Environmentalisme menemukan kejayaannya saat Soeharto berkuasa di Indonesia, Mahatir di Malaysia, Marcos di Filipina, Margaret Taccher di Inggris, Reagen di Amerika. Environmentalisme menjadi kekuatan penghambat kerja neoliberalisme di jaman itu. Sekalipun kejayaan kaum enviromentalis di masa itu juga tidak cukup membuktikan dapat mempertahankan kawasan hutan hujan tropis di Brazil, Indonesia, dan beberapa negara di daratan Afrika untuk tidak menyusut (saat ini Indonesia hanya memiliki kurang lebih 70 juta hektar kawasan yang berhutan, coba bandingkan dengan kondisi 10 tahun lalu).
Perubahan iklim bisa menjadi pertanda bagi masa akhir dari paham environmentalisme. Environmentalis, sebutan bagi insan yang sangat menjunjung tinggi keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup. Non governmental organisation atau sering kita sebut ornop (organisasi non pemerintah), kini alias civil society organisation lebih banyak bekerja di bidang-bidang lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya alam dan kemiskinan, HAM dan keanekaragaman hayati.
Kelompok pecinta alam di berbagai universitas atau perguruan tinggi menjadi kelompok yang merintis organisasi non pemerintah yang bergerak dalam isu penyelamatan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam. Sebut saja semisal sejarah perjalanan WALHI, WWF (Indonesia),dan Greenpeace (Internasional), adalah trend gerakan baru bagi generasi yang “tidak percaya gerakan politik praktis” dalam membangun perubahan sosial yang maju. Environmentalisme, menyebar ke seluruh penjuru dunia setelah generasi “gemar perang” memporak-porandakan dunia. Enviromentalisme berkembang setelah perang dunia kedua berakhir.
Dalam perkembangannya, paham penyelamatan lingkungan beragam aliran. Yang cukup terindentifikasi jelas ada dua aliran, pro-ecology ansih dan pro-people ansih.
Dulu, sering terdengar ekspedisi-ekspedisi bebas soal kecintaan terhadap alam dan lingkungan. Tak jarang, di beberapa organisasi pecinta alam kampus ditemukan catatan-catatan ekspedisi penyelamatan ecosystem tertentu. Begitu pun dengan aktivitas-aktivitas pro-people melalui pendekatan pembangunan berwawasan penyelamatan lingkungan, dan demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam, di berbagai perpustakaan alternatif ditemukan model-model pendekatan pembangunan masyarakat di luar “menara gading”.
Environmentalisme menemukan kejayaannya saat Soeharto berkuasa di Indonesia, Mahatir di Malaysia, Marcos di Filipina, Margaret Taccher di Inggris, Reagen di Amerika. Environmentalisme menjadi kekuatan penghambat kerja neoliberalisme di jaman itu. Sekalipun kejayaan kaum enviromentalis di masa itu juga tidak cukup membuktikan dapat mempertahankan kawasan hutan hujan tropis di Brazil, Indonesia, dan beberapa negara di daratan Afrika untuk tidak menyusut (saat ini Indonesia hanya memiliki kurang lebih 70 juta hektar kawasan yang berhutan, coba bandingkan dengan kondisi 10 tahun lalu).
Mamasuki awal abad 21, negara-negara di daratan Asia Tenggara semisal Indonesia, Myanmar, Kamboja, Thailand, Malaysia, Filipina, tak terelakkan oleh krisis keuangan/ekonomi. Ilmu ekonomi dianggap telah mati, mekanisme pasar, peran kapital, peniadaan bea dan cukai serta pajak tidak dapat dikontrol. Krisis ekonomi berdampak kepada krisis politik, para pemimpin “tangan besi” di negara tersebut rontok. Instabilitas ekonomi sekaligus instabilitas politik.
Reformasi dan gerakan yang serupanya di Indonesia dan negeri selingkupnya, telah mendorong environmentalisme menemukan jalan buntu penyelesaian kasus-kasus kehancuran lingkungan yang semakin tidak terkontrol, terlepas sebagian gerakan ini terbuai asyik-masyuk ke jalur penegakan demokratisasi politik kekuasaan. Illegal logging, pencemaran pantai dan laut oleh pertambangan, pemicu investasi baru di sektor perkebunan besar dan pembukaan ijin eksplorasi minyak dan gas oleh swasta asing, BUMN diprivatisasi menjadi swasta-swasta joint investment, konversi besar-besaran kawasan hutan, kota-kota kesulitan buang sampah, dll. Environmentalisme jalan dalam dua simpang gerakannya, “Politik Kekuasaan” dan “Politik Anggaran”. Sementara di sisi lain, ekonomi dunia menyeret lingkungan hidup menjadi komoditas baru dalam perdagangan dunia (bisnis karbon utara-selatan). Enviromentalisme belum tuntas menjadi hidup, kini hancur pindah menjadi makna ekonomis.
Dunia kembali dihebohkan oleh tiga hal klasik, energi alternatif non minyak bumi, perubahan iklim, kekurangan pangan dan kemiskinan. Ketiganya bertumpu kepada pengelolaan kawasan hutan dan soal dampak lingkungan hidup yang sedari dulu tidak bisa diminimalisir. Tiga hal ini membawa kabar buruk, dunia akan segera kiamat, 20 tahun ke depan makhluk hidup akan banyak mati (ecocide).
Cadangan minyak Indonesia tidak bisa bertahan hingga 10 tahun ke depan, hingga perlu perubahan kebijakan pemanfaatan energi non-migas, berbondong-bondong hutan dibuka menjadi kebun sawit sebagai ladang untuk pengembangan biosolar. Beberapa pulau kecil di dunia dan sebagian negara maju dan makmur di Eropa,dan Amerika akan tenggelam oleh mencairnya es di kutub utara dalam 1-2 dekade mendatang. Kawasan-kawasan berhutan di negara-negara selatan (kaya hutan tapi miskin) dibeli agar masih tetap mempertahankan kawasannya menjadi paru-paru dunia.
Sementara, ketiadaan lahan dan hutan bagi kehidupan masyarakat adat dan lokal yang tinggal sekitarnya semakin miskin (30% penduduk miskin dari 40% angka kemiskinan menurut Bank Dunia adalah mereka yang tergantung dan tinggal di sekitar hutan), tidak mungkin tidak akhirnya kelompok manusia pinggir hutan ini menjadi manusia langka (punah mengalami homicide).
INGO, Indonesia NGO forum atau Indonesia CSO Forum (5.000 kursi dalam pertemuan COP13 di awal Desember 2007, di Bali), apa yang bisa dilakukan agar kiamat 20 tahun lagi tidak terjadi? Lobby dan kampanye adalah jalan yang mungkin bisa dilakukan di pertemuan tersebut.
Apa yang bisa dilakukan oleh 5.000 orang untuk memperlambat terjadinya kiamat 2 dekade mendatang, sementara enviromentalisme mulai runtuh dan membangkitnya Teccherisme dan Reagenisme dalam politik lingkungan mutakhir? Jangan sampai 5.000 environmentalis datang ke hanya untuk menyumbang emisi karbon yang justru mempercepat terjadinya kiamat oleh perubahan iklim.(milis lingkungan)