche Design model lipat lengkap dengan pemindai sidik jari.
Kehadiran iPhone telah memacu berbagai perubahan, termasuk di antaranya persaingan ketat di industri ponsel sendiri. Dan, kehadiran teknologi jaringan yang semakin memudahkan akses ke jaringan internet menghadirkan fenomena Web 2.0 sebagai jembatan menuju ke era yang disebut sebagai social-networking untuk memfasilitasi kolaborasi dan kerja sama.
Kerja sama ponsel dengan industri lain, seperti otomotif, memang bukan pertama kalinya. Tahun 2003, Motorola seri V60i dipasarkan di AS bekerja sama dengan Harley-Davidson. Perusahaan asal Jepang, Sharp, pada tahun 2005 memperkenalkan seri ponsel merah GX25 Ferrari yang dipasarkan oleh Vodafone di Inggris. Pada tahun ini juga, Vodafone memperkenalkan ponsel seri McLaren Mercedes GX29, menargetkan para penggemar mobil balap Formula Satu.
Rancangan minimalis
Memang masih menjadi pertanyaan apakah iPhone buatan Apple yang ditunggu banyak konsumen dunia akan mengulangi sukses iPod yang mampu menarik beragam industri dunia untuk mengasosiasikan diri dengan iPod, pemutar musik digital yang digemari siapa saja.
Karena itu, tidak mengherankan kalau raksasa ponsel Nokia asal Finlandia merasa perlu berbenah diri untuk mengantisipasi fenomena iPhone dan ponsel kolaborasi lainnya. Ini secara nyata dinyatakan dengan pembentukan portal OVI sebagai upaya untuk ikut serta dalam kemajuan teknologi jaringan yang semakin pesat dan besar membawa berbagai perubahan, termasuk pendapatan dari iklan.
Nokia menyatakan diri sebagai sebuah perusahaan internet, diikuti perubahan struktur perusahaan untuk mendukung upaya ini. Status quo Nokia berubah, antara lain disebabkan kehadiran iPhone yang memberikan solusi jasa penggunaan perangkat telekomunikasi ketimbang menjadi sebuah ponsel.
Ketika Kompas membeli iPhone dan mencobanya, terasa ada yang berbeda dari produk Apple ini. Bentuknya yang pipih dengan layar 3,5 inci dan berat 135 gram, kesan pertama adalah iPhone ini adalah produk PDA Apple dengan fitur ponsel.
Nyatanya, iPhone adalah iPod—dilengkapi dengan earphone putih khas Apple—dengan fitur ponsel dan menggunakan sistem operasi yang sama dengan Mac OS 10 pada komputer Apple. Ponsel iPhone sendiri dirancang secara minimalis, tanpa terkesan futuristik seperti pada umumnya ponsel cerdas yang ada di pasaran.
Kurva pembiasaan
Setelah mencoba beberapa saat, iPhone dengan teknologi layar sentuh yang menjadi andalannya kurang memberikan kesan yang mendalam bagi pengguna yang menganggap ini adalah ponsel “terpintar” buatan Apple. Berbagai fitur iPhone yang tidak memiliki tombol ini tidak secanggih produk Nokia seri N95 atau E90, bahkan tidak juga mendekati kelengkapan fitur P1 buatan Sony Ericsson.
Teknologi layar sentuh ponsel ini tidak memiliki stylus, menjadi satu-satunya daya tarik iPhone. Pengguna iPhone akan memiliki pengalaman dengan GUI (graphic user interface) yang berbeda dalam menggunakan ponsel, dan harus menjalankan kurva pembiasaan mengetik SMS dengan menyentuh papan ketik di layar.
Daya tahan baterainya juga tidak istimewa, sama dengan rata-rata ponsel cerdas yang bertahan selama 2 hari dalam pemakaian konstan. Fitur accelerometer yang memungkinkan orientasi layar monitor menyesuaikan secara otomatis, baik secara paralel maupun horizontal, serta sensor proximity yang mematikan monitor ketika digunakan berbicara memang canggih. Ini memungkinkan menyamarkannya sebagai gadget yang serba bisa untuk mendengarkan musik, menonton video, atau lainnya dari hard disk sebesar 8 GB.
Semua fitur iPhone ini secara terpisah ada di beberapa ponsel cerdas buatan HTC atau RIM Blackberry, atau bahkan di Nokia ataupun Sony Ericsson. Kehadiran iPhone memang diperkirakan akan menjadi fenomenal bukan karena fitur teknologi yang ada di dalamnya, tetapi lebih condong karena bergesernya pola bisnis dalam menyongsong semakin dekatnya manusia menggunakan teknologi komunikasi informasi. (René L Pattiradjawane/Kompas)